Menulis Ruang dalam Rezim Komersial

Writing Camp 0.1

Nekropolis
Nekropolis
3 min readMar 10, 2018

--

Oleh: Gehitto

Saat itu adalah Kamis sore (8/3/18) dalam sebuah diskusi intim di tengah hujan yang turun deras. Seorang penggagas Social Movement Institute atau yang biasa disebut SMI ini datang dengan semangat. Beliau adalah Eko Prasetyo. Seorang pemuda kelahiran Pacitan yang mengaku pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta ketika Dilan masih jatuh cinta dan Lupus masih begitu digemari — tahun 1990.

Narasumber: Eko Prasetyo

Saat itu beliau merasakan Yogyakarta dengan bus kotanya, kampus-kampus dengan sepedanya, Taman Pintar dengan pasar buku dan buahnya sekaligus bioskop rakyat — yang tak jarang memutarkan film-film mesum, membuat beliau bernostalgia akan sebuah situasi-situasi yang dianggapnya ‘radikal’ tetapi sangat menyenangkan. Suasana proletar saat itu membuat Kota Yogyakarta sangat nyaman untuk dihuni. Namun hari demi hari, ruang dan landscape kota berubah. Istana-istana belanja kian bermunculan menghasilkan masyarakat yang cenderung konsumtif — ‘gila belanja’ dan lagi-lagi rakyat dan ruang yang menjadi korban.

Dalam diskusi Nekropolis pertama — Writing Camp 0.1 — kami mencoba membahas mengenai relasi antara fenomena ruang perkotaan dan kegiatan menulis, yang akhirnya membawa pada satu tema: Menulis Ruang dalam Rezim Komersial.

Menurut Beliau, menulis adalah kegiatan yang sangat penting. “Menulis adalah sebuah kebutuhan” jelasnya. Dalam menulis dibutuhkan imajinasi sebagai kekuatan untuk merawat sebuah gagasan dari apa yang kita temukan sehari-hari.

“Imajinasi menjadi kekuatan yang bisa merawat sebuah gagasan” — Eko Prasetyo

Menulis adalah pekerjaan berpengalaman. Sebuah tulisan yang kaya namun tetap utuh akan terbentuk jika berangkat dari sebuah pengalaman. Dari realitas yang dirasakan sehari-hari. Kejadian demi kejadian, fenomena demi fenomena, padu dalam kesaksian dan pertanyaan-pertanyaan kritis.

Pada dasarnya semua itu terkait dalam suatu proses yang kita sendiri terkadang tidak mengerti batas awal dan akhirnya, siapa yang memulai dan mengakhiri, dari mana memulai dan apa yang membuat kita berhenti. Maka dari itu, perjalanan hidup menjadi sangat penting. Pengalaman-pengalaman baru serta perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan pribadi seseorang akan membawanya pada diri yang kaya — nantinya akan menjadikan tulisan yang lebih bewarna.

“Kalian adalah apa yang kalian tulis” — Eko Prasetyo

Bagus Samudra (kanan) Peserta Writing Camp 0.1

Tulisan yang didasari pengalaman pribadi akhirnya menjadi sangat subjektif dan sifatnya sangat personal. Maka dibutuhkan keahlian dalam mengembangkannya menjadi sesuatu yang objektif.

Menuliskan persoalan-persoalan publik secara objektif menjadi sangat penting saat ini. Di mana media begitu terbuka, medium ekspresi menulis sangat beragam, dan siapa saja kini bisa menjadi penulis, serta perkembangan masyarakat yang cenderung apatis-konsumtif di tengah rezim komersial dan perkembangan ruang berorientasi ‘pasar’.

Beliau menutup khidmat diskusi sore itu dengan persoalan inisiatif-inisiatif masyarakat yang timbul dan terbentuk untuk melakukan perlawanan. Bagaimana sebuah tulisan berangkat dari cara rakyat merespon permasalahan-permasalahan di sekitarnya — termasuk permasalahan ruang, dan akhirnya menjadi awal untuk inisiatif-inisiatif tersebut.

Salam Hangat,

Redaksi Nekropolis

Diskusi ini terselenggara dengan dukungan Perpustakaan Fakultas Teknik UGM, yang oleh karenanya kami haturkan banyak terima kasih.

--

--