Pemuda dan Narasi Alternatif Perkotaan Indonesia

Sebuah kolaborasi Nekropolis dan Kolektif Agora dalam Urban Social Forum ke-5

Nekropolis
Nekropolis
3 min readJan 31, 2018

--

Oleh: Fadhila NLS ⚡ dan Fildzah Husna Amalina

Suatu saat di bulan Oktober 2017, kami Nekropolis bersama kawan-kawan Kolektif Agora di Bandung memberanikan diri (kalau bukan dibilang lumayan nekat) untuk berkolaborasi menyelenggarakan sebuah panel diskusi di Urban Social Forum ke-5 di Bandung. Waktu itu, kami ini masih bisa dibilang bayi-bayi yang baru lahir.

Sebelum itu, bergabung dengan Urban Social Forum memang sudah menjadi target jangka pendek Nekropolis. Misi kami di USF sebetulnya sederhana, selain untuk, tentu saja, memperkenalkan Nekropolis dan membuka koneksi-koneksi baru, juga untuk menyebarkan apa yang menjadi dasaran dan nilai yang kami bawa: mengapa kegiatan literasi dan diskusi? Apa pengaruhnya? Berkorespondensi dengan teman-teman di Bandung yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai Kolektif Agora, ternyata kami memiliki banyak kesamaan visi. Jadilah kemudian kami bersama-sama merumuskan diskusi panel ini.

Baik Nekropolis maupun Kolektif Agora, keduanya berusaha menciptakan ruang di mana narasi alternatif perkotaan dapat dieksplor dan direproduksi melalui diskusi dan tulis-menulis. Dengan semangat yang sama pula kami mengonsep diskusi panel ini.

Proses mematangkan diskusi ini cukup panjang, koordinasi antar-kota juga lumayan menjadi tantangan. Dibantu oleh panitia, akhirnya “Pemuda dan Narasi Alternatif Perkotaan Indonesia” lahir sebagai panel 17 di USF ke-5. Turut membersamai dalam diskusi panel ini adalah Evi Mariani sebagai jurnalis sekaligus aktivis perkotaan, GM Nur Lintang dan Siti Maymunah dari Kampung Kota Merekam, dan Muhaimin Zul dari Tanah Indie di Makassar. Dengan medan dan pengalaman mereka masing-masing, ketiga “unsur” ini kami rasa cukup untuk bersama-sama dengan peserta mengelaborasi narasi alternatif perkotaan dan peran pemuda di dalamnya.

Begitulah, sedikit kisah bagaimana kolaborasi ini bisa terjadi. Pada akhirnya mungkin diskusi ini tidak berjalan seideal apa yang awalnya kami konsepkan, namun kami banyak belajar dalam prosesnya. Melalui tulisan ini kami, Nekropolis, menghaturkan apresiasi sebesarnya terutama untuk kawan-kawan Kolektif Agora (mari, kolaborasi lagi!), Kota Kita dan Urban Social Forum, narasumber-narasumber, serta semua yang sudah berpartisipasi dan mendukung kami baik dalam diskusi maupun yang berinteraksi melalui live streaming dan media sosial. Pun ini juga adalah undangan terbuka untuk berbagai kolaborasi di masa yang akan datang, bahwa kami Nekropolis, berusaha sekuatnya untuk konsisten menjadi sebuah ruang yang bebas.

Kisah dan liputan ini memang terlambat lebih dari sebulan, tapi kami percaya lebih baik terlambat daripada terlambat banget.

Suasana diskusi panel 17. Dokumentasi oleh Dinda Primazeira.

“Gerakan literasi tidak dapat berdiri sendiri, tapi literasi dapat men-support aktivisme perkotaan”

— Muhaimin Zul

Bandung, 16 Desember 2017

Diskusi kali ini tidak seperti diskusi yang biasanya kami lakukan. Bersama Kolektif Agora, kami menghadirkan beberapa pemantik diskusi untuk membangkitkan gairah literasi yang memberikan narasi alternatif mengenai perkotaan di Indonesia. Ada Muhaimin Zul dari Tanah Indie Makassar, Evi Mariani Sofian, jurnalis dan aktivis perkotaan, serta Siti Maymunah dan GM Nur Lintang dari Kampung Kota Merekam.

Dimoderatori oleh Alvaryan Maulana dari Kolektif Agora, diskusi menjadi sangat hidup dengan gagasan-gagasan yang dilempar oleh para pemantik mengenai kegiatan literasi yang mengangkat isu perkotaan. Kita belajar dari Tanah Indie yang menginjeksi seni di lorong-lorong kriminalitas, sembari meneliti fenomena kekerasan terhadap perempuan di dalamnya. Kemudian meresapi pengalaman merekam sejarah dan kehidupan kampung kota bersama Kampung Kota Merekam yang berhasil mendapatkan exposure internasional. Hingga akhirnya bersama mba Evi Mariani mengamini adanya bias pemberitaan isu perkotaan di media massa yang dimotori oleh para kaum menengah ke atas dengan konsepsi mereka atas sebuah kota yang layak.

Suasana diskusi panel 17. Dokumentasi oleh Dinda Primazeira.

Terlepas dari perdebatan seberapa besar dampak yang diberikan oleh narasi alternatif perkotaan terhadap persepsi masyarakat dan perkembangan kota, gerakan literasi tetap dibutuhkan sebagai sesuatu yang sifatnya komplementer. Gerakan literasi terbukti berhasil melibatkan masyarakat untuk membaca dan menulis hingga memproduksi seni atas fenomena sosial yang terjadi di kehidupan mereka. Tinggal bagaimana dari gerakan literasi ini kemudian tidak hanya menghasilkan karya semata namun menjadi bentuk pengorganisasian masyarakat untuk dapat berdaya.

p.s. Rekaman diskusi lengkap bisa dilihat di sini.

Sampai jumpa di diskusi-diskusi lainnya,

Salam hangat,
Redaksi Nekropolis

--

--