Tirani Publik: Sebuah Ironi Kota Besar

Nabila Elvanya
Nekropolis
Published in
3 min readApr 12, 2018
sumber: faktualnews.co

Kemarin (11/04) Mata Najwa, sebuah acara bergengsi yang kerap menayangkan sisi lain sebuah cerita, mengundang tiga korban atas isu besar yang terjadi belakangan ini. Tamu pertama adalah R dan M, pasangan sejoli yang menjadi korban atas tindakan persekusi di Tangerang; tamu kedua adalah Siti Zubaidah, yang suaminya dibakar karena amuk massa di Bekasi; dan tamu terakhir adalah Rosani, yang anaknya dibunuh atas tuduhan pencurian vape di Tanah Abang. Acara ini mengupas luka yang dialami ketiga pihak, karena satu hal: penghakiman seenaknya oleh publik.

Salah satu segmen tayangan tersebut mengundang Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) Tangerang untuk ditanyai perihal peristiwa tersebut dari sudut pandang penegak hukum. Beliau mengatakan bahwa saat beredar video di media sosial, beliau tidak percaya awalnya, “Saya kira video lama” dan “Saya kira itu di luar Jawa”.

Kata-katanya menyadarkan suatu hal lucu bagi saya: ketiga peristiwa tersebut terjadi di kota besar, yaitu perkotaan Jakarta.

Bukan rahasia umum kalau di kota, pelayanan apapun lebih baik dari desa. Sekolah ada, rumah sakit ada, pusat perbelanjaan ada, bahkan klub malam juga ada. Bukan rahasia umum juga kalau di kota, orang-orangnya lebih kaya. Banyak pekerjaan katanya, bisnis sana-sini. Bukan rahasia umum juga kalau di kota, orang-orangnya lebih ‘pintar’. Sekolah tinggi-tinggi, lalu pakai kemeja berdasi, kalau bicara terdengar bestari. Lalu kenapa banyak kasus main hakim sendiri?

Apa benar kalau semakin tinggi tingkat pendidikan, yang jadi salah satu pengukur HDI (Human Development Index), kualitas manusia akan semakin tinggi? Faktanya kota besar dengan HDI yang lebih tinggi, juga lebih tinggi dalam fenomena kriminal. Ada yang aneh? Ya, premis awal ternegasikan.

Orang yang tinggal di kota, akan dituntut secara tidak langsung oleh lingkungan untuk berperilaku layaknya masyarakat urban. Masyarakat urban di sini tidak selalu merujuk ke konteks individualis, tapi lebih ke masyarakat madani yang profesional dan adil, sejak dalam pikiran dan dituangkan ke perbuatan.

Masalahnya, banyak orang yang ‘mendadak’ tinggal di kota, jadi kurang persiapan. Orang-orang ini biasanya yang datang ke kota setelah ada suatu fenomena seperti lebaran, demonstrasi, dan perubahan kebijakan. Lebaran sudah menjadi waktu umum untuk mengajak sanak saudara mencari peruntungan di kota. Demonstrasi menjadi titik awal para demonstran luar kota untuk merasakan sisi lain kehidupan kota dan akhirnya memutuskan untuk menetap. Perubahan kebijakan sering membuka celah bagi pencari kerja luar kota untuk berangkat ke kota, seperti kebijakan pemberlakuan kembali becak di Jakarta, yang akhirnya ‘mengundang’ penarik-penarik becak luar kota.

Selain itu, disamping banyak orangnya, ada juga banyak wilayah, yang ‘mendadak’ berubah jadi kota, jadi tiba-tiba menuntut penduduknya berubah jadi masyarakat urban. Fenomena ini banyak ditemui di kota-kota yang kaget teknologi, seperti pengembangan industri, ojek online, bahkan hingga makin maraknya pusat perbelanjaan modern.

Sayangnya di banyak sekali negara, warganya sepertinya belum siap sepenuhnya menjadi masyarakat urban. Tentu Indonesia salah satunya. Bahkan saya rasa, negara yang rakyatnya sudah benar-benar siap baru Jepang saja. Lalu timbul lagi pertanyaan, “Kalau penjajah terakhir di Indonesia adalah Jepang, lalu mengapa kita tidak ‘ketularan’ siap?”

Kemiskinan, kepepet uang, dan terprovokasi sering dijadikan alasan tindakan tirani publik. Tetapi, beberapa sosiolog telah menggelar berbagai penelitian yang akhirnya menunjukkan korelasi yang tidak signifikan di antaranya. Sehingga akhirnya saya memberanikan diri mengajukan empat alasan kenapa para penjahat di kota lebih berani ketimbang di desa: mungkin karena kota lebih besar, lebih banyak penduduknya, sehingga lebih sedikit kemungkinan wajah mereka dikenali, jadi belum tentu ketahuan polisi. Mungkin karena jalanan di kota lebih besar dan ramai, jadi kalau berbuat kejahatan akan sulit ditindaknya, karena lari kabur jauh lebih cepat dari orang-orang baik yang harus cari tempat aman dulu untuk parkir kendaraan. Mungkin karena di kota banyak bangunan tinggi, jadi kalau berbuat jahat, jarang ada yang lihat. Mungkin karena orang kota lebih gila kerja, jadi sampai malam masih ada mangsa.

Cities are the abyss of human species” -Rousseau.

Masalahnya, banyak desa yang kini buru-buru ingin menjadi kota, dan banyak kota yang ingin menjadi metropolitan. Akhirnya semua jadi kota. Hematnya, penjahat ada dimana-mana. Harus apa untuk menghindarinya? Mengubah kota atau mengubah manusia? Idealnya beriringan saja keduanya. Tapi bisa tidak, ya? Kapan ya Jepang menulari gaya hidupnya? Sampai akhirnya para polisi Jepang juga bingung mau kerja apa, karena sangat sedikit yang bisa dipidana.

Sumber:

Glaeser, E and Sacerdote. 1996. Why is there More Crime in Cities?. Cambridge: The National Bureau of Economic Research.

Shihab, N. 2018. Mata Najwa: “Amuk Massa”, Youtube, Jakarta, Indonesia. 78 menit.

--

--