Kulon Progo dalam The History of Java

Gehitto
Nekropolis
Published in
6 min readDec 20, 2017
Rumah Pak Dukuh yang menolak pindah. Temon, Kulon Progo 10 Desember 2017. (Foto oleh Gehitto)

“Ada pencari Tuhan, ada pencari rakyat, biasanya keduanya mencari sia-sia seumur hidup” — J. Slauerhoff, Pemberontakan Guadalajara

Di tahun 1813, Thomas Stramford Raffles telah menyatakan niatnya menulis sebuah buku tentang Jawa. Tentang daerah yang pernah ia jajah sekaligus ia bela. Raffles beberapa kali mengecam pemerintah Belanda yang menghisap rakyat pribumi. Mungkin sikap ini yang menyebabkan bukuThe History of Java menjadi sebuah buku sejarah yang paling objektif.

Namun apa daya, Jawa yang dituliskan oleh Raffles memang sebuah wilayah dengan sejarah yang penuh dengan sikap penguasa yang menghina hamba sahayanya, rakyat. Akhirnya Raffles yang membela pribumi pun harus mengakui itu. Raffles menulis bagaimana despotisme di Pulau Jawa berlaku “sang despot adalah si pemilik, selebihnya adalah miliknya”.

Dalam keadaan semacam itu, lalu apa yang dapat menyelematkan situasi? Raffles hanya melihat satu hal, “satu-satunya pengekang kehendak puncuk pemerintahan adalah adat istiadat negeri itu”. Dalam adat istiadat, seorang Raja harus berbuat baik. Dalam kitab kuno Niti Praja disebutkan bahwa seorang raja harus:

“mengalir jernih dan penuh, bagaikan aliran sungai pegunungan, yang dalam berjalan menuju laut, menyuburkan tanah yang dituruninya”

Seorang Raja di tanah Jawa seperti seorang Dalang disebuah pertunjukan wayang, dan rakyat sebagai penontonnya. Raja harus memperlihatkan keadilan di depan rakyat, dan rakyatnya harus tahu bahwa yang salah harus dihukum, yang tak berdosa tak ditindak, dan yang didakwa secara tak benar harus dibebaskan.

Tapi mungkin seorang Raffles lupa, bahwa Jawa tak sama dengan Inggris. Di Inggris, pihak kerajaan tidak bisa lagi sewenang-sewenang bukan karena peraturan yang tidak tertulis, tetapi karena ada kekuatan baru yang datang, orang kota, para saudagar yang bisa berdiri diatas kaki sendiri dengan kekuatan ekonominya. Bagaimana dengan di Jawa?

Rasanya tahun sebentar lagi berakhir dan berganti angka satu digit dibelakang. Tahun 2017, tepat dua abad kisah dalam buku The History of Java terjadi di Indonesia. Tapi pemerintah/raja di Jawa juga lah seorang manusia biasa, bersikap konsisten tidaklah mudah. Jawa kini tidak jauh berubah dari apa yang telah dituliskan Raffles dua abad silam.

Kini Jawa juga berkembang. Modernisasi merambah sampai ke tulang. Revolusi industri dengan kredonya rasionalisasi, optimalisasi, minimalisasi, dan maksimalisasi telah mengubah cara-cara manusia melakukan kegiatan, memproduksi benda-benda dari tenaga manusia dan hewan, menjadi tenaga mesin. Semangat pemikir Modernisme memandang bahwa ruang-ruang merupakan hasil olah pikir idealiasasi mereka sebagai bagian dari tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Akan tetapi hal ini terbukti mengalami berbagai situasi yang tidak sesuai imaji.

Kecenderungan untuk menggugat ideologi Modernisme semakin kuat berhembus seiring banyaknya pemikir neo-Marxis di Eropa. Salah satunya seorang Sosiolog Marxist asal Prancis, Henri Lefebvre, yang menyampaikan kritiknya tentang perkembangan ruang dalam bukunya yang berjudul The Production of Space (1991).

Marx (dalam The Communist Manifesto) mengatakan bahwa dalam sistem kapitalis, buruh sebagai entitas yang konkret (yang mutlak) sebagai satuan waktu kerja yang nantinya masuk dalam perhitungan komoditi suatu barang yang dihasilkan. Lefebvre juga memandang demikian, ruang dalam dunia kapitalis saat ini telah mengalami sublasi sehingga teralineasi menjadi sesuatu hal yang abstrak. Ruang yang kini telah diproduksi oleh apa yang kita disebut kapitalisme, dimana pembentukan dan peruntukan ruang yang baru, yaitu sesuai dengan kepentingan para pemilik modal. Kekuatan modal menjadi penentu rancangan dan nasib kehidupan orang banyak. Pada tahap ini, kita sudah pada pandai memproduksi barang dalam ruang, sekarang kita memproduksi ruang itu sendiri. Karena itu, dewasa ini kontradiksi-kontradiksi ruang atau permaslahan pembangunan terus terjadi.

Keadaan ini juga digambarkan oleh Herbert Marcuse dimana rasionalitas manusia modern terletak pada teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga kunci pemecahan masalah seolah berkiblat pada dua hal tersebut.

Di Jawa, tanah dan kehormatan dijunjung tinggi. Undang-undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta yang memasukan lima elemen antara lain kekuasaan/tahta, lahan, tata ruang, kebudayaan dan pariwisata, kelembagaan, pada akhirnya menjadi akar terjadinya konflik antara rakyat dan kekuasaan pemerintah — dalam hal ini Sultan sebagai pemegang kekuasaan. Kekuasaan memang suatu tempat yang nyaman, tetapi sering kali dari sana tidak ada jalan turun. Tidak ada jalan untuk hidup bersama-sama dengan rakyatnya. Begitu sebuah pernyataan yang cocok menggambarkan kondisi konflik pembangunan bandara di Yogyakarta saat ini.

Ini mungkin buah dari pelajaran yang kita terima berabad-abad. Sebuah pendidikan Dehumanis yang telah kita terima dari kecil hingga sekarang. Ketika sarjana-sarjana banyak dipasaran, gelar dan jabatan dilihat sebagai stempel keahlian, ilmu pun tak lagi dilihat sebagai proses, melainkan sabda-sabda sang penguasa negeri. Kekuasaan semakin besar, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menggampangkan, memandekkan, dan mem-simplifikasi suatu hal. Seperti yang pernah diungkapkan George Orwell dalam novelnya, bahwa sebagian besar pengetahuan yang kita miliki sekarang memang nampaknya tidak bersandar pada penalaran ataupun eksperimen, melainkan sebuah “otoritas”.

Kini Jawa baru menuju bentuk lain apa yang pernah Inggris alami berabad-abad lalu. Konflik dan permasalahan pembangunan akan terus dibenturkan dengan sebuah nama kemanusiaan. Gaung atas nama pembangunan untuk kesejahteraan rakyat akan terus terdengar dibarengi dengan kadaluarsanya gelar rakyat jika sudah bersebrangan dengan kepentingan negara atau penguasa.

Pendidikan Dehumanis pada gilirannya telah menumbuhkan apa yang dinamakan moral ultilitarianisme yang bersandar pada prinsip “pengorbanan sedikit orang, memang diperlukan untuk kepentingan umum”. Semakin banyak yang disenangkan, semakin sah sebuah keputusan. Pembangunan yang mengatas namakan rakyat, akhirnya membunuh istilah itu sendiri. Hal ini akan hanya dilihat sebagai proses yang linier, yang secara lahiriah akan terjadi tanpa adanya batasan.

Temon, Kulon Progo 10 Desember 2017. Mesin pengeruk diam kaku menjulang dari tanah dan membelok di langit, diantara 37 rumah yang memilih bertahan tanpa syarat (dengan rasionalitas yang telah dibentuk bertahun-tahun bekerja dan hidup bertani).

New Yogyakarta International Airport (NYIA) ditargetkan melakukan penerbangan pertamanya April 2019. Dimana negara ini akan kembali merayakan pesta demokrasi. Ladang-ladang garapan akan berubah menjadi landasan pacu ber-mil-mil jauh membentang dari Timur ke Barat.

Tigapuluh tujuh rumah yang menolak untuk pindah dilihat sebagai angka statistik. Petak-petak lahan dilihat sebagai lempengan-lempengan uang yang siap dipanen tanpa menyoal hak hidup dan kehidupan yang telah berkembang sebelumnya. Seringkali memang kita mereduksi aspek-aspek sosial menjadi kumpulan angka-angka yang rigid.

Mereka kini menunggu dengan diam dan was-was di dalam rumah yang kosong dan gelap. Tanpa listrik, tanpa sumber air bersih, tanpa akses jalan. Disini saya melihat, orang kecil memang bukanlah orang yang gampang menjawab. Bahkan bahasa pun mereka telah tidak punya lagi. Alat komunikasi itu telah sarat menjadi milik orang lain. Suara-suara mereka tak terdengar, atau memang mereka bisu? Anehnya orang kecil berkembang menjadi semacam tokoh mitologi di Jawa. Yang hanya ditakuti oleh penguasa saat proses pembangunan terjadi. Tetapi sesudah itu, mereka hilang tak terdengar. Ditelan suara perayaan-perayaan konsumtif hidup.

Permasalahannya, apakah rakyat kecil mau dianggap sebagai makhluk mitologi di Jawa? Dimuliakan dalam angka-angka dalam nasib yang demikian. Tentunya mereka akan berkata tidak! Mereka ingin dilepaskan. Namun masalah yang pokok dewasa ini, sejauh mana kemiskinan harus diperangi, sekaligus sejauh mana peperangan itu tidak mengokohkan nafsu mansuia akan benda-benda — setelah kebutuhan pokok terpenuhi.

“Jika dahulu animisme menjiwakan benda-benda, masyarakat modern justru membendakan jiwa-jiwa “

— Max Horkheimer

Kita akan terus hidup ditengah retorika-retorika abstrak soal zonasi ekonomi, pembangunan wilayah strategis, perdagangan bebas, pembangunan infrastruktur dan apa pun yang pro pasar. Namun kehidupan macam ini harus diuji dengan kenyataan konkret terintegrasinya kehidupan sehari-hari masyarakat kita dalam logika itu. Atau dengan cara lain seperti proyek tanggung jawab sosial perusahaan dan analisa dampak lingkungan, serta ilusi pembangunan berkelanjutan tanpa perlu menyoal kapitalime. “Ah, saya rasa itu terlalu utopis”, ungkap seorang teman.

New Yogyakarta International Airport tak lama lagi berdiri megah ditengah suara deburan ombak. Dengung suara mesin pesawat akan menelan dan menyatu dengan suara anak-anak yang bermain layang-layang bergambar pesawat hari-hari kemarin. Artinya semua akan kembali pada hari yang biasa-biasa saja. Pada luka yang mungkin sudah mengering. Pemerintah akan terus memenuhi misinya, menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin akan berganti, wajah-wajah baru yang fotogenik dan pemikirannya yang sarat polemik akan kembali menghiasi Istana pada 2019. Bandara akan selesai, dengan penerbangan perdananya pada April 2019.

Di Jawa, Sultan kini tidak lagi menjadi Dalang dalam pertunjukkan. Justru sebaliknya, beralih peran menjadi Wayang yang digerakan oleh kekuatan Modernisme.

Dalam sistem Demokrasi, dimana rakyat lebih “terhormat”, menjadi suatu kecemasan tersendiri memang dalam memandang rakyat yang “terhormat itu. Pada akhirnya rakyat tidak bisa dipercaya dalam mengelola kebebasan mereka sendiri. Semoga Sultan memang tahu betul akan hal itu…

Sebuah ungkapan mengatakan:

”Anggur itu baik bagi orang dewasa, tapi fatal bagi anak-anak, dan anggur itu Politik, yang sering kali dijadikan Candu”

Berbeda memang dengan Inggris, dimana rakyat dan raja/ratu kini bisa duduk bersama menikmati anggur tersebut. Di Jawa Sultan begitu cemas terhadap rakyat, dan rakyat begitu nekad.

Media kini mulai sepi dan langit di luar hanya hitam. Barangkali karena itulah pelangi dan api disebut sebagai rahmat. Sebab peradaban yang luka ini justru suatu peradaban yang belum mati — yang masih menyembuhkan diri dan tidak mudah dihabisi.

Gehitto
Sleman, 20 Desember 2017

untuk merayakan hidup

P.S:

*despotisme: pemerintahan seorang despot; sistem pemeritahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang

*despot: penguasa tunggal yang berbuat kehendak hati; kepala negara atau raja yang menjalankan kekuasaan dengan sewenang-wenang

Referensi:

  • Sudaryono. 2008. Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: relevansi Pemikiran Henri Leebvre Dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  • “Niti Praja” Esai Goenawan Mohammad
  • “The History of Java” oleh Thomas Stramford Raffles
  • “The Communist Manifesto” oleh Karl Marx
  • The Production of Space” oleh Henri Lefebvre

--

--