Perempuan Besi dari Lereng Merapi

salman faridi
Ngepit.id
Published in
4 min readJul 25, 2019

“Kamu yakin nggak mau ikut PBP Mel?” tanya saya penuh selidik. Sebagai pemegang finisher super BRM 200, 300, 400 dan 600 kilometer satu-satunya perempuan di Indonesia, pergi ke Paris dan melakukan ritual melawat ke Brest lalu pergi pulang menuju Paris adalah puncak impian. Sebuah goal yang ultimit kalau kata Thukul Arwana. Bagaimana tidak, setiap empat tahun sekali tidak kurang dari 4000-an pesepeda antre demi mendapatkan brevet 1200. Kalau tahun 2019 ini tidak berangkat, kesempatan berikutnya berarti pada 2023. Basically anything could happen within that time frame.

“Bener nih Mel nggak berangkat,” kata saya memastikan.

“Nggak, aku mau pergi haji dulu sebelum ikut PBP,” jawabnya mantap.

Kamelia mengingatkan saya pada sosok perempuan tangguh lereng Merapi dan hampir semua perempuan pada umumnya yang bermukim di dataran tinggi. Profil mereka sering kali terlihat ringkih. Postur mereka biasa saja bahkan cenderung mungil dibandingkan perempuan lainnya, namun manakala tuan-puan sempat mengayuh ke dataran yang memiliki profil elevasi tinggi, mereka inilah yang berjalan dengan galon-galon air disunggi di atas kepalanya. Tak jarang gunungan kayu bakar menyembul dari balik punggung sambil sesekali menggamit bocah-bocah kecil di kiri-kanannya. Sedangkan kaum lelaki? Ah, lelaki perkasa terlalu sibuk memelihara mitos kejantanannya. Melalui asistensi Mak Erot pula.

Namun ada sosok Kamelia lain yang pernah begitu membekas dalam memori. Sebuah buku obral lusuh di kawasan Cikapundung menarik saya ke dalam dunia Margurite Gautier yang gemerlap meski acap kali getir. Perempuan ini tinggal di Paris jauh sebelum saya lahir. Darinya saya mencerna ketabahan dan daya juang melampaui penderitaan. Ini adalah sebuah kisah cinta tragis yang besar kemungkinan diangkat dari kisah cinta penulisnya, Alexander Dumas Fils. Masih basah dalam ingatan bagaimana kisah itu bermula di sebuah tempat pelelangan. Ah, cinta memang selalu sulit diukur dalamnya.

Nyatanya Game daya tahan yang sesungguhnya bukanlah endurance melainkan resiliensi. Yang menarik, mungkin hanya perempuan yang memilikinya. Ia adalah sejenis kekuatan melampaui batas fisik, otot dan mental. Resiliensi, singkatnya, adalah kemampuan menanggungkan derita yang tersembunyi rapi di balik wajah penuh kasih. Gambaran sempurna seorang Ibu. Butuh puluhan ribu brevet untuk menakar daya juang seorang ibu ketika membesarkan anak-anaknya dan menjaga keluarga. Konon, bahkan Malaikat pun takjub ketika Tuhan menciptakan persona sedemikian perkasa namun tersembunyi dalam sosok yang terlihat rapuh.

Malam belum terlalu larut. Kami berkejaran di jalur provinsi Jawa Tengah. Tepatnya, menuju ke arah Barat dengan tujuan akhir Purwokerto. Dalam peleton kami ada beberapa orang. Paling depan sendiri Dokter Jie, veteran gowes, meski sudah sepuh dapat melahap jarak ratusan kilometer bagai jalan-jalan ke kota saja. Masih ada Om Yoyok dan Kamel. Kalau kawan pernah bersepeda jauh dan menggunakan aplikasi Lacakin. Beliaulah mastermind di balik aplikasi yang sekarang populer dan selalu digunakan dalam setiap event Audax. Rumornya, aplikasi ini awalnya digunakan untuk memonitor gerak dan aktivitas karyawannya. Entah benar atau tidak. Saya lebih suka gowes daripada gosip.

Berakselerasi dalam kelompok, terlebih kalau ditarik oleh pesepeda yang punya kecepatan di atas rata-rata itu biasanya mengasyikkan. Selain kesempatan berlatih dan meningkatkan performa, headwind lebih mudah diantisipasi karena sudah diterabas oleh pebalap yang lebih kencang. Formasi ini terus bertahan sampai saya keleleran di angkringan. Ini salah satu kekurangan terbesar yang perlu ditingkatkan. Menala kecepatan secara konsisten dalam waktu cukup lama itu perlu latihan yang luar biasa melelahkan. Sejenis pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan jika ingin menamatkan kegiatan bersepeda jarak jauh dalam durasi yang aman.

Beberapa kota kami lewati. Kutoarjo, Purworejo, Kutowinangun, Kebumen, dan berakhir di Gombong. Persis di sebelah kiri jalan ada sebuah perhentian yang nyaman dengan masjid yang besar. Saya sudah lupa nama tempatnya, yang saya ingat sampai di titik ini, pertama kali menggunakan sepeda lipat dengan jalur Antar Kota Antar Propinsi adalah sebuah pengalaman baru. Boleh dikata setelah 200 km, yang tersisa tinggal semangat. Sebab tenaga sudah luruh di jalanan. Berceceran di sepanjang jalan. Rute Purwokerto ini memang aduhai. Setelah menikmati indahnya Pantai Selatan dan dihajar panas serta angin sepanjang Daendels, arah ke Barat pesepeda dibuntuti kendaraan-kendaraan besar yang memacu mesinnya ibarat balapan di lintasan. Kami perlu ekstra hati-hati dengan tambahan lampu-lampu yang berfungsi sebagai alat utama keselamatan ketika berjalan malam.

Suara angin berkesiur dalam tempo presto saat beberapa sepeda melewati saya dengan kencang. Jarak Purwokerto kurang dari 30 kilometer saja. Saya tetap tekun menyeruput segelas susu jahe. Panasnya perlahan menyusuri perut dan membangkitkan tenaga. Setelah mengisi bidon dengan segelas air hangat, saya pun pamit. Bergegas mengejar jadwal tutup cek poin sebelum fajar mengejar di ufuk timur.

“Eh aku balik dulu, ya. Bakmi goreng biar aku yang bayar.” Kamel menyadarkan saya dari lamunan. Malam itu kami berpisah di Bakmi Mbak Pur yang hanya sepelemparan batu saja jaraknya dari terminal Jombor. Dialah perempuan besi yang saya kenal pertama kali di Audax Purwokerto. Selagi saya DNF di kilometer 390 Yogyakarta awal 2019 kemarin, Kamel menyelesaikan rute 600 km disambi halusinasi di sisa 50 kilometer terakhir. Hats off!

(Bersambung)

--

--