Kawan Sejalan Menikung di Persimpangan

salman faridi
Ngepit.id
Published in
3 min readJul 24, 2019

“Blarrr…,” suara ledakan terdengar hebat. Saya terperanjat kaget. Refleks saya menoleh mencari asal suara, saking kagetnya genggaman tangan di handlebar seakan tak mantap: oleng ke sana kemari. Rupanya asal suara dari sepeda sendiri. Lebih tepatnya suara itu dihasilkan dari tekanan 120 psi yang dipompakan ke ban dalam dengan tipe ban luar clincher. Mungkin karena kualitas thread per inch yang kurang mumpuni, tekanan ban dalam yang begitu kuat menjebol dinding luar ban meninggalkan robekan memanjang. Siang itu saya baru memahami betapa perihnya luka meski tak berdarah.

Dengan lunglai saya menepi. Ban luar ini sungguh tak terselamatkan. Celakanya lagi, tak ada ban cadangan untuk situasi tak terduga seperti ini. Ban dalam memang saya bawa sepasang. Tapi menjejalkan kedua ban dalam pada ban luar yang sudah robek ibarat melemparkan ayam – kampung atau kota, bahkan yang suka ke kampus – ke kolam buaya. Baru dipasang sebentar lantas game over dilahap aspal panas. Sungguh apes!

Iseng saya mengecek aturan standar tekanan yang disyaratkan produsen yang tertera pada bibir ban. Tertulis maksimum 120 pound-force per square inch atau disingkat psi. Seingat saya kedua ban depan dan belakang dipompa sesuai aturan. Memang beberapa kelompok pesepeda ada yang senang mengurangi antara 5–10 psi supaya handling tidak terlalu bumpy, utamanya ketika menghadapi jalanan beraspal tambal sulam dan atau aspal yang hanya menyisakan batu-batu kerikil. Namun setingan psi lebih rendah dari aturan pabrik juga rawan puncture, alias gembos ketika ban melindas benda-benda tajam. Tetap saja, gembos adalah situasi yang jauh lebih baik daripada robek.

Waktu menunjukkan pkl 13:00, odometer di cyclocomputer menunjukkan angka 111 km. Dengan lesu saya mengangkat bendera putih tanda menyerah. Saatnya meminta tolong. Di layar telepon sebaris nama berderet muncul: Septiyadi, Tutus, Dimas, Camelia. Cepat saya menggulirkan layar dan memilih nama Dimas lalu membuat panggilan telepon …, “Dim …, tolong evac dong,”.

Menjelang Isya kami tiba dengan kulit pucat. Menyelesaikan 200 km melintasi sebagian kecil Pacitan menuju Museum Karst dan berakhir di Semanu, cek poin ke empat. Hujan turun dengan deras sejak kilometer 175 persis di turunan yang mestinya bisa dioptimalkan untuk menambah kecepatan. Saya melaju di depan, sementara Dimas tertinggal di belakang. Bukan karena Dimas lemas, tetapi pilihan gear saya jauh lebih menguntungkan dengan kombinasi 50–39–30 yang dipasangkan dengan gerigi berkecepatan 10 yang membentangkan rasio 11–36. Sudah pasti tidak ideal untuk berlari namun cukup mumpuni untuk melahap tanjakan, di manapun, kecuali memanjat gedung.

“Lanjut Dim?” Tanya saya ragu. Berjalan malam bagi mereka yang berkaca mata itu tantangan tersendiri. Apalagi ditambah derasnya hujan. Acap kali saya iseng berpikir, mengapa produsen kaca mata tidak pernah menciptakan wiper yang fungsional seperti di kaca-kaca mobil itu. Atau menambahkan elemen pemanas elektrik rasanya cukup membantu.

“Lanjut Mas,” Dimas menjawab hampir lirih karena tenggelam oleh suara hujan. Saya mengikuti dengan sungkan. Tak berapa lama kacamata mulai berembun. Ini yang saya takutkan. Menyusut kacamata berkali-kali selain berbahaya karena meninggalkan handlebar tak terjaga, rawan masuk lubang yang diselimuti genangan dan tampak sejajar dengan permukaan jalan. Namun Dimas tampak asyik mengayuh di depan. Padahal mata kami sama-sama bolor. Duh!

Jalan lingkar utara ini begitu hening ketika malam menanjak menuju dinihari. Dimas yang berjalan lebih dulu malah tidak tampak batang top tubenya. Saya mengedarkan pandangan siapa tahu ada sepeda roadbike parkir di angkringan pinggir jalan. Menjelang masuk kota Wonosari satu jam yang lalu kami memutuskan menghangatkan badan dengan teh jahe dan beberapa camilan. Dimas melahap dua bungkus sego kucing sekaligus. Saya cukup minum saja karena lambung terasa begah dan susah masuk makanan. Selagi Dimas menyantap sisa nasi terakhir saya memberikan punggung kesempatan untuk rebah.

Cek poin ke-empat menjelang tengah malam. Wangi ayam dari sebuah restoran cepat saji menusuk hidung dan menggoda perut. Dari luar kaca Jendela tampak sangat menggiurkan. Nyaman, hangat dan mengenyangkan. Apa lacur badan dan Jersey sudsh jadi satu; sama-sama basah dan lusuh. Tiba-tiba sebuah pesan masuk. Dalam teduh kanopi parkiran tempat petugas cek poin memberikan stempel saya melihat Dimas menulis singkat, “Mas … aku pulang. Lepas Wonosari tadi aku belok kiri menuju rumah.” Perut merintih, udara berubah semakin dingin dan hujan tak menunjukkan kapan akan berhenti melepas seorang kawan menikung di persimpangan jalan lingkar utara.”

“Bye … Dimas,”.

(Bersambung)

--

--