Menjelang Tengah Malam Ban Gembos di Hutan Bali Barat

salman faridi
Ngepit.id
Published in
4 min readAug 4, 2019

Matahari menjelang petang terasa cukup menghibur badan yang lelah dan lusuh. Memasuki arah Pantai Lovina, matahari tepat di ubun-ubun membuat bayangan aspal berpendar-pendar dalam terik. Konon fatamorgana semacam ilusi air bisa dihasilkan salah satunya dari fenomena ini. Kerongkongan kering membuat saya berhenti sejenak. Menepi ke arah warung dengan pemandangan mie ayam arah pukul 2. Sebuah kebetulan.

Setelah menandaskan dua mangkuk mie ayam dan dua gelas teh panas bersalut gula, badan mulai menemukan kembali vitalitasnya. Cukup segar untuk beradu pandang dengan aspal tetapi dengan hiburan bentang alam Bali Utara yang memanjakan. Panasnya sih, jangan ditanya. Sepanjang rute, panitia memilihkan lingkungan jalan sepanjang bibir pantai dengan headwind memadai, dengan bonus panas yang cukup membuat kulit coklat seakan baru pulang liburan, untuk memanjakan peserta audax.

Dalam perjalanan beberapa jam kemudian saya kembali tertahan di cek poin ketiga. Panasnya macam bandar pulsa hape, nggak ada habisnya. Keuntungan bersepeda di Indonesia, harus kita akui, menyajikan banyak minimarket di sepanjang jalan. Belum menghitung sejumlah warung tradisional serta penjaja makanan malam yang bervariasi mulai dari sate, pecel lele, seafood dan banyak lagi. Kondisi seperti ini cukup menyenangkan terlebih dari sudut pandang pesepeda berkewarganegaraan asing. Di Klaten saya pernah bertemu seorang pesepeda asal Perancis yang bercerita betapa berbedanya bersepeda di Selandia Baru, negara terakhir yang dia kunjungi sebelum menyeberang ke Indonesia. Semisal karena kami bertemu di pom bensin, dia baru tahu kalau di Indonesia SPBU adalah tempat istirahat para supir kelelahan secara berjamaah. Di Selandia Baru, kalau beristirahat sembarang bisa dipenjara. Ini berlaku juga buat pesepeda. Seperti siang yang bikin meleleh ini, saya memanfaatkan pos ronda tak bertuan ini sebagai tempat istirah.

Kilometer ke-200 baru saja saya lewati. Senang membuncah bertemu dengan beberapa kawan yang juga ikut menuntaskan kilometer ke dua ratus bersamaan. Ngobrol tentang rute yang baru, jalanan dan turunan mengasyikkan sepanjang jalan menuju Singaraja sampai melewati Pantai Lovina dan berujung di cek poin keempat. Semuanya benar-benar membekas. Namun, saya tidak cerita, saat membuntuti Om VW beberapa jam sebelumnya gps mengalami gangguan sinyal. Saya berputar-putar di tempat yang sama lebih dari tiga kali. Lucunya, tempat hilangnya sinyal gps selalu berada di koordinat yang sama. Sewaktu harapan makin menipis akhirny saya melihat pesepeda lainnya datang dengan cepat dari arah yang berlawanan. Saya lekas berputar arah dan mengikutinya. Odometer menunjuk angka 30 sebelum terdengar suara pecah ban belakang. Persis di titik di mana sinyal GPS sebelumnya hilang. Damned!

Kini arah bersepeda sudah mengarah ke Barat. Banyuwangi jelas tak terlihat namun ia dekat saja dari Gilimanuk yang akan dilewati dalam rute kami. Saya berangkat lebih awal. Om VW sudah jauh di depan, sementara Dokter Jie, Om Bob, Bayu dan lainnya masih tertahan di rumah makan. Jujur saya selalu merasa kalau seantero pulau Bali itu wingit. Karenanya, selama perjalanan saya tidak pernah berucap, maupun bertindak sembrono. Dimana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Namun, memasuki hutan yang begitu pekat, bulu kuduk tak terasa meremang. Saya membaca doa sebisanya. Jalan sedikit mendaki di hadapan, saya bersiap menyambut dengan tabungan tenaga.

Sepeda mendaki perlahan menuju elevasi terakhir. Tak dinyana seekor anjing besar menunggu dengan tenang di pinggir jalan lalu mulai menyalak dan mengejar ketika saya lewat. Saya berlari dengan terbata, sisa tenaga belum cukup pulih tapi harus beradu langkah dengan anjing yang teritorinya merasa diganggu dan disusupi dua roda, pada tengah malam dengan erangan pesepeda yang kelelahan. Arrghhh guk guk….

Windbreaker berkibar sepanjang turunan. Entah mengapa suara derap kuku anjing beradu dengan jalanan masih terdengar cukup jelas. Saya terus berakselerasi. Tak sekalipun menoleh ke belakang sampai akhirnya terdengar desis ban belakang yang makin lama makin besar hingga menyisakan suara logam menggaruk aspal. Oh no. Ban gembos lagi …

Cukup lama saya tepekur. Di tengah hutan belantara tanpa penerangan sedikit pun saya berdiri memandang ban belakang yang lunglai. Udara lenyap begitu saja meninggalkan ban dalam yang tak lagi memberikan kesan bundar dan kokoh pada si ban clincher. Meski takut merayap menggerayangi sekujur tubuh saya tabahkan hati. Saya tengok masih ada sisa satu ban dalam dan satu ban luar cadangan, sebuah keberuntungan yang tidak biasa karena sempat mampir di salah satu outlet sepeda Rantairoda di Denpasar.

Sebuah bus melaju cepat di kegelapan malam. Saya sempat berharap saya menjadi salah satu penumpang di dalam bus itu pada malam itu. Dewi malam sebentar lagi lungsur, namun ia tampak enggan beranjak. Mungkin ia senang menemani saya. Sambil menitipkan pesan pada makhluk-makhluk malam yang kebetulan berada di lokasi yang sama. Mungkin sejenis shareloc, sebab kesiur angin tiba-tiba berhenti. Dan saya merasa harus segera pergi ….

--

--