Prahara Mega Proyek Pembangunan Bandara Kulon Progo

(Anatomi, Eskalasi dan Resolusi)

Nekropolis
Nekropolis
16 min readDec 27, 2017

--

oleh: Sri Bintang Pamungkas dan Anggalih Bayu

Puing rumah warga yang tergusur. Dokumentasi oleh Fildzah Husna Amalina, 7 Desember 2017.

“Hati kami sudah terlanjur terluka oleh pendekatan pemerintah dan pihak investor yang salah sejak awal. Mereka tidak menggunakan cara-cara persuasif. Bahkan kami yang tinggal di selatan jalan Daendles, dari Trisik sampai timur Sungai Serang, diperlakukan seperti layaknya “Gepeng” (gelandangan dan pengemis-pen) yang harus disingkirkan.”
(Martono, Ketua WTT)[1]

Tulisan ini akan menelisik konflik mega proyek pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, yang dari hari ke hari semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung dalam wahana Tri Tunggal (WTT) Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), tak bias dihindarkan lagi. Tanpa takaran dialog memadai, kerasnya kebijakan yang bersikukuh merealisasikan proyek, semakin menyulut resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat pun bermanifestasi menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak dapat ditolak, konflik kekerasan pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana rakyat mengambil posisi tawar yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan pengusaha berikut aktor-aktornya di tingkat basis.

Tulisan ini berupaya memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima tahun belakangan, upaya pemerintah yang setengah hati dalam penyelesaian konflik dan justru semakin membuat isu ini semakin ekskalatif. Dengan mengacu pada pemetaan konflik Paul Wehr[2], bagian pertama tulisan akan mengilustrasikan konteks situasi yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak yang terlibat (baik yang langsung dan tidak langsung, serta yang terkait upaya perdamaian) dan isu-isu atau persoalan utama sebagai obyek konflik pun turut terpapar di bagian ini. Pada bagian kedua, secara historis tulisan akan mengetengahkan eskalasi konflik itu sampai situasi terkini. Pada bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang bagi resolusi konflik. Pada bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian dengen memberikan beberapa catatan kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas peristiwa termutakhir seputar peta politik paska terpilihnya bupati baru di Kabupaten Kulon Progo. selain ditempuh melalui kajian pustaka dan penelusuran pemberitan dari sejumlah media massa, tulisan juga dilengkapi dengan hasil wawancara penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait dalam konflik pembangunan Bandara di Kulon Progo.

Prahara yang Berkepanjangan

Awal mula ada rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sebenarnya sudah ada isunya ketika pemerintahan bupati periode sebelumnya yaitu pada saat Pak Hasto menjabat sebagai Bupati Kulon Progo. Pada penghujung 2011 mulai muncul isu akan dibangunya bandara baru di Kulon Progo. Pada tahun 2012 isu pembangunan bandara di Kulon Progo semakin santer terdemgar, dan mulai menimbulkan pertentangan di masyarakat (pro dan kontra).

Setidaknya 5 tahun belakangan ini masyarakat Kulon Progo di Kecamatan Temon kabupaten Kulon Progo mengalami pergolakan, karena disebabkan oleh adanya pembangunan bandara baru di Kulon Progo, yang nantinya akan menggantikan bandara lama yaitu Bandara Adisutjipto sebagai bandara komersil. Sedikitnya ada lima desa yang terdampak pemabangunan bandara di Kulon Progo yaitu Desa Palihan, Glagah, Sindutan, Kebonrejo, dan Desa Jangkaran. Dari lima desa itu ada dua desa yang memang terkena dampak paling luas yaitu Desa Palihan dan Glagah.

Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat terdampak pembangunan bandara:

Kronologi Konflik Pembangunan NYIA. Sumber: Riset oleh Penulis.

Pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya di Kecamatan Temon merupakan hasil pengkajian pemilihan tempat sebelumnya, yang kemudian pilihan jatuh di Kulon Progo. Pengkajian tersebut berkaitan dengan kelayakan lokasi penerbangan.Pemerintah berdalih kenapa perlunya pembangunan Bandara Internasional baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (PT. Angkaa Pura I 2015), yaitu:

Pertama, Kapasitas terminal Bandara Adisutjipto tidak mampu lagi menampung pesawat yang take off and landing. Adapun daya tampung Bandara Adisutjipto adalah 1,2 s.d 1,5 juta, sedangkan jumlah per 2014 sudah mencapai 6,2 juta penampung. Kapasitas area parkir pesawat (apron) hanya menampung 7+1 (apron baru).

Kedua, transportasi udara yang baru di Yogyakarta memang dirasa perlu. Mengingat Yogyakarta sebagai destinasi para wisatawan baik mancanegara maupun lokal, memerlukan jasa transportasi yang efektif, efisiensi, dan nyaman. Transportasi udara menjadi pilihan para pelancong dalam berpergian antar negara dan antar kota. Selain itu pembangunan bandara baru juga untuk memenuhi kebutuhan jasa penerbangan baik domestik maupun non-dosmetik, mengingat akan kebutuhan konsumen yang setiap tahun mengalami peningkatan.

Ketiga, Bandara Adisutjipto adalah milik Pangkalan TNI AU yang sebenaranya bukan untuk komersil, sehingga tidak jarang ketika TNI AU mengadakan latihan pesawat penerbangan domestik terganggu sehingga adanya delay atau penundaan baik ketika pesawat mau turun maupun terbang.

Akan tetapi pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulon Progo menemui resistensi dari masyaralat khususnya petani, sehingga yang rencananya pembangunan bandara akan dimulai awal tahun 2016 akhirnya belum juga dapat direalisasikan. Hambatan sosial menjadi faktor utama, yaitu adanya masyarakat yang menolak pembangunan bandara di Kulon Progo ini.

Penolakan pembangunan bandara dilakukan oleh mereka yang benar-benar menolak adanya bandara yaitu kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT), dan masyarakat yang mendukung (pro) namun dengan mengajukan beberapa persyaratan yang mereka ajukan. Di antara syarat yang harus dipenuhi yaitu masalah ketenagakerjaan, ganti rugi lahan milik masyarakat, kompensasi Pakualaman Ground, dan relokasi gratis. Namun dari tiga syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai relokasi gratis.

Anatomi Konflik Mega Proyek Bandara Kulon Progo

Berpijak pada paparan panjang di atas, uraian berikut akan mendiskripsikan hasil analisis mengenai berbagai faktor penyebab munculnya konflik. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga faktor penyebab konflik yang beroperasi dalam mega proyek pembangunan Bandara di Kulon Progo ini.

Pertama, akar konflik yang nampak menyolok adalah persoalan tanah atau agraria. Persoalan status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah munculnya kontroversi penambangan pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon Progo. Di satu sisi Pakualaman mengklaim bahwa sejumlah tanah di wilayah itu merupakan Pakualam Ground. Di sisi lainnya, warga merasa berhak pula atas tanah pesisir yang telah mereka kelola selama 20 tahun, hingga menjadi lahan pertanian yang subur seperti saat ini. Warga pun menuntut sertifikasi tanah lahan pesisir itu.

Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG) memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga saat ini. Terjadi dualism penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu sisi mengacu pada pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta №16/1918 dan Rijksblad Pakualaman №18/1918 dan di sisi lainnya mengacu pada pemberlakuan UUPA No 5/1960.[3] Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas bertentangan dua asas hukum. Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi inferiori). Kedua, hukum yang datangnya lebih dahulu dapat dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori).[4] Persoalan agraria di DIY ini semakin terasa kompleks sejak berlangsungnya otonomi daerah, terutama saat mengemukanya kembali polemik RUUK dalam lima tahun terakhir.

Kedua, terkait dengan akar persoalan agraria di atas, persoalan kedua ini adalah soal timpangnya kekuasaan dalam desentralisasi. Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal akan berakibat pada dua hal: pertama, pola dan mekanisme perumusan kebijakan publik (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) yang bias pada kepentingan elit penguasa; dan kedua, hasil kebijakan itu praktis akan mendorong optimalisasi penguasaan sumber-sumber ekonomi produktif oleh elit-elit lokal tersebut.

Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya mengemuka dan terkuak ketika hadir pihak ketiga, yaitu investor asing yang hendak menginvestasikan modalnya secara langsung dari hulu hinga hilirnya pembangunan. Konflik yang semula berada di dalam sekam, akhirnya mengemuka sebagai konflik terbuka, bahkan telah berujung pada konflik kekarasan. Dalam pusaran persoalan yang saling berkelit berkelindan itulah yang menyebabkan para warga pesisir merasa tidak mendapatkan rasa keadilan. Lahan penghidupan sebagai sumber kesejahteran terancam terenggut dengan cara-cara yang tidak adil dan manusiawi. Dalam konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah mengatakan bahwa bekerjanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama apa yang disebutnya sebagai spiral kekerasan.[5]

Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait dengan mega proyek penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya kedalam kategori berikut: pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar konflik (yang memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di DIY); kedua, ketimpangan kekuasaan dalam desentralisasi terkategorikan sebagai pendorong munculnya konflik; dan ketiga, keterlibatan investor asing dalam pembangunan bandara tersebut merupakan pemicu konflik.

Eskalasi Konflik

Pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah dimulai, ditandai dengan peletakan batu merah pertama oleh Presiden Joko Widodo dalam satu seremoni bertajuk “Babat Alas Nawung Kridha”. Menurut pemerintah, Pembangunan bandara di lahan seluas 587 hektare tersebut harus segera dilaksanakan, sebab perencanaannya sudah tujuh tahun. Dengan berdalih kehadiran bandara tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran Bandara Adisutjipto yang yang kapasitasnya sudah tidak mampu menampung pertumbuhan pergerakan penumpang dan pesawat lantaran keterbatasan lahan. Kapasitas maksimal terminal penumpang di bandara Adisutjipto yang memiliki luas 15 ribu meter persegi tersebut, hanya sekitar 1,2 juta penumpang per tahunnya. Begitupun dengan fasilitas lainnya seperti, apron (area parkir pesawat) yang berkapasitas hanya delapan pesawat, dan landasan pacu (runway) sepanjang 2.250 meter, dinilai sudah tidak mampu lagi untuk menambah pergerakan pesawat dan melayani pesawat berbadan besar. Padahal pada 2016, jumlah pergerakan penumpang di bandara Adisutjipto telah mencapai 7,2 juta penumpang.

Dalam perencanaan, Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo akan dibangun secara bertahap. Pada tahap pertama, terminal penumpang yang akan dibangun yaitu seluas 130.000 meter persegi yang mampu menampung hingga 15 juta penumpang per tahunnya. Dengan landasan pacu sepanjang 3.250 meter dan area parkir pesawat berkapasitas hingga 35 pesawat. Pembangunan tahap I ini ditargetkan selesai pada Maret 2019. Pada tahap II dilakukan pengembangan lanjutan terminal penumpang menjadi 195 ribu meter persegi, yang mampu menampung hingga 20 juta penumpang per tahun. Landasan pacu pun diperpanjang menjadi 3.600 meter dan area parkir pesawat dikembangkan menjadi berkapasitas hingga 45 pesawat, sehingga dapat melayani pesawat berbadan besar, misalnya, Boeing 747–400. Namun, dalam proses pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta tidak terlepas dari perlawanan dan gugatan dari warga setempat yang merasa dirugikan. Sebelumnya masyarakat setempat telah memenangkan gugatan di PTUN, akan tetapi kemudian pihak pemerintah mengajukan kasasi dan memenangkan gugatan. Dengan bermodalkan hal tersebut pemerintah terus berusaha melanjutkan pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta. Pemerintah sendiri menyiapkan tiga skema ganti untung yaitu pembayaran tunai, relokasi dan pemberian tanah PAG ke warga terdampak.

Namun, melihat dari proses pembangunan dan pemilihan lokasi di Kecamatan Temon,Kulonprogo ini. Kami telah menemukan beberapa permasalahan yang dihimpun dari berbagai sumber :

1. Adanya ancaman bencana dan kerusakan lingkungan hidup menyebabkan wilayah yang dipilih tidak tepat untuk dijadikan lokasi pembangunan Bandara Internasional. Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali menyebutkan; Kabupaten Kulonprogo jadi salah-satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawa bencana alam geologi (pasal 46 Ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik perda Provinsi DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (pasal 51 huruf g). Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogopun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah-satunya meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a).

Penataan ruang berbasis mitigasi bencana dengan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung geologi. Senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup. Apalagi, secara geografis Indonesia berada di lingkaran rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami (2012). Sebetulnya sudah memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi. Kawasan tersebut antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa bumi yang besar yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian Selatan dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa salah-satunya daerah pantai diselatan Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo). Kemudian, potensi bencana tsunami di Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh PAripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah rawan gempa yang dapat memicu tsunami.

Terlebih blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar. Karena gempa (2006) lalu bukan dari blok Jogja, tapi patahan Opak. Sehingga, jika berbicara mengenai potensi terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara Internasional Kulonprogo cukup besar. Bahkan, berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulonprogo yang diterbitkan InaTews bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal (2012). Menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencapai 6 meter dan terjangan mencapai 2 Kilometer. Tsunami dapat hadir 33–40 setelah gempa. Beberapa paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang. Sedangkan, pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini rendah (16 Jiwa/km2, kurang dari 500 Jiwa/km2 dan akan berubah menjadi tinggi (16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.

2. Adanya indikasi kejanggalan dalam proses studi AMDAL dan proses perumusan kebijakan yang menyebabkan munculnya kebijakan yang dapat dikatakan muncul secara sepihak. Rencana studi amdal yang terlambat ini dianggap menjadikan proses pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) ini menjadi cacat hukum. Dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Harry Supriyono menyatakan bahwa Studi Amdal seharusnya dilakukan sebelum penerbitan IPL (Izin Penetapan Lahan) bandara. Harry mengatakan dasar Amdal harus ada sebelum IPL yakni UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan itu dijelaskan bahwa studi kelayakan lahan yang berwujud Amdal harus sudah ada sebelum adanya pembebasan lahan. Proses rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sudah sampai pembayaran ganti rugi, tapi studi Amdal baru mau dilakukan. Proses yang sudah dilakukan sudah cacat hukum

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, mengungkapkan dalam sebuah proyek pembangunan sudah semestinya ada instrumen pencemaran lingkungan hidup. Termasuk dalam hal pencegahan pencemaran lingkungan akibat dampak pembangunan bandara Kulon Progo. Amdal menjadi bagian keluarnya kelayakan lingkungan. Jika studi kelayakan lingkungan tidak ada, izin pembangunan harusnya tidak bisa dikeluarkan. Sebelumnya, IPL proyek pembangunan NYIA dengan Nomor 68/KEP/2015, telah dikeluarkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015. Maret 2015, warga Kulon Progo menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang di tingkat gugatan, warga kalah di tingkat kasasi yang disidangkan Mahkamah Agung.

3. Proses kompensasi yang dijanjikan kepada warga terdampak senyatanya justru dapat menimbulkan marginalisasi bagi warga setempat. Masih belum jelasnya mekanisme kompensasi menimbulkan kesimpangsiuran bagi warga terdampak, padahal kesepakatan pembangunan Bandara telah diteken. Adanya upaya relokasi dengan ganti tanah dari PAG (Paku Alaman Ground) dengan sistem magersari dianggap menimbulkan ketidakadilan. Penghageng Kawedanan Kaprajan Kadipaten Paku Alaman KPH Suryo Adi Negoro mengatakan Kadipaten Paku Alaman telah menyiapkan lahan seluas 15 hektare untuk digunakan sebagai tempat relokasi bagi warga yang terkena dampak pembangunan bandara. Warga diperbolehkan menempati tanah tersebut akan tetapi tidak boleh dijual. Adapun tanah yang disiapkan untuk relokasi masih berupa tanah lapang dan ada beberapa bangunan. Nantinya, Pemkab Kulonprogo memiliki kewajiban untuk membangun perumahan sebagai tempat relokasi warga di lahan tersebut. Sejatinya, tanah yang disiapkan untuk tempat relokasi adalah tanah milik kadipaten Paku Alaman yang awalnya direncanakan untuk perumahan. Akantetapi, karena dirasa dibutuhkan oleh warga maka pembangunan tersebut dibatalkan. Penjelasan dari Paku Alaman menyatakan bahwa tanah relokasi bersifat status sewa, model penyewaan 20 tahun dan diperpanjang bertujuan untuk mempermudah pengadministrasian dan inventarisasi dari kadipaten Paku Alaman. Adapun untuk sertifikasi tanah relokasi tersebut diserahkan sepenuhnya kepada PT Angkasa Pura. Adanya model kompensasi dengan relokasi tanpa memberikan hak milik bagi warga terdampak ini justru terkesan memarginalkan warga terdampak dan justru terkesan “mengkomersialkan” dengan menarik sewa tanah bagi warga yang mau tinggaal di tempat relokasi yang telah disediakan. Padahal, lahan yang terdampak pembangunan bandara adalah mayoritas adalah milik warga terdampak. Ancaman yang muncul dari pembangunan ini tidak hanya hilangnya lapangan pekerjaan, namun juga indikasi marginalisasi petani.

Resolusi Konflik

Setelah seluruh elemen dari anatomi konflik dan eskalasinya telah terpapar di atas, tulisan akan mendedahkan beberapa tawaran skenario resolusi terkait mega proyek Pembangunan Bandara di Kulon Progo. Akan terlalu ambisius untuk memapar detil konflik berdurasi 5 tahun lebih hanya dalam secarik kertas kecil ini. Sebelum menawarkan beberapa skenario resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan memberikan beberapa catatan penting sebagai entry point untuk resolusi tersebut. Beberapa catatan penting adalah sebagai berikut:

Pertama, terilustrasikan dalam paparan di atas bahwa mega proyek pembangunan bandara di Kulon Progo merupakan grand design dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DIY yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun, termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek tersebut. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diposisikan sebagai ujung tombak untuk mengurusi “warga yang berontak” dan “investor yang sudah mengantongi kontrak”. Tak teragukan lagi, lintasan jalur dari bebadan ekskutif itu dari pusat hingga daerah tidak menunjukkan situasi konfliktual yang berarti, setidaknya yang manifes.

Kedua, kevakuman persaingan kekuatan politik di tingkat DPRD rupanya menunjukkan gelagat serupa dengan jejalur lintas eksekutif di atas. “Keanggunan” dan “kekompakan” Nampak hendak lebih ditonjolkan para wakil rakyat, ketimbang berperan sebagai kekuatan oposan eksekutif. Inikah warna yang mungkin hendak ditunjukkan Yogya agar tak terlihat carut-marut di mata Pemerintah Pusat? Tentu akan menjadi perdebatan panjang nantinya

Ketiga, termarginalkanya sebagai “anak bawang”, warga pesisir pantai terombang-ambingkan oleh kekuatan yang sepenuhnya terpolarisasi di satu kubu (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, DPRD DIY, DPRD Kulon Progo, dan tentunya investor). Peta politik nampaknya tidak tengah ingin menunjukkan warnanya yang menarik, lantaran telah terjadi homogenisasi kekuatan politik.

Keempat, peta kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi pintu masuknya investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan pernah bisa mengaksesnya. Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka Acuan Andal telah memberikan gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang transparansi, akuntabilitas, dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis dan partisipatoris di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Melihat pada berbagai catatan tersebut di atas, berikut ini penulis mencoba menawarkan langkah menuju tercapainya resolusi dalam konflik mega proyek pembangunan Bandara Kulon Progo. Tawaran langkah itu adalah sebagai berikut:

Pertama, bangun dan buka kanal-kanal dialog seluasnya bagi warga, terutama warga yang paling terdampak langsung oleh proyek pembangunan bandara, guna menampung seluruh kekawatiran, kecemasanm, maupun harapan yang mereka miliki. Dalam konteks proyek bandara tersebut, merangkul kembali warga yang terlanjur kecewa, karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah untuk dilakukan. Namun tak ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah daerah kecuali untuk menata ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama ini abai pada warga.

Kedua, buka pula ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak dan stakeholder tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah, maupun upaya membangun system kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Kendati sangat terlambat, namun pilihan langkah ini bisa disebut sebagai “merebut momentum” untuk tata kelola yang lebih demokratis dan partisipatoris.

Ketiga pemerintah perlu untuk segera merumuskan mekanisme kompensasi yang pasti dan diharapkan benar-benar menguntungkan bagi warga terdampak apabila memang pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta adalah kebutuhan yang mendesak bagi pembangunan nasional.

Keempat, mendorong pemerintah untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kepada publik tentang rancangan mitigasi bencana dan ancaman kerusakan lingkungan hidup akibat dampak pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta beserta penanganannya. Dengan catatan bahwa pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta merupakan kebutuhan mendesak dalam pembangunan nasional.

Kelima, mendorong pemerintah untuk untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kepada publik tentang rancangan pendampingan dan pemberdayaan warga terdampak, pembangunan daerah yang terpadu, meningat dalih dari pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo adalah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan serta peningkatan daya saing menghadapi pasar global.

Catatan Kaki

[1] Transkrip wawancara dengan Martono pada 26 Januari 2017

[2] Pauh Wehr. 2002. Using Conflict Theory. Cambridge University Press, Jul 15, 2002-Political Science. P 219

[3] Hendro Prabowo, Pluralisme Hukum dan Penguasaan Tanah di DIY dalam Mimbar Hukum, hlm. 64. Diunduh dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.

[4] Jawahir Thontowi, Kepemimpinan yang Demokratis dan Penguasaan Tanah dalam Heru Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS, hlm.61.

[5] Lambang Triyono, Kata Pengantar dalam Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2000,hlm.xi-xiii.

Referensi

· Buku

Camara, Dom Helder. 2000.Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Endiarto, Agoes Soesilo. 2012. Implikasi Pemindahan Bandara Adi Sutjipto bagi Pemkab Sleman. Yogyakarta: Disampaikan dalam Diskusi Panel Relokasi Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2012 di Fisipol UGM

Heru Nugroho.2005. Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS

Martono. (2015). Penolakan Paguyuban Wahana Tri Tunggal. Kulonprogo, Yogyakarta.

Pauh Wehr. 2002. Using Conflict Theory. Cambridge University Press, Jul 15, 2002-Political Science

Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta: CSPS Books, 2004.

Triyono. 2012. Pembangunan New International Airport Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo. Yogyakarta: Disampaikan dalam Diskusi Panel Relokasi Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2012 di Fisipol UGM

Utsman, S. (2007). Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Petani.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

· Artikel

· Wawancara

  1. Wawancara dengan Martono Ketua WTT pada 26 Januari 2017
  2. Wawancara dengan Mas Cepot Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta pada 26 Januari 2017

Sri Bintang Pamungkas dan Anggalih Bayu adalah mahasiswa Departemen Politik Pemerintahan Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada.

--

--