Urban Farming, Memupuk Utopia Kedaulatan Pangan di Kota

Fildzah Husna
Nekropolis
Published in
6 min readOct 24, 2017

Sekilas cerita dari Yogya dan Bandung

Menggantungkan Segalanya di Kota
Kini, semua orang hidup mengkota. Berbeda dengan karakter desa yang realtif lebih subsisten untuk memenuhi kebutuhan masing-masing secara mandiri karena lebih aksesibel terhadap lahan pertanian, “menjadi kota” tidak dapat dipungkiri adalah sebuah gaya hidup yang sangat dependen karena segalanya dirancang untuk efisien. Terkait dengan pemenuhan kesejahteraan dasar seperti pangan, sebagai warga kota mau tidak mau kita akan bergantung pada bagaimana kota itu sendiri mampu menjamin ketahanan pangan bagi warganya (Setiawan, 2000). Warga kota bergantung pada toko kelontong dan supermarket untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Di lain sisi, proses urbanisasi ini juga “menggusur” lahan-lahan produktif pertanian di suburban (bahkan di desa) dengan masifnya pembangunan ke pinggiran yang tentu akan mempengaruhi ketersediaan pangan di masa datang. Permasalahan pangan kemudian menjadi permasalahan makro yang sistemik dan erat sekali kaitannya dengan pembangunan.

Jadi, dari mana kelak sumber-sumber pangan kita berasal?

Berkebun di Kota?
Kegiatan urban farming, atau berkebun di kota, melalui berbagai inisiasi komuitas kemundian muncul sebagai sebuah solusi reaktif dari ketergantungan pangan dan kekurangan kita atas lahan pertanian. Urban farming adalah aktivitas bertani di lahan terbatas. Ketika semua orang tinggal di kota dan semakin sedikit petani yang produktif di desa, alternatif yang mungkin adalah mengintegrasikan produksi pangan dan pengembangan perkotaan itu sendiri. (Pandangwati dan Setiawan, 2017).

Cerita dari Yogya dan Bandung
Dari beberapa pengalaman saya berinteraksi dengan inisiasi-inisiasi komunitas berkebun di Yogyakarta dan Bandung, urban farming pada praktiknya memang bukanlah hal yang baru. Inisiasi yang muncul dilatarbelakangi oleh berbagai hal yang kemudian membedakan komunitas-komunitas tersebut. Perbedaan yang paling mencolok adalah perbedaan antara komunitas berkebun anak muda yang sifatnya untuk having fun dan sekadar untuk menyebarkan idealisme, dan komunitas berkebun yang sifatnya “ketetanggaan” seperti di kampung-kampung kota dan dikelola oleh warga sendiri (yang bagi saya jauh lebih menarik untuk dibahas).

Salah satu cerita menarik datang dari sebuah kampung di daerah Masjid Kauman, Yogyakarta. Kampung Pasar Tiban, kadang orang menyebutnya, karena apabila bulan Ramadhan datang sepanjang gang di kampung ini menjadi semacam “pasar kaget” di sore hari. Saya berkenalan dengan Bu Enna dan kelompok tani-nya yang keseluruhannya beranggotakan ibu-ibu sekitar menyulap pekarangan kosong jadi kebun yang jujur saja diluar ekspektasi saya sebelumnya. Berbagai tanaman edible ada di sini, mulai dari kangkung sampai jenis selada yang aneh-aneh. Banyak teknologi mutakhir yang saya bahkan tidak terlalu familiar seperti vertikultur dan hidroponik yang diintegrasikan dengan kolam ikan lele juga. Gerakan berkebun di kampung ini memang tidak terlepas dari inisiasi Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) DIY yang mengembangkan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), tapi dengan mereka bisa konsisten setelah binaan itu ditarik menjadi menarik. Banyak pengetahuan baru yang saya temukan di sini, salah satunya adalah ternyata Yogyakarta punya asosiasi petani kota yang aktif.

Clockwise: 1. Ibu-ibu kelompok tani Kampung Tiban | 2&3. Kebun yang memanfaatkan lahan kosong | 4. Sahabat saya Inez darmalia (Dokumentasi pribadi 2017)

Di Bandung, saya sempat mengunjungi salah satu kampung di daerah Trans Studio, tepatnya di Maleer RW 12 dan bertemu dengan salah satu aktivisnya yang kemudian juga “bekerja” untuk Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung. Sempat juga mampir ke kampung di daerah Sukaluyu yang dibina oleh YPBB sebagai salah satu LSM lingkungan Bandung. Keduanya didasari oleh program yang sama, yaitu Kawasan Bebas Sampah (KBS). Di Maleer, kegiatan berkebun ini memang banyak memanfaatkan “kompetisi” antar RW dan digerakkan dari rasa kabita (sebuah istilah dalam Bahasa Sunda, kira-kira artinya bikin pengin). Kegiatan berkebunnya pun tidak hanya didominasi ibu-ibu, bahkan sudah merambah ke anak muda dengan kegiatan Petani Pelajar. Hasil panennya pun sudah beberapa kali masuk ke Bandung Agri Market.

Kebun di RW 12 Maleer, Kota Bandung

Kedua inisiasi komunitas itu saya dalami dengan mengobrol bersama aktivisnya (yang sebagian besarnya adalah ibu-ibu). Satu hal dari perjalanan ini yang menarik menurut saya adalah keseragaman mereka dalam melihat manfaat berkebun: kalau butuh bisa langsung ambil jadi lebih hemat, bisa makan sayuran organik yang sehat, dan tahu betul asal-usul makanan. Sebuah “perspektif ibu-ibu” yang belum saya miliki, dan ternyata mampu menggerakkan sebuah inisiasi berkebun. Namun untuk melihat keberlanjutannya, kegiatan urban farming oleh komunitas perlu ditinjau benar-benar dari tiga aspek utama keberlanjutan yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial. Secara sosial, gerakan seperti ini memang menyenangkan dan mampu menggerakkan berbagai macam indvidu. Secara lingkungan, tentu membawa hal positif karena membuat penghijauan. Seringkali, yang membuat komunitas berkebun belum mampu sustain adalah berkaitan dengan aspek ekonomi, dimana kebun-kebun belum benar bisa “menguntungkan” sehingga masih sangat bergantung dengan kesukarelaan dan hobi anggotanya. Karena mau tak mau di zaman sekarang, segala hal harus divaluasi dengan nilai uang, ya kan?

Hanya dengan membandingkan dua komunitas, kita bisa turut membandingkan dua kota yang berbeda ini. Banyak detail yang sangat berpengaruh, misalnya program pemerintah atau bahkan hawa politik kota itu sendiri. Di Yogya, hal paling menarik menurut saya adalah adanya asosiasi petani kota, yang jumlah anggotanya tidak sedikit. Di Bandung, hmm, Bandung Agri Market sepertinya harus menjadi poin utama karena disebut oleh hampir semua aktivis komunitas yang saya temui. BAM jadi semacam tautan yang menghubungkan semuanya, dan ini sangat baik. Tautan tadi adalah satu hal yang tidak ada di Yogya, karena seakan inisiasi-inisiasi yang ada berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada yang membuat mereka terhubung.

Hal menarik lain: keduanya dimulai dari inisiasi eksternal, yang kemudian diboost oleh aktivis lokal. Pak Bobi Setiawan dosen saya sering sekali menyebut peran leadership ini sebagai faktor penting dalam community development yang sering dilewatkan oleh program-program top-down. Namun memang, kedua program di kota-kota ini juga masih didasari oleh sekadar kegiatan pengembangan masyarakat, belum mengarah pada hal-hal yang sifatnya spasial. Sehingga, kegiatan semacam ini belum diakomodir dan difasilitasi oleh aturan-aturan keruangan semisal kebijakan guna lahan.

Urban Farming dan Urban Planning
Urban farming secara praktik memang bukanlah hal baru, sudah sejak dahulu kita memiliki tradisi menanam tanaman yang bisa dimakan atau obat-obatan. Namun, urban farming masih merupakan hal yang belum banyak dibahas oleh literatur perencanaan kota dan cenderung tidak tersentuh oleh kebijakan spasial (Setiawan dan Pandangwati, 2017). Belum ada regulasi terkait dengan kebijakan guna lahan agar bisa menyuburkan urban farming sebagai strategi ketahanan pangan, yang ketiadaannya justru berpotensi mengambat gerakan-gerakan ini. Kedua contoh di atas adalah sebuah hasil dari regulasi berkebun yang diinisiasi pemerintah, namun keduanya baru didasari oleh community development dan belum secara serius melihatnya sebagai solusi preventif ketahanan pangan kota melalui perspektif urban planning.

Bisa kita bayangkan apabila ada kebijakan guna lahan yang mengatur kebun-kebun edible ini. Ia akan mendorong dari sisi yang lain, membantu sisi “gerakan pemberdayaan masyarakat” dari kegiatan berkebun yang saat ini baru bisa diupayakan. Yah, paling tidak, kegiatan berkebun yang masif tidak hanya menjadi bahan kampanye belaka.

Utopia Subsistensi Pangan Kota
Untuk sampai pada subsistensi pangan, agaknya memang tidak bisa sekonyong-konyong terjadi. Subsistensi juga tidak bisa dimaknai sebagai hal yang radikal. Karakter tiap kota berbeda sehingga kegiatan pertukaran peran di antara kota-kota, dan kota-desa, juga akan perlu. Subsistensi pangan ini adalah sederhana: bayangkanlah masyarakat yang tidak perlu bergantung dengan berbagai kebusukan “bisnis” pangan saat ini, masyarakat yang punya pilihan-pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan pangannya.

Pada akhirnya, gagasan untuk justru tidak memisahkan antara pertanian dan pembangunan adalah sebuah usaha kecil untuk membuat hidup berkota kita jadi lebih baik dan bukan artinya menyerah pada ketidakmampuan menahan laju pembangunan. Segala usaha perlu diapresiasi, dan harus berjalan bersamaan, untuk menahan kapital yang makin destruktif.

Referensi:

Setiawan, B. (2000). Pengembangan pertanian perkotaan untuk meningkatkan produktivitas lingkungan perkotaan dan menuju kota yang berkelanjutan (Urban Agricultural for Improving Urban Productivity and Sustainable Cities). Manusia Dan Lingkungan, 7(2000).

Pandangwati, S., & Setiawan, B. (2017). Urban Farming in A Rapid Urban Transformation of Indonesian Cities: Community Initiatives and Policy Challenges:The Case of Bandung and Yogyakarta

Selain ditulis untuk sebuah tugas magang, tulisan ini juga adalah sedikit pertanggungjawaban terhadap perjalanan-perjalanan yang difasilitasi oleh sebuah hibah riset.

--

--