One Belt One Road (OBOR) dan Pembangunan Berkelanjutan: Menilik Kembali Pembangunan New Yogyakarta International Airport

Nekropolis
Nekropolis
Published in
10 min readDec 30, 2017

Oleh: Anita Munafia

Inisiasi ‘One Belt One Road’. Gambar: sumber

Sejak diperkenalkan pada 2013 oleh Xi Jinping, OBOR telah berhasil merangkul 65 negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai kerjasama mencapai USD$ 4.4 triliun.[1] Indonesia sebagai salah satu negara target di Asia diestimasikan menerima total investasi sebesar USD$ 69.256 juta.[2] Meski demikian, dalam beberapa tahun perjalanannya, OBOR mulai menemui banyak kasus kegagalan dan merugikan negara asal, yang mengindikasikan bahwa proyek ini kurang sesuai untuk pembangunan berkelanjutan.[3] Oleh karena itu, penulis hendak mendiskusikan bagaimana OBOR kurang aman untuk pembangunan berkelanjutan dari sisi ekonomi dan politik di negara penerima dengan berfokus pada proyek OBOR di Indonesia, yaitu pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Penulis percaya bahwa OBOR kurang mampu mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan di negara penerima, khususnya negara dengan tingkat perekonomian rendah. Untuk itu, penulis akan berfokus pada dua argumen, yaitu mekanisme investasi OBOR sebagai titik picu debt trap di sektor ekonomi dan politik negara penerima, dan polemik OBOR dalam proyek Bandar Udara NYIA.

Ide OBOR berawal dari rekomendasi Xi untuk meggunakan simpanan devisa Cina yang melimpah untuk memberi pinjaman kepada negara berkembang. Pinjaman tersebut kemudian ditranslasikan menjadi proyek pembangunan infrastruktur yang akan melibatkan perusahaan-perusahaan Cina.[4] Dengan demikian, cadangan devisa menjadi lebih produktif, industri Cina dan skema produksi memiliki pasar baru yang kemudian akan memicu pertumbuhan GDP dalam jangka panjang dan over-produksi domestik teratasi. Dalam 13th Five-Year Plan, dijelaskan bahwa program ini bertujuan untuk membangun masyarakat makmur pada 2020 dengan output per-kapita dua kali lipat dari 2010 ke 2020.[5] Hal ini akan mewujudkan ‘China’s dream’ dalam konteks internasional dan mewujudkan ‘the great revival of the Chinese nation’.[6] Hal ini dipertegas Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, bahwa OBOR akan menjadi jembatan signifikan bagi terwujudnya Sustainable Development Goals (SDGs) yang diusung PBB.[7]

OBOR ditargetkan menghabiskan USD$ 4.4 Triliun yang terbagi dalam berbagai proyek infrastruktur di 65 negara. Adapun dana dari Cina akan dikucurkan dari tiga institusi utama, yaitu the Export-Import Bank of China, Asia Infrastructure Investment Bank, dan the Silk Road Fund.[8] Secara umum, OBOR bekerja dengan cara membuka proposal kerjasama dari negara-negara yang menjadi target OBOR dalam dua jenis, yaitu Silk Road Economic Belt (SREB) dan Maritime Silk Road (MSR). Negara yang tidak terlewati juga dapat mengajukan proposal kerjasama untuk makin memperluas cakupan OBOR. Proposal dari kedua mekanisme tersebut akan ditinjau untuk memutuskan pemberian loans maupun grants. Dalam loans, kredit diberikan atas dua jenis yang berbeda, yaitu government concessional loan dan preferential buyer’s credit. Kedua jenis loans sama-sama berjangka 20 tahun dengan interest rate maksimal 3%.[9] Namun demikian, hal ini bukanlah suatu spesimen yang rigid karena persyaratan kerjasama masih dapat disesuaikan dengan keadaan negara, sehingga persyaratan di negara A belum tentu berlaku sama di negara lainnya.[10]

Penulis percaya OBOR diluncurkan pada waktu yang tepat, dimana mayoritas negara-negara Asia memang sedang membutuhkan pembangunan infrastruktur demi memperlancar perekonomian.[11] Pembangunan infrastruktur tentu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan pembangunan di sektor lain seperti sosial dan pendidikan. Intervening variable seperti cuaca, penggunaan bahan yang pas dengan kondisi lingkungan yang akan dibangun hingga desain secara otomatis menjadi sangat signifikan pengaruhnya, apalagi jika OBOR menginginkan mayoritas penggunaan sumber daya Cina dalam proyek-proyek tersebut, biaya distribusi dan pengiriman bahan bangunan tentu tidak sedikit. Besarnya biaya yang diperlukan yang berdampak pada besarnya pinjaman yang harus diambil terkadang menyebabkan negara tidak berpikir rasional dalam perhitungan sehingga sangat mungkin jika OBOR di masa depan menyebabkan the debt trap yang tentu tidak sehat untuk pembangunan berkelanjutan jika dipandang dari sisi ekonomi.

Hal ini dapat dilihat dari kasus debt trap yang dialami Sri Lanka. Pada 2013, Sri Lanka membangun Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Hambantota, 250 km selatan Colombo. Pembangunan bandara tersebut didanai pinjaman dari Cina melalui Bank EXIM sebesar USD$ 190 juta dengan bunga sebesar 6,3%. Jumlah tersebut mencakup 90% dari total biaya pembangunan bandara secara keseluruhan. Pembangunan bandara ini didasari atas kebutuhan bandara baru untuk menggantikan bandara Colombo yang sudah melampaui batas kemampuannya. Bandara ini kemudian dibangun dengan pelabuhan seharga USD$ 1.4 milyar, kawasan industri dan proses ekspor, pusat eksibisi, stadion kriket dan area hotel dan liburan yang terkoneksi satu sama lain dengan jalan tol terbaik di Sri Lanka. Usai pembangunan, Sri Lankan Airlines membuka penerbangan baru di MRIA ke beberapa destinasi utama seperti Bangkok, Beijing, Chennai dan Jeddah. Setelah beberapa bulan berjalan, ternyata permintaan akan penerbangan tersebut hanya sedikit. Menurut data pemerintah, pada 2014 hanya ada 3.000 penerbangan dan melayani 21.000 penumpang, atau hanya sekitar 7 penumpang per penerbangan. Keadaan serupa terjadi juga di pelabuhan yang seharusnya menjadi komplementer bandar udara.[12]

Sebagai konsekuensi atas ketidakmampuan membayar kredit maupun bunga, pada akhir Juni 2016, Pemerintah Sri Lanka membuka Expressions of Interest (EOI) pada investor untuk mencari sumber pendanaan.[13] Hal ini belum mencapai titik temu sehingga Pemerintah Sri Lanka membuat perjanjian dengan Pemerintah Cina berupa ekuitas (menyerahkan lahan untuk disewa) pelabuhan selama 99 tahun kepada Cina.[14] Bandar udara akhirnya dijual kepada India untuk membayar pinjaman kepada Cina, namun menilik mekanisme ekuitas yang dipilih Pemerintah Sri Lanka, bukan tidak mungkin di masa depan kedua infrastruktur ini akan jatuh ke tangan Pemerintah Cina secara penuh. Protes terus didengungkan oleh penduduk sekitar karena kekhawatiran bahwa pelabuhan akan dijadikan pangkalan militer oleh Cina.[15] Hal ini menunjukkan OBOR juga tidak aman untuk pembangunan berkelanjutan jika ditilik dari segi politik.

Polemik NYIA

Di Indonesia, OBOR memiliki 13 proyek tersebar yang sebagian besar fokusnya pada Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Diantara ke-13 proyek tersebut, penulis berpendapat bahwa proyek pembangunan Kulon Progo (New Yogyakarta) International Airport menjadi yang paling kontroversial. Dengan nilai investasi sebesar USD$ 700 juta dan sudah berstatus awarded, serupa dengan pembangunan MRIA, pembangunan NYIA mendapat banyak kecaman tidak hanya dari penduduk sekitar namun juga dari LSM di luar Yogyakarta.[16] Namun demikian, dari hasil wawancara lapangan, penduduk sekitar dan LSM yang terlibat seperti WALHI dan Jogja Darurat Agraria sama sekali tidak memiliki pengetahuan akan program OBOR yang menjadi sponsor terbesar dalam proyek ini.[17]

Lebih lanjut, daerah Temon, Kulon Progo dimana bandara akan dibangun merupakan kawasan rawan tsunami dan gempa bumi. Secara ekologis, Yogyakarta merupakan daratan yang terbuat dari endapan sungai yang berhulu di Merapi yang notabene lebih mudah menghantarkan getaran gempa bumi. Pada gempa bumi Bantul 2006 dengan skala 5,9 skala richter, 6.000 orang tewas dan merobohkan ribuan bangunan. Jumlah ini sangat masif jika dibandingkan dengan gempa Bengkulu 2007 dengan skala lebih besar yaitu 8,7 skala richter yang hanya menewaskan 3 orang.[18]

Selain itu, proses pembebasan lahan NYIA terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Menurut penduduk yang masih bertahan, belum ada kesepakatan jelas antara warga dan PT Pembangunan Permukiman (PP) dimana warga yang bertahan dipaksa menyerahkan haknya dengan dalih PT PP telah menitipkan ganti rugi yang belum diketahui nilainya. Warga yang bertahan kemudian ditekan dengan upaya-upaya pelanggaran HAM, seperti kekerasan, untuk bersedia rumahnya digusur dan segera menandatangani konsinyasi di pengadilan.[19] WALHI sedari awal menyatakan ketidaksetujuannya karena salinan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digunakan sebagai legitimator prosedur hingga kini belum dirilis setelah dibacakan pada pertemuan warga terdampak pada 6 Juni 2017. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Badan Penanggulangan Bencana DIY yang hadir mengemukakan bahwa dokumen pembangunan belum dilengkapi dengan rencana penanggulangan bencana, keberadaan peringatan dini bencana tsunami, gempa dan banjir. Adapun perwakilan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Jawa Tengah juga menyoroti NYIA yang berada di lokasi rawan bencana tsunami, dan meminta hal itu menjadi perhatian khusus. Terlebih, dokumen juga belum memperhatikan multiplier effects NYIA terhadap Jawa Tengah.[20] Atas hal ini, penulis yakin pembangunan NYIA terlalu terburu-buru dan tidak memiliki pondasi yang kuat, sehingga tidak menutup kemungkinan di masa depan NYIA akan bernasib mirip dengan MRIA apabila pemerintah tidak segera melakukan peninjauan ulang dari seluruh aspek, terutama ekonomi dan politik, terutama untuk sekali lagi mengecek keyakinan akan kemampuan pemerintah mengembalikan pinjaman Cina di masa depan, mengingat Indonesia kini memiliki USD$ 264 milyar public debt.[21]

Kedua argumen di atas, yaitu mekanisme investasi OBOR sebagai titik picu debt trap dan tantangan pembangunan berkelanjutan OBOR dalam proyek Bandar Udara NYIA telah menunjukkan bahwa OBOR, dan proyek NYIA secara spesifik, kurang mampu mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan di negara penerima, khususnya negara dengan tingkat perekonomian rendah. Penulis berharap pemerintah Cina mau segera meninjau ulang bentuk kerjasama OBOR sehingga tujuan yang baik ini dapat menjadi lebih dipertanggungjawabkan dan mendukung pembangunan berkelanjutan di masa depan.

Catatan Kaki

[1] A. Sajjanhar, ‘China’s Belt and Road Initiative: Prospects and Pitfalls,’ Institute for Defence Studies and Analyses (daring), 28 November 2017, https://idsa.in/idsacomments/china-belt-and-road-initiative_asajjanhar_281117, diakses pada 1 Desember 2017.

[2] K. Ch. Das, ‘The Making of One Belt, One Road and Dilemmas in South Asia,’ China Report, vol. 53, no. 2, May 8 2017, p. 128.

[3] SM Hali, Dr. T. Shukui dan I. Sumera, ‘One Belt and One Road: Impact on China-Pakistan Economic Corridor,’ Strategic Studies, vol. 34, no. 4, 2015, pp. 147–148.

[4] R. Garnaut, ‘Mostly Slow Progress on the New Model of Growth,’ dalam Ligang Song, Ross Garnaut, Cai Fang, dan Lauren Johnston (ed.), China’s New Sources of Economic Growth: Vol. 1, ANU Press, Australia, p. 24.

[5] Garnaut, pp. 32–33.

[6] Xi Jinping, ‘Pidato pada Pertemuan Anggota Komite Politburo Standing,’ BBC News (daring), 12 November 2012, <om: www.bbc.com/news/world-asia-china-20338586>, diakses pada 1 Desember 2017.

[7] ‘OBOR complementary to 2030 Agenda for Sustainable Development, Wang Yi,’ Xinhua Finance Agency in Beijing (daring), 19 July 2017, http://en.xfafinance.com/html/BR/Policy/2017/350642.shtml, diakses pada 2 Desember 2017.

[8] TW Lim, ‘Introduction,’ dalam Tai Wei Lim, Wen Xin Lim, Henry Chan, dan Katherine Tseng (ed.), China’s One Belt One Road Initiative, Stallion Press, Singapore, pp. 11–13.

[9] ‘“China-West-Developing Markets” Infrastructure Collaboration — Chinese bilateral financing, One-Belt-One-Road, host government PPP, and western capital markets,’ Strategy& (presentasi), 11 May 2017, Alana Hotel Yogyakarta, diakses 3 Desember 2017.

[10] A. Chhibber, ‘China’s One Belt One Road Strategy: The New Financial Institutions and India’s Options,’ Institute for International Economic Policy Working Paper Series, no. 7, Maryland, March 2017, p. 6.

[11] Ch. Das, pp. 126–127.

[12] W. Shepard, ‘For Sale: The World’s Emptiest International Airport,’ Forbes (daring), 18 July 2016, < https://www.forbes.com/sites/wadeshepard/2016/07/18/for-sale-the-worlds-emptiest-international-airport-mattala-international-hambantota-sri-lanka/#3fa322701e3b>, diakses pada 4 Desember 2017.

[13] Shepard, ‘For Sale: The World’s Emptiest International Airport’.

[14] A. Panda, ‘Sri Lanka Formally Hands Over Hambantota Port to Chinese Firms on 99-Year Lease,’ The Diplomat (daring), 11 December 2017, <https://thediplomat.com/2017/12/sri-lanka-formally-hands-over-hambantota-port-to-chinese-firms-on-99-year-lease/>, diakses pada 11 Desember 2017.

[15] ‘A scary glimpse into how China’s OBOR can ruin small countries,’ The Economic Times (daring), 22 August 2017, <https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/a-scary-glimpse-into-how-chinas-obor-can-ruin-small-countries/articleshow/60173526.cms>, diakses pada 4 Desember 2017.

[16] Ch. Das, p. 128.

[17] Hasil Wawancara di Posko PWPP, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta pada 9 Desember 2017.

[18] ‘LIPI Minta Pemerintah Analisa Risiko Bandara Kulon Progo, Sebab..,’ Tempo (daring), 30 Agustus 2017, <https://nasional.tempo.co/read/904458/lipi-minta-pemerintah-analisa-risiko-bandara-kulon-progo-sebab>, diakses pada 11 Desember 2017.

[19] ‘Perampasan Ruang Hidup dan Penghidupan,’ dalam Jogja Darurat Agraria (ed.), Panggilan Solidaritas: Mendukung Perjuangan Petani Kulon Progo Melawan Bandara dan Kota Bandara, JDA Press, Yogyakarta, 2017, pp. 6–7.

[20] U. Febriarni, ‘Bandara Kulon Progo: Dokumen Amdal NYIA Bolong Sana-sini,’ Solo Pos (daring), 20 Juni 2017, <http://www.solopos.com/2017/06/20/bandara-kulonprogo-dokumen-amdal-nyia-bolong-sana-sini-827397>, diakses pada 10 Desember 2017.

[21] Strategy&, ‘“China-West-Developing Markets” Infrastructure Collaboration — Chinese bilateral financing, One-Belt-One-Road, host government PPP, and western capital markets’.

Referensi

Artikel Daring

‘OBOR complementary to 2030 Agenda for Sustainable Development, Wang Yi,’ Xinhua Finance Agency in Beijing (daring), 19 July 2017, http://en.xfafinance.com/html/BR/Policy/2017/350642.shtml diakses pada 2 Desember 2017.

Panda, Ankit, ‘Sri Lanka Formally Hands Over Hambantota Port to Chinese Firms on 99- Year Lease,’ The Diplomat (daring), 11 December 2017, https://thediplomat.com/2017/12/sri-lanka-formally-hands-over-hambantota-port- to-chinese-firms-on-99-year-lease/>, diakses pada 11 Desember 2017.

Sajjanhar, Ashok, ‘China’s Belt and Road Initiative: Prospects and Pitfalls,’ Institute for Defence Studies and Analyses (daring), 28 November 2017, https://idsa.in/idsacomments/china-belt-and-road-initiative_asajjanhar_281117, diakses pada 1 Desember 2017.

Shepard, Wade, ‘For Sale: The World’s Emptiest International Airport,’ Forbes (daring), 18 July 2016, https://www.forbes.com/sites/wadeshepard/2016/07/18/for-sale-a the-worlds-emptiest-international-airport-mattala-international-hambantota-sri- lanka/#3fa322701e3b, diakses pada 4 Desember 2017.

Artikel Jurnal

Ch. Das, Khanindra, ‘The Making of One Belt, One Road and Dilemmas in South Asia,’ China Report, vol. 53, no. 2, May 8 2017, p. 128.

Shafei Moiz Hali, Dr. Tan Shukui dan Sumera Iqbal, ‘One Belt and One Road: Impact on China-Pakistan Economic Corridor,’ Strategic Studies, vol. 34, no. 4, 2015, pp. 147–148.

Artikel Surat Kabar

‘A scary glimpse into how China’s OBOR can ruin small countries,’ The Economic Times (daring), 22 August 2017, <https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/a- scary-glimpse-into-how-chinas-obor-can-ruin-small- countries/articleshow/60173526.cms>, diakses pada 4 Desember 2017.

‘LIPI Minta Pemerintah Analisa Risiko Bandara Kulon Progo, Sebab..,’ Tempo (daring), 30 Agustus 2017, <https://nasional.tempo.co/read/904458/lipi-minta-pemerintah- analisa-risiko-bandara-kulon-progo-sebab>, diakses pada 11 Desember 2017.

Febriarni, Uli, ‘Bandara Kulon Progo: Dokumen Amdal NYIA Bolong Sana-sini,’ Solo Pos (daring), 20 Juni 2017, <http://www.solopos.com/2017/06/20/bandara-kulonprogo- dokumen-amdal-nyia-bolong-sana-sini-827397>, diakses pada 10 Desember 2017.

Xi Jinping, ‘Pidato pada Pertemuan Anggota Komite Politburo Standing,’ BBC News (daring), 12 November 2012, < www.bbc.com/news/world-asia-china-20338586>, diakses pada 1 Desember 2017.

Buku

‘Perampasan Ruang Hidup dan Penghidupan,’ dalam Jogja Darurat Agraria (ed.), Panggilan Solidaritas: Mendukung Perjuangan Petani Kulon Progo Melawan Bandara dan Kota Bandara, JDA Press, Yogyakarta, 2017, pp. 6–7.

Garnaut, Ross, ‘Mostly Slow Progress on the New Model of Growth,’ dalam Ligang Song, Ross Garnaut, Cai Fang, dan Lauren Johnston (ed.), China’s New Sources of Economic Growth: Vol. 1, ANU Press, Australia.

Tai Wei Lim, ‘Introduction,’ dalam Tai Wei Lim, Wen Xin Lim, Henry Chan, dan Katherine Tseng (ed.), China’s One Belt One Road Initiative, Stallion Press, Singapore.

Presentasi

‘“China-West-Developing Markets” Infrastructure Collaboration — Chinese bilateral financing, One-Belt-One-Road, host government PPP, and western capital markets,’ Strategy& (presentasi), 11 May 2017, Alana Hotel Yogyakarta, diakses 3 Desember 2017.

Terbitan Serial

Chhibber, Ajay, ‘China’s One Belt One Road Strategy: The New Financial Institutions and India’s Options,’ Institute for International Economic Policy Working Paper Series, no. 7, Maryland, March 2017, p. 6.

Wawancara Lapangan

Hasil Wawancara di Posko PWPP, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta pada 9 Desember 2017.

Penulis adalah mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada.

--

--