Seri Arsitektur dan Tari: Ruang Kota sebagai Panggung Pertunjukan Masyarakat
oleh: Prabowo Hanifianto
Panggung Formal
Dalam artikel ini saya bermaksud untuk menjadikan panggung sebagai metafor dari ruang kota. Tujuannya, terkhusus untuk saya sendiri, supaya memperkaya sudut pandang akan ruang kota itu sendiri.
Panggung adalah bagian resmi dari suatu seni pertunjukan. Tanpanya, sebuah pertunjukan tidak akan bisa disebut sajian karena tidak ada tempat/wadah untuk menyajikannya. Panggung secara arsitektural merupakan ruang yang mewadahi fungsi dan aktivitas pertunjukan tertentu, sehingga memiliki spesifikasi atau standar ruang yang harus terpenuhi sesuai dengan aktivitas yang spesifik. Panggung juga tidak dapat berdiri sendiri dalam mewadahi kebutuhan suatu pertunjukan, ada fungsi-fungsi ruang yang menopang pertunjukan, seperti ruang rias, ruang musik (panggung pertunjukan biasanya memisahkan panggung pemusik), ruang teknisi, dan sebagainya.
Ada kalanya panggung terdesain dengan standar umum sehingga banyak jenis pertunjukan dapat terakomodasi di dalamnya. Biasanya panggung ini berukuran besar, dengan spesifikasi yang banyak dan terkesan formal, seperti gedung pertunjukan daerah, taman budaya, dan concert hall. Namun, ada juga panggung yang didesain secara spesifik karena hanya mewadahi aktivitas pertunjukan yang spesifik pula. Seperti panggung pertunjukan untuk wayang orang atau teater rakyat lainnya yang memang membutuhkan panggung dengan spesifikasi khusus.
Tulisan ini akan lebih fokus membahas panggung formal, yakni panggung yang memang berwujud fisik dan didesain secara arsitektural, bukan panggung-panggung organik yang bisa tercipta secara spontan.
Kembali lagi, semakin rumit suatu pertunjukan, semakin banyak pula kebutuhan ruang panggung yang harus dipenuhi, dari mulai embeded design dari panggung itu sendiri yang bersifat permanen, sampa tata panggung (skenografi) yang bersifat artifisial. hal ini pertunjukan tari dan teater yang biasanya rumit. Banyaknya adegan dan kelengkapan pertunjukan membuat panggung harus mampu mewadahi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut ada yang tidak terpenuhi sebagian atau bahkan seluruhnya, jelas sekali penampilan yang dilakukan tidak maksimal atau bahkan mandeg.
Aktor dan Penari Kehidupan
Saya selalu percaya bahwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya adalah aktor/penari. Kita bergerak mengikuti kehendak secara naluriah untuk berbuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhan/tujuan tertentu. Disadari atau tidak, kebutuhan dan tujuan itu berdasarkan skenario ilahi yang sudah ditentukan. Bukankah berarti kita adalah aktor dan Tuhan adalah sutradaranya? Kemudian, kita bergerak dan beraktivitas dalam ruang berdasarkan irama yang ditentukan oleh waktu dan hasrat-hasrat manusiawi. Pergerakan yang mengikuti irama adalah sebuah tarian, maka, bukankah kita adalah penari yang diiringi oleh musik kehidupan?
Nah, berarti secara kolektif kita sebagai kumpulan manusia yang disebut masyarakat sebenarnya sedang menjalani pertunjukan terbesar dalam hidup kita, sebuah drama/teater kehidupan bermasyarakat. Kita secara kolektif sedang melakukan koreografi massal tanpa kita sendiri sadari, suatu koreografi tari yang telah dikoreografi secara ilahiah, berbentuk kehidupan manusia dengan segala dinamikanya. Maka, dalam hal ini ruang kota-lah panggung pertunjukan kita.
Panggung Masyarakat
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa ruang kota sebagai panggung formal pertama-tama wajib memenuhi kebutuhan dari penggunanya, dalam hal ini berarti kita sebagai aktor dan penarinya. Setiap kota memiliki aktor dan penari yang berbeda kebutuhan dan karakter, maka standar desain yang digunakan dalam ruang kota bisa saja berbeda antara satu kota dan kota lainnya.
Kemudian, mari kita bermetafora lebih lanjut. Masyarakat sebagai aktor dan penari butuh ruang untuk istirahat, bersiap-siap, dan menjadi dirinya sendiri lagi. Ruang itu dapat berbentuk ruang rias yang sekaligus ruang tunggu/transisi sebelum dia berlaga di area panggung. Masyarakat butuh tempat domestik yang memungkinkannya istirahat dan kembali kepada kehidupan intimnya sendiri, sebelum dan setelah berlaga di ruang publik kota. Maka ruang domestik ini haruslah didesain sesuai kebutuhan spesifik dari penggunanya, suatu tempat tinggal yang dapat memanusiakan manusianya.
Apabila ditarik lebih makro dan eksplisit lagi, maka menyandingkan panggung formal sesuai kebutuhan penampilnya berarti menekankan bahwa ruang domestik atau tempat tinggal penduduk kota (baca: perumahan) seharusnya mengikuti karakter sosial budaya dan kebutuhan masyarakatnya, bukan malah masyarakat yang dipaksa mengikuti selera desain pengembang/perancangnya. Ruang rias dan transisi yang baik juga perlu memiliki akses langsung pada bagian-bagian ruang lainnya, bukan ruang yang terisolasi: bukan perumahan yang egois, terpisah dari lingkungan sekitarnya.
Bagian selanjutnya yaitu area utama yang terdiri atas panggung dan area penonton. Ini adalah manifestasi dari ruang kota, yang menurut teori persepsi arsitektural, merupakan ruang publik pada setiap bagiannya. Panggung dan area penonton memungkinkan adanya aktivitas kehidupan utama berupa serangkaian interaksi secara langsung maupun tidak langsung, yang apabila tidak terpenuhi kebutuhannya, maka sulit atau tidak akan tercapai tujuan utama pagelarannya.
Hal yang terjadi sekarang, terutama kota-kota di Indonesia sepertinya, adalah desain ruang kota yang membuat manusianya tidak bisa berinteraksi dan beraktivitas secara manusiawi. Intinya, masyarakat menjadi tidak bisa merasakan ruang kota secara langsung karena mereka sibuk terkungkung dalam ruang riasnya masing-masing. Pun ketika mereka beraktivitas, ruang-ruang jalan memaksa mereka untuk menggunakan kendaraan pribadi sehingga sedikit yang bisa merasakan kehidupan sejati kota yang hanya bisa dirasakan oleh pejalan kaki.
Panggung yang Sesuai, untuk Pertunjukan yang Sesuai
Maka, sebagai desainer dan perencana kita perlu lihai melihat kebutuhan manusia sebagai aktor/penari yang berlaga di ruang-ruang kota sebagai panggungnya. Sekali lagi, kebutuhan tiap-tiap masyarakat itu berbeda. Mereka melakukan ‘pertunjukan’ yang berbeda sesuai karakter sosial budaya mereka masing-masing. Ibaratnya, kita tidak mungkin mendesain panggung pertunjukan untuk wayang orang yang membutuhkan pola lantai persegi panjang dan adanya latar belakang, dengan standar panggung sirkus yang berbentuk oval dan dapat dilihat dari berbagai sisi tanpa adanya latar belakang. Kalaupun dipaksa, pertunjukan tidak bisa dijalankan secara maksimal. Pesan yang ingin disampaikan bisa jadi tidak akan tercapai.
Begitu juga dalam ruang kota, tidak selalu contoh desain dari tempat lain lebih baik. Bisa jadi, apabila ruang-ruang kota di Indonesia didesain ala negara lain dan ternyata tidak sesuai dengan pola ‘pertunjukan’ masyarakatnya, tujuan-tujuan hidup mereka akan sulit tercapai. Bisa jadi.
Kunci pentingnya adalah bagaimana kita bisa memahami pertunjukan apa yang dilakukan oleh masyarakat. Siapa mereka, bagaimana pola hidupnya, apa yang mereka butuhkan, seperti apa sejarahnya, dan bagaimana kira-kira kehidupan masyarakat ini di masa depan. Hal ini memungkinkan kita untuk dapat mengatur ruang-ruang kota yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan masyarakat, namun juga membuat kehidupan mereka jauh lebih baik di masa mendatang.
Sekali lagi diibaratkan; pertunjukan wayang orang haruslah dilakukan dengan panggung sesuai standar wayang orang. Tapi akan lebih baik lagi, apabila panggung itu dilengkapi sekian macam elemen pendukung dengan standar maksimal sehingga pertunjukan dapat dilakukan lebih baik pula. Pesan yang akan disampaikan dapat terpatri kuat dalam benak penontonnya dan pertunjukan akan memberikan kesan mendalam pada semua pihak.
Begitu pula pada desain ruang kota yang sesuai dan memiliki nilai tambah bagi masyarakatnya, adalah desain yang membuat tiap orang akan dapat menikmati pertunjukan kehidupan mereka sendiri lebih bermakna.
Prabowo Hanifianto adalah mahasiswa Arsitektur di Universitas Gadjah Mada.