Kota Juga Milik Wanita
Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Gehitto “Banalitas Feminisme di Ruang Kota”.
Memperbincangkan Feminisme
Bagi saya, diskursus feminisme kini ibarat makanan enak yang dimakan terus menerus: awalnya membuat ketagihan, tapi lama-lama kamu bosan karena rasanya sama saja. Makanan enak kalau dimakan tiap hari ya akan bikin mual juga. Diskusi feminisme di sekitar saya berputar di situ-situ saja, tidak pernah benar selesai. Seperti yang Gehitto bilang dalam artikelnya, terlalu banyak bias. Saya sendiri tidak mengelu-elukan feminisme. Saya pernah sedikit menyinggung beberapa hal tentang feminisme dan ketimpangan pengaruh dalam pembangunan dalam tulisan ini. Saya rasa, memang sudah saatnya perempuan beranjak dari jebakan “membicarakan feminisme”, dan benar-benar melakukan hal yang berpengaruh untuk mendobrak patriarki.
Permasalahan-permasalahan “Kulit”
Memperbincangkan gender, dan sekaligus ruang secara bersamaan, memang menarik. Kita terbiasa mengunci salah satunya ketika membicarakan hal lainnya, atau hanya melihat masalah-masalah yang sesungguhnya hanya gejala dari suatu hal yang lebih dasar, sehingga bahasannya seringkali menjadi dangkal (tentu tanpa mendiskreditkan urgensinya): kekerasan seksual di ruang publik, ruang khusus ini-itu, takut berjalan kaki sendirian. Ditambah lagi, relasi gender pada ruang publik pada dasarnya sudah menjadi everyday politics, politik sehari-hari, dimana kini dominasi laki-laki atas perempuan sudah menjadi hal yang normal. Seperti yang digambarkan Antonio Gramsci dalam “Cultural Hegemony”, dominasi ini sudah menjadi hegemoni, proses penundukan tanpa tindakan perlawanan.
Maskulinitas hegemonik juga sesugguhnya adalah rantai, yang pula dipengaruhi oleh power inequality (yang kemudian saya terjemahkan sebagai ketimpangan pengaruh) dan social inequality. Jadi, memang tidak sederhana, dan pada realitasnya belum banyak yang menyadari ini.
Tentu, permasalahan-permasalahan kulit adalah hal yang perlu kita carikan solusinya juga. Artinya, jangan sampai kita jadi pesimis dan merasa tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya. Ini berlaku untuk banyak hal. Jangan kita menjadi terlalu deduktif, beriman pada teori dan ideologi yang ideal, karena ketika dunia nyata sudah begitu runyam, kamu akan malas atau bingung sendiri. Lakukan apa yang bisa dilakukan. Yah, kita harus akui pemisahan gender di transportasi publik masih perlu.
Perempuan Perencana Kota, Kemana?
Pertanyaan ini bukan tidak pernah saya tanyakan. Jadi, kemanakah perencana perempuan kini? Pertanyaan ini menjadi pembahasan menarik dan pernah saya singgung sedikit di tulisan ini. Dosen saya, Prof. Bakti Setiawan waktu itu melempar isu gender dalam keprofesian perencana dengan memberi fakta bahwa dahulu ketika beliau kuliah di Kanada, perempuan lebih banyak bergelut dalam perencanaan “alternatif” seperti di NGO dan bekerja bersama komunitas sementara laki-laki cenderung lebih konvensional. Beliau memancing saya dengan pertanyaan yang sama di kampus PWK UGM kini, menurutnya menarik untuk dijadikan bahan diskusi Nekropolis. Saya agak tergelitik waktu itu, dan ternyata kini pertanyaan itu muncul kembali.
Sayangnya, publikasi hasil tracer study S1 PWK UGM terakhir tidak memperlihatkan perbedaan gender dalam penyajian datanya. Memang dalam formulir data alumni untuk tracer study tersebut tidak menanyakan gendernya. Ya, kalau dalam konteks hasil tracer study, gender memang bukanlah hal yang urgent untuk disajikan eksplisit.
Jadi, apa benar perempuan lebih banyak bergelut di perencanaan-perencanaan di luar yang formal atau “alternatif”? Apabila benar, apakah hal ini yang membuat perempuan dan feminitas jadi “tidak terlihat” dalam ruang kota saat ini? Ataukah, ketiadaan pengaruh perempuan ini hanyalah ketidakmampuan kita melihat pengaruh-pengaruh itu sendiri karena bukan berada pada arus utama?
Saya perlu data yang lebih valid untuk bisa menyimpulkan berbagai pertanyaan ini. Memang, apabila kita hanya melihat dengan indikator “terkenal” atau tidaknya seorang perempuan perencana dan karyanya, pengaruh perempuan ini menjadi sangat sedikit dan insignifikan dalam ruang-ruang kota.
Para Perempuan Urbanis
Tidak banyak memang urbanis perempuan yang “terkenal”. Dalam daftar 100 Urbanis Paling Berpengaruh versi Planetizen, saya hanya melihat segelintir nama-nama perempuan di sana (saya sesungguhnya ingin menghitung rasio antara perempuan dan laki-laki dalam daftar itu, namun saya malas).
Dengan tanpa bermaksud mengglorifikasi keperempuanannya, Jane Jacobs berada di posisi teratas daftar tersebut. Saya mengidolakan Jane Jacobs sejak pertama kali saya tahu kisah-kisahnya, dan dalam beberapa hal menginspirasi saya dalam apa-apa yang sudah saya pilih dan kerjakan hingga kini.
Saya sering bertemu perempuan-perempuan hebat dalam ‘dunia perencanaan’ yang katanya distigmakan sebagai dunia laki-laki, baik teman saya sendiri di kampus, atau dari pengalaman saya “berkelana” selama ini. Bahkan, dari dua kali pengalaman saya magang, kedua instansi tersebut “disetir” perempuan. Di Rujak Center for Urban Studies, saya melihat peran Mbak Elisa Sutanudjaja yang begitu berpengaruh, baik pemikiran dan apa yang beliau kerjakan, hingga ke berbagai komunitas yang bersama-sama bekerja terkait isu-isu perkotaan. Pekerjaan-pekerjaan Rujak yang makin masif dan makin “galak” tidak lepas dari peran Mbak Elisa, dan saya bersyukur kenal dengan beliau ini. Di tempat magang saya yang kedua, Housing Resource Center, saya juga melihat peran Bu Mahditia yang bisa menahkodai HRC hingga mampu berpengaruh di kajian isu-isu perumahan di Indonesia. Dua orang ini cukup memecut saya dengan begitu konkritnya apa yang mereka kerjakan dan hasilkan.
Sepengalaman saya di Paguyuban Kalijawi pun begitu, agen penggerak komunitas ini adalah ibu-ibu. Mereka dipenuhi oleh perempuan-perempuan powerful yang menjadi garda perencanaan swadaya mereka. Mereka menabung, memetakan kampung, membuat skema pembiayaan, melakukan advokasi, dan berjejaring (tentang Kalijawi, saya akan menuliskannya dengan lebih lengkap di kemudian hari). Di kampung-kampung kota ketika saya sedang melakukan riset mengenai urban farming, ibu-ibu pula lah yang benar ‘bergerak’. Di komunitas, peran perempuan begitu banyak.
Pernyataan “feminist harus mencoba ikut membangun kota” sudah saya lihat dari orang-orang tersebut, tanpa mereka perlu mengibarkan bendera-bendera feminisme.
Merebut Pengaruh di Ruang Kota?
Dari beberapa hal yang sudah saya sampaikan di atas, sebenarnya saya mencoba melempar kecurigaan bahwa pengaruh-pengaruh perempuan memang belum bisa masuk dalam perbincangan urban di permukaan, salah satunya karena hegemoni maskulinitas tadi. Hegemoni maskulinitas ini, selain membatasi dan menghambat pengaruh perempuan, ia juga membuat pengaruh perempuan yang sudah ada menjadi “tidak terlihat” dan terasa insignifikan.
Sesungguhnya, saya berangkat dari sini ketika terbersit membuat diskusi Nekropolis kemarin hari.
Pada akhirnya, saya sendiri sebagai seorang perempuan akan terus berusaha mendorong diri saya untuk melakukan hal-hal yang konkret dan “berpengaruh” di bidang yang memang saya sukai, serta mendorong perempuan-perempuan lain untuk begitu. Doronglah mereka untuk mengerjakan apa yang ingin mereka kerjakan, tanpa perlu merasa dibatasi oleh patriarki. Peran laki-laki juga jadi penting, untuk sama-sama menciptakan kesempatan.
Lauren Elkin pernah menulis sebuah buku mengenai flâneuse sebagai bentuk feminin dari flâneur, artinya wanita-wanita yang ‘berjalan’ di kota. Satu kutipan menarik dari buku tersebut,
Bauderlaire’s flâneur may be an exclusively male figure, an aimless stroller who blends and takes solace with the crowd. But women have always walked, and on their own terms — even when society refuses to see them.
Ya, perempuan selalu berjalan, atau dalam konteks yang lebih luas, mereka melakukan banyak hal. Walaupun pada akhirnya society menolak untuk melihatnya, mereka sesungguhnya tidak peduli. Jadi, mungkin kita perlu menajamkan indera untuk melihat pengaruh-pengaruh perempuan ini.
—
Untuk perempuan-perempuan,
teruslah lakukan apapun yang membuatmu bahagia dan utuh.
Terima kasih Gehitto, saya jadi menulis lagi.
Referensi dan artikel terkait:
- Skripsi dari Saiful Rizal, Fisipol UGM, berjudul Perempuan di Ruang Publik (Relasi Gender di Warung Kopi Tradisional di Kabupaten Tulungagung) tahun 2014 yang bisa diakses di sini.
- Artikel mengenai daftar 100 Urbanis Paling Berpengaruh versi Planetizen yang bisa diakses di sini.
- Artikel mengani buku Flâneuse: Women Walk the City in Paris, New York, Tokyo, Venice, and London milik Lauren Elkin oleh Citylab yang bisa diakses di sini.