Musik dan Diskotek

Nabila Elvanya
Nekropolis
Published in
3 min readNov 16, 2018
Penikmat Musik. Sumber: http://lockerradio.com/

Raden Fatah berhasil menyihir warga di Kampung Demak mengikut ajaran Islam melalui seni yang mudah diterima masyarakat. Lagu, cerita, dan tarian yang digelar di kerajaan dan terbuka untuk umum secara tidak sengaja menanamkan nilai-nilai Islam yang kemudian diikuti warga Demak. Dari sinilah salah satu syiar ajaran Islam di Jawa mulai santer terdengar.

Seni memang selalu dianggap mudah diterima masyarakat, terutama seni yang enteng dan tidak banyak mengandung filosofi-filosofi rumit layaknya karya Da Vinci. Seni yang dinikmati mata dan telinga warga Indonesia tidak jauh dari lagu dan tabuhan gendang yang membuka hati untuk ikut berdendang. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari pun menceritakan hal demikian, seni tersebut dijadikan alat politik untuk merebut kekuasaan. Lagi-lagi karena mudah diserap dan ringan dinikmati.

Lewat seni pun, budaya Barat ikut masuk ke Indonesia. Ternyata bukan hanya dari teknologi saja. Tanamur, sebuah diskotek di bilangan Tanah Abang Timur, Jakarta telah ikut menjadi media akulturasi nilai barat ke Indonesia. Diskotik yang resmi dibuka tahun 1970 ini diklaim menjadi diskotek pertama di Indonesia, dan bahkan di Asia Tenggara. David Tarigan, seorang pemerhati sejarah musik dalam wawancara dengan Vice Indonesia mengatakan, pemikiran masyarakat mulai terbuka setelah orde baru, sehingga banyak gaya barat yang diadopsi, mulai dari musik, cara menikmati musik, hingga gaya berpakaian. Tanamur yang menjadi diskotek top di Jakarta pada masanya sudah pasti berkontribusi mengenalkan budaya clubbing dan budaya pergaulan bebas lainnya, yang selama ini dianggap vulgar, gamblang, dan tabu diperbincangkan.

Diskotek. Sumber: https://wolipop.detik.com/resto-and-cafe/

Tulisan ini bukan ingin mendiskusikan apakah budaya berdisko baik atau tidak, melainkan bagaimana budaya ini menjamur di kota besar dan ikut berperan membentuk manusia di dalamnya.

Perkara apakah budaya diskotek mengandung unsur-unsur dosa dan kehidupan duniawi lainnya, itu perkara lain. Seperti pernah ditulis Goenawan Muhammad, ‘tidak ada dosa kolektif, sebagaimana tidak ada kebajikan kolektif.’

Yang jelas, budaya rehat untuk melepas penat dan kejenuhan kehidupan telah merebak ke berbagai tatanan. Di perdesaan mungkin masih ditemui kesenian lokal, seperti wayang, atau lenong betawi; di kota kecil yang menjadi transit sering ditemui kesenian dangdut koplo yang diwarnai hentakan musik dan saweran; di kota besar yang plural tidak jarang ditemui bar, club, pub, atau diskotik yang menuntut pengunjung untuk membayar bahkan untuk lewat pintu masuk. Intinya sama, semua menyajikan hiburan yang memampukan penikmatnya melupakan rutinitas hidup yang membosankan.

Seorang seniman besar yang baru-baru ini berpulang pernah menuturkan, “Hiburan adalah salah satu hal terpenting dalam hidup manusia. Tanpanya, mereka akan terjatuh sangat dalam.” Meskipun pernyataan itu keluar dari mulut seorang komikus, Stan Lee, namun mengandung arti serupa dengan hakikat hiburan dalam konteks seni musik. Plato pun menyatakan hal serupa, bahwa seni dipandang therapeutic dan menyiratkan sesuatu yang tidak dimiliki penikmatnya, sehingga seni mengedukasi jiwa dan memberikan tugas bagi seniman untuk membantu manusia menjalani kehidupan yang seru.

Macam seni tersebut yang seharusnya disuguhkan di lantai dansa, sebagaimana kita kenal dengan diskotek. Mirisnya, pengetikan kata ‘diskotek’ saja di mesin pencarian google langsung diikuti kata-kata denotasi yang tidak sedap. Tidak jarang juga muncul pemberitaan penutupan diskotek saking seringnya terjadi kasus. Kalau diringkus lebih dalam, kasus-kasus itu sebenenarnya berakar dari perilaku pengunjung yang terlalu berhasrat memuaskan tabiat. Mulai dari peredaran narkoba, hingga seks bebas. Tengok saja perkara diskotek Stadium dan Alexis di Jakarta. Semuanya memang menunjukkan bahwa suatu ruang yang mewadahi kegiatan bisa kemudian disalah artikan. Ruang yang seharusnya menjadi tempat melepas penat kadang dimaknai kebablasan.

Diskotek sejatinya menjadi wadah seni musik bergema, sungguh disayangkan kini sering disalah gunakan.

Referensi:

Ardiansjah, N., 2018. Menelusur Kenangan Diskotek Tanamur, Diskotek Pertama Asia Tenggara. [Online]
Diakses di: https://merahputih.com/post/read/menelusur-kenangan-diskotek-tanamur
[Diakses pada 16 November 2018].

Mohamad, G., 2006. Shatila. In: Catatan Pinggir 1. Jakarta: Grafiti Pers, pp. 286–287.

VICE Indonesia. 2018. Disco Isn’t Dead in Indonesia: Indopop, VICE Indonesia, Jakarta, Indonesia. 14 min. [Online]
Diakses di: https://www.youtube.com/watch?v=4r-owv1C_sU

Widi, H., 2011. Demak, Nagari Para Wali. [Online]
Diakses di: https://travel.kompas.com/read/2011/08/22/17161272/Demak.Nagari.Para.Wali
[Diakses pada 16 November 2018].

Zatat, N., 2018. Stan Lee’s 7 most inspiring quotes as Marvel Comics legend dies aged 95. [Online]
Diakses di: https://www.indy100.com/article/stan-lee-dead-quotes-inspiring-marvel-comic-book-spider-man-x-men-avengers-8631076
[Diakses pada 16 November 2018].

--

--