Audax Files: Gowes Ratusan Kilometer dan Bayar Mahal, Anda Waras?

salman faridi
Ngepit.id
Published in
3 min readJul 23, 2019

Dari sudut pandang keuangan andai kita membayar mahal untuk mengikuti sebuah event tentu kita mengharapkan mendapatkan banyak benefit menarik, mungkin doorprize yang berlimpah, uang pembinaan, bahkan kalau bisa membawa pulang hadiah lemari es ke rumah. Akan tetapi, Audax berbeda. Yang selalu konsisten adalah medali finisher itu pun kalau finish gowes. Selain itu masih ada brevet, semacam sertifikasi kompetensi karena berhasil mencapai titik akhir dalam durasi COT yang ditetapkan. Ya, cuma itu saja.

Lalu bagaimana yang tetap mau ikut tetapi tidak mau bayar? Kamus sepeda Indonesia mencatat istilah khusus dengan lema “romli”. Kata ini adalah bentukan dua kata yang terdiri dari “rombongan” dan “liar”. Singkatnya, menjadi bagian dari sebuah event sepeda secara independen. Karena independen, boleh start duluan, diloading di tengah jalan, lalu menjelang finish 1 kilometer kemudian, sepeda kembali digowes. Romli mah bebas. Kabarnya bahkan ada yang menjadi Romli tapi menagih hak yang sama dengan peserta lainnya yang membayar. Ambyarrr!!

Menariknya, keterlibatan saya di Audax juga gara-gara kelakuan yang sama: romli. Bedanya, saya ikut gowesnya saja. Seingat saya kejadian itu tiga tahun lalu pada Audax 200 di Yogyakarta. Di sinilah untuk pertama kalinya saya mengalami nasib nahas.

Panas menjilat-jilat dari jalan aspal mulus yang saya lewati. Badan membungkuk sedemikian rupa berupaya menerobos kepungan angin pantai Selatan yang ganas. Tenaga belum sepenuhnya pulih saat melewati tanjakan terjal dari Cilacap menuju Pantai Menganti. Menjelang elevasi optimum saya bahkan terpaksa keluar dari sadel menuntun sepeda. Ini kombinasi kurang latihan dan telat shifting dari turunan panjang yang menyisakan tanjakan tak terduga.

Namun, di belakang saya ternyata banyak juga yang turun dari sepeda. Barangkali memotivasi sepedanya agar tabah menghadapi cobaan hidup. Termasuk menjalani rute nanjak. Terkadang meski sepeda dan pesepedanya ibarat pasangan tak terpisahkan bahkan sampai tidur pun berdua, di tanjakan seringkali mereka berpisah jalan meski tak saling meninggalkan. Mantra para mentor relationship sekarang ini adalah: find more reasons to stay instead of breaking up.

Jadi, dalam situasi yang sangat mengharukan ini saya genggam handlebar secara perlahan, menyemangatinya, bahwa semua akan baik-baik saja dan ada warung yang akan menawarkan kegetiran kita bersama. “All is well … all is well,” tiba-tiba saja saya ingat cuplikan film Three Idiots yang dimainkan secara apik oleh Aamir Khan. Secara perlahan saya pegang dengan mantap bokong sadel agar kami berdua tak jatuh dan saling bertindihan. Tampak tidak elok pada tengah hari bolong. Banyak anak sekolah pula.

Dalam satu tarikan napas, saya sampai di pengujung jalan. Melihat ke belakang tanjakan yang dilewati tadi tampak indah ketika sudah menjadi turunan. Memang benar kata orang, tanjakan adalah turunan yang terbalik. Selama kita mengendarainya secara diametral, tanjakan apa pun pasti dengan mudah kita lewati.

Keringat sebesar jagung pipilan masih deras keluar di sela-sela pori-pori kulit yang terbungkus jersey meski telah berteduh dengan sajian segelas es teh di depan saya. Pada medan terjal dan sulit secara otomatis jantung akan bekerja lebih keras untuk mengantarkan oksigen ke sejumlah otot yang dibutuhkan dan yang paling bekerja keras. Aktivitas ini secara gradual meningkatkan detak jantung per menit bagi yang sudah terbiasa, atau tiba-tiba melompat bagi mereka yang jarang bersepeda dan mencoba terlalu keras. Kemungkinan terburuk adalah kecelakaan fatal yang menyebabkan jantung berhenti memompa. Kawan-kawan saya di Jogja menyebutnya ngancing.

Beruntung Heart Rate saya kembali normal. Tanpa membuang banyak waktu saya kembali bersepeda. Menunggangi si Dia yang sedari tadi terlihat manyun dengan standar samping tanpa aling-aling apa pun dari sinar matahari. Rute di hadapan adalah turunan panjang. Mestinya bisa dilewati dengan aman … kecuali brakepad tipis dan atau sistem pengereman tidak bekerja optimal. Sebentar saja angin selatan berubah ramah, meliuk-liuk di antara kelokan sempit pada kecepatan 35 km/jam memang aduhai. Namun bunyi nyaring ambulans di belakang saya menyela keasyikan bermanuver. Saat mobil ambulans itu lewat dengan begitu cepat pikiran saya berkecamuk hebat. Ada kejadian apakah di depan sana?

(Bersambung)

--

--