Menghindari Duka Ganda Kampung Kota di Tengah Pandemi

Nekropolis
Nekropolis
Published in
5 min readMay 13, 2020
Foto: Inisiatif warga Dukuh Kropoh, Condong Catur, DI Yogyakarta (sumber: Yaya Ulya, Kompas)

Oleh: Rizkiana Sidqi dan Gehitto

Kami berangkat dari pertanyaan sederhana, bagaimana kampung kota yang sering di cap menjadi sumber masalah justru membangun imunitasnya dengan berbondong-bondong menunjukkan solidaritas di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Absennya perhatian pemerintah, topologi pemukiman yang cenderung padat, kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan, menjadi stigma yang umumnya menempel pada kampung kota. Lalu bagaimana sebenarnya iya bertahan, khususnya di tengah pandemic COVID-19 yang mengharuskan penerapan “physical distancing” antar sesama individu?

Sabtu, 2 Mei 2020 lalu, Nekropolis bekerja sama dengan Kota Kita melalui Urban Social Forum mengadakan diskusi daring yang dipantik oleh praktisi, akademisi, dan komunitas kampung kota.

Sistem Sosial

Komunitas Kalijawi merupakan perkumpulan warga yang tinggal di bantaran Sungai Winongo dan Gajah Wong, di Yogyakarta. Selama masa pandemi COVID-19, mereka telah menginisiasi dan mengkoordinir dengan berjejaring antar sesama paguyuban/komunitas lain untuk saling bekerja sama memberikan bantuan kepada warga yang terdampak langsung secara ekonomi karena kehilangan pekerjaan di tengah pandemi. Tidak hanya mendistribusikan bantuan bagi masyarakat terdampak, Komunitas Kalijawi juga tengah menjalankan sumber pendapatan baru untuk bisa menjadi alternatif pemasukan warga sampai semua kembali normal. Salah satunya yaitu menggerakan bisnis pembuatan minuman rempah-rempah atau empon-empon secara kolektif dengan sistem produksi yang tetap mengedepankan protokol physical distancing dan memanfaatkan pemasaran daring. Keuntungannya kembali akan diputar untuk menopang kehidupan warga yang mayoritas kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19.

Pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) di Jakarta. Pak Rudi menjelaskan bahwa SPRI bersama dengan 35 kelurahan di seluruh Jakarta, mendata masyarakat miskin yang belum tercatat di bantuan sosial agar mendapat bantuan sembako dari pemerintah. Upaya ini mereka lakukan agar tidak terjadi bantuan yang salah sasaran, yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial antar warga.

Pandemi COVID-19 memperlihatkan bagaimana solidaritas masyarakat di kampung kota dalam bentuk komunitas/paguyuban sudah cukup terlatih untuk menjadi aktor utama dalam menghadapi bencana (resiliensi) melalui hal-hal sederhana yang sering luput dari perhatian pemerintah.

Satu hal yang juga menjadi bahasan adalah, bagaimana sebenarnya masyarakat kampung kota kini relatif masih lebih “khawatir” dengan dampak ekonomi dan sosial dari penanganan COVID-19 daripada gejala penyakit gangguan pernapasan yang ditimbulkan oleh virus tersebut. Hal tersebut disampaikan oleh Surati dan Atik selaku perwakilan dari Kalijawi. Prof Bakti Setiawan, ahli Kampung Kota dari Universitas Gadjah Mada, menarik hal tersebut sebagai pembelajaran sekaligus peringatan bagi kita semua untuk bisa menggeser paradigma tersebut, agar dapat mencegah kasus positif COVID-19 di kampung kota.

Foto: Warga Kota Tanggerang, Banten di tengah pandemi (sumber: Gary Lotulung, Kompas)

Sistem Spasial

Kampung kota yang memiliki karakteristik spasial padat serta minimnya ruang privat (rumah) dan publik (ruang publik) yang memadai. Mereka terbiasa menjadikan jalan-jalan sempit antar rumah menjadi perpanjangan aktivitas domestik rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Tidak sedikit pula warga kampung kota yang menggunakan jalan sebagai tempat berdagang dan berkumpul/bersosialisasi sesama warga.

Karakteristik pola spasial yang berimplikasi pada pembentukan struktur sosial masyarakat kampung kota, sulit dihilangkan di tengah pandemi yang datang secara tiba-tiba. Hal ini memaksa warga kampung kota untuk membentuk keseimbangan baru antara keharusan melakukan pembatasan interaksi fisik individu dan kearaban sosial kampung kota yang telah lazim.

Kamil Muhammad juga menyampaikan adanya berbagai tantangan terhadap pelaksanaan physical distancing di kampung kota. Sebagai contoh warga di Kampung Kunir, Jakarta Barat telah membentuk satgas khusus menghadapi pandemi COVID-19 yang berfungsi mengingatkan dan memastikan jarak minimal dapat diimplementasikan oleh warga. Stigma terhadap kampung adalah sarang pandemik merupakan hipotesis yang tidak didukung dengan kenyataan empiris di lapangan. Hal tersebut juga disampaikan oleh Kamil Muhammad, terkait bagaimana stigma terhadap kampung kota tersebut, masih relatif sulit untuk dibuktikan — terlebih karena kurangnya data akan kampung kota dan sebaran pasien COVID-19.

Mencegah dan Menata yang Akan Datang

Prof. Bakti Setiawan juga menambahkan bahwa respon berbasis komunitas (community-based response) terhadap bencana terbukti efektif jika melihat dari kasus-kasus bencana alam dan pergerakan sosial di Aceh, Yogyakarta dan Lombok. Namun kini yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana respon terhadap penularan COVID-19, dengan melakukan interaksi fisik, perlu diikuti dengan penguatan komunitas di kampung kota itu sendiri. Transmisi lokal virus COVID-19 di kampung kota bisa menjadi ancaman yang serius apabila tidak ada pencegahan yang jelas serta kerjasama pada level individu/warga.

Sistem interaksi guyub-rukun pada masyarakat kampung kota juga tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Himbauan pemerintah untuk membatasi interaksi dan berdiam diri di rumah saja adalah salah satu tantangan besar untuk mereka. Selain karena kepadatan penghuni rumah, dorongan untuk bersosialisasi dan bercengkerama sesama tetangga sulit dihindari karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Apabila hal ini tidak diseimbangkan dengan baik, maka efek jangka panjang dari keharusan #dirumahsaja berpotensi menimbulkan masalah-masalah lain seperti meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karenanya, interaksi sosial yang “sehat” dan “aman” untuk meminimalisasi penyebaran virus, perlu diwujudkan oleh berbagai pihak sebagai suatu sistem sosial di masyarakat. Dengan demikian, kebutuhan sosialisasi yang menjadi dasar ketahanan warga dan keharusan physical distancing dapat terpenuhi agar mencegah transmisi lokal virus COVID-19 terjadi.

Penataan ruang kampung kota juga perlu menjadi perhatian. Dimana pada akhirnya yang perlu ditingkatkan tidak perlu melulu mengikuti tren perkembangan fisik kota, tapi lebih pada bagaimana memberikan ruang bangunan dan lingkungan yang lebih sehat. Konsep-konsep lokal yang sudah pernah ada pada sejarah kampung kota di Indonesia, seperti misalnya kebiasaan menyiapkan kendi atau air bersih di depan rumah untuk membersihkan tangan sebelum masuk rumah bisa menjadi solusi.

Menjawab pertanyaan di awal tulisan, bagaimana kampung kota bertahan di tengah pandemi COVID-19? Maka peran spasial dan sistem sosial yang terbentuk secara organik di kampung kota tidak luput dari faktor penting yang menentukan dinamika resiliensi tersebut berjalan.

Foto: Suasana diskusi daring, 2 Mei 2020 (Sumber: KotaKita)

Diskusi USF Sesi Daring 2: Dinamika Kampung Kota dalam Merespon Pandemi dapat diakses melalui tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=fLyfkNLYQqg&t=30s

--

--