Laporan Khusus: Gepang Loop yang tertukar

salman faridi
Ngepit.id
Published in
3 min readJul 28, 2019

Judulnya persis sinetron tetapi kisahnya sungguh-sungguh terjadi. Perjalanan saya diawali dari sebuah tempat di Selatan Jakarta. Tempat nginep ini belum lama buka. Baru saja disewakan sejak 11 Juli kemarin, tepatnya di Pulo Art Space yang terafiliasi ke Oyo. Cozy dan artistik. Pantes, kawan saya, Bob, seneng banget mengorganisasikan pekerjaannya di tempat ini. Kalau ketemu sepintas gampang banget mengenalinya. Cari saja pria berkacamata yang kemana-mana bawa sepeda dan selalu pake hotpants eh celana pendek. Begitulah gaya kerja hari-hari Om Bob. Laidback banget nggak sih?!

“Ini lebarannya para pecinta tanjakan, Mas,” bapak di samping saya menjelaskan sambil terus mengayuh. Saya menghampiri beliau karena di antara ribuan peserta kebetulan saya punya Jersey yang sama, yaitu Jersey jambore nasional komunitas federal tahun lalu di Gunung Bunder. Kami sama-sama menggunakan sepeda lipat. Saya perhatikan sepedanya rupanya jenis frame chromoly yang saat ini sedang fenomenal. Mirip Dahon Broadwalk dengan fitur discbrake. Kenapa fenomenal, sebab saya tandai satu frame-set di keranjang marketplace besoknya terus sold out.

Sebenarnya saya ingin melanjutkan obrolan, apa daya perut sudah tak bisa diajak kompromi. Berbekal 2 kerat roti sobek di minimarket di Jalan TB Simatupang, lalu ditarik sepanjang jalan menuju Bogor dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam, sarapan roti tadi sepertinya habis di tengah jalan. Pelan saya belokkan sepeda ke arah warung soto yang baru saja buka. Agus berteriak dari belakang, saya isyaratkan telunjuk tanda perut keroncongan.

Rupanya warung ini belum benar-benar buka. Saya tertahan cukup lama sebelum menandaskan semangkok soto ayam, dua butir telur asin dan segelas teh manis. Saat sepeda perlahan menggelinding tidak banyak lagi saya dapati sepeda-sepeda yang tadinya berkerumun layaknya semut. Sepi. Bergegas saya memacu sepeda menuju perempatan Ciawi dari arah Tajur. Di sinilah titik krusial yang akan menentukan nasib saya seharian.

“Om, besok berangkat bareng ya,” saya mengirim pesan pribadi kepada Om VW.

“Saya samperin ke arah Cibubur,” lanjut saya.

Om VW mengusulkan tikum di Sebuah restoran cepat saji di sebelah gedung Antam. Sekitar pkl 5 pagi kami pun berangkat menuju Bogor. Saya termasuk asing dengan jalanan di sekitar Jakarta karena jarang sekali mengaspal di ibu kota. Namun, memori biasanya akan terasah dengan baik dengan pengalaman. Terutama ketika melaluinya menggunakan sepeda. Kurang lebih akhir Juni 2019 lalu saya baru paham cara keluar Jakarta untuk kemudian bergabung ke jalur Pantai Utara lalu ke Timur menuju Jogjakarta.

Saat saya sedang asyik mengikuti pace Om VW, menginthili roda 700 yang dipasangkan ke sepeda bambu buatan Temanggung, Spedagi, seorang pesepeda mendekat cepat dari belakang. Dalam rombongannya ada tiga pesepeda termasuk salah seorang pesepeda perempuan yang kencang juga. Rupanya tujuan kami sama, bergerak melintasi ufuk yang agak temaram demi menuju registrasi di Balai Kota Bogor pukul 7 pagi. Specialized Tarmac membuka jalan, kami bergerak beriringan. Full speed!

Lepas perempatan Ciawi saya mengikuti satu pesepeda lipat yang bergerak lincah di antara kemacetan. Saya bergerak mendekat sambil bertanya, “ikut Gepang kan, Mas?” .

Ia menganggukkan kepalanya. Butiran keringat menderas di sela-sela helmet yang digunakannya. Oke. Sudah benar berarti. Kata saya dalam hati lalu mengucap pamit menembus macet menuju … puncak.

Epilog

Saya menuntaskan Gepang Loop ini meskipun dengan jalur terbalik. Sepanjang jalan saya melihat tatap mata takjub, mungkin juga trenyuh, melihat saya sendirian saja. Dari arah saya gowes Gepang Loop ini sepi peserta sebenarnya. Cuma saya sendiri yang tekun menikmati Cisaat, Cibadak, Parung Kuda sampai ketemu lagi di Ciawi. Yang lain berakhir di puncak dan foto-foto di Mang Ade. Pengalaman menarik dengan total 200 kilometer termasuk commuting dan elevation gain hampir 3200. Lumayan.

--

--