Kelembaban Air di Udara Berpotensi Jadi Tornado

Nisvasati (to Inspire)
Nisvasati
Published in
4 min readMar 24, 2017

--

Pertanyaan ini erat hubungannya dengan sikap hidup sehari-hari: “Apakah butir-butir kelembaban air di udara itu bisa dilihat, diraba atau ditangkap? Apakah juga bisa kita tiup ke sana atau ke sini, bisakah kita arahkan? Apakah punya daya?”

Memang ada keraguan untuk mencoba menggambarkan sesuatu yang sebenarnya tidak berbentuk dan tidak mengenal waktu. Walaupun ada tapi tidak selalu muncul. Jelas sangat berpengaruh tapi tidak pernah jelas datangnya dari mana. Seperti halnya kelembaban udara, yang biar pun tak tampak, namun efeknya bisa langsung dirasakan, mulai dari reaksi tubuh, seperti gerah, mengucurnya keringat atau retak dan keringnya bibir serta kulit, sampai dengan muculnya tornado yang dapat meratakan bangunan, mengangkat mobil dan kapal ke udara layaknya layang-layang. Begitu juga kecenderungan laten (latent tendencies), potensi yang hanya akan muncul jika kondisinya mendukung. Di ajaran tertentu, kecenderungan laten ini digambarkan secara sangat realistis dengan jumlah bergudang-gudang, jenisnya lengkap dan selalu akan mewarnai setiap saat. Senang, susah. Gembira, sedih. Rasa bangga, rasa dihina. Pujian, teguran. Pengalaman kita, perasaan kita, emosi kita.

Emosi ini fungsinya menggarisbawahi hal-hal yang penting untuk kita. Makanya, kita hanya akan menjadi emosi jika hal-hal tersebut kita anggap penting. Dan seakan-akan emosi itu jadi ukuran hidup: semakin emosi semakin mantap; tidak emosi tidak ada kepuasan. Ketika dada dan kepala sudah hampir meledak, baru ada rasa lega, ada rasa puas. Tidak peduli kalau debar jantung dan tekanan darah meluap, badan gemetar, gigi bergemeletuk, rahang kejang-kejang… yang penting puaaaass! Apakah harus begini?

Efek butiran-butiran air sebagai kelembaban udara memang tidak begitu signifikan sampai kondisinya mendukung untuk menyebabkan sesuatu yang luar biasa. Dalam ilmu pengetahuan, ini disebut ‘emergence’ yang berpotensi menghasilkan angin topan. Begitu juga dengan emosi, jangan dibiasakan, karena bisa membawa hasil yang tak terduga dahsyatnya. EMOSI … jika dibiarkan dan dibiasakan bisa seperti tornado yang tidak saja berefek besar ke diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekeliling kita, bersifat destruktif dan bisa menghancurkan semuanya!

Kita diperingatkan untuk awas jika emosi-emosi ini mulai menjadi-jadi: 1) iri hati, kepelitan; 2) kesombongan; 3) nafsu yang menggebu-gebu; 4) kemarahan, dan 5) kepicikan, kekaburan pikir. Masing-masing emosi tampaknya sukar diatasi, apalagi biasanya muncul dalam satu paket! Ingat, ‘kan, pada waktu iri hati muncul bersama kesombongan dan dibarengi dengan kemarahan? Kalau emosi berfungsi untuk menggarisbawahi hal yang penting (salience), lalu pentingnya di sini apa? Ah, yang terpenting selalu, hanya satu-satunya: ‘Aku!’ Dari pengertian ini, tampak jelas bahwa ‘Aku’ inilah yang selalu menyebabkan dunia ini berkisar (berpusar).

Pertanyaan pertama, bagaimana dengan emosi positif seperti kasih sayang dan kepedulian? Apakah efeknya juga akan sedahsyat itu? Ya, efeknya bisa sama dahsyatnya, bedanya adalah kasih sayang dan kepedulian itu landasannya bukan kepentingan ‘Aku’ sendiri, jadi itu valid cognition (kognisi yang valid). Dan apa kekuatan dahsyatnya? Lenyapnya ketakutan, kecemasan… berganti dengan keterbukaan hati dan kehangatan hati … benar-benar ketenangan dan kedamaian sejati.

Lalu pertanyaan kedua, dengan landasan bukan untuk kepentingan ‘Aku’ sendiri, kadangkala sepertinya membuat kita berada dalam kondisi sulit. Misal, ketika mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan ‘Aku’ sendiri, di satu sisi merasa lega atau senang melihat orang lain terbantu atau bahagia; tapi di sisi lain terkadang ada rasa pedih, karena dampak dari tindakan kita membuat kita sendiri menjadi sedikit repot seperti kurang tidur, tidak bisa melakukan apa yang sudah direncanakan, dan sebagainya. Kejadian seperti ini membuat kita terperangkap dalam ragu, apakah memang seperti ini ‘cara mainnya’ si ‘Aku,’ ataukah kurang bijaksana dalam membuat pilihan?

Jika kita mengatakan ingin memberi kebahagiaan kepada semua makhluk, dengan sendirinya ‘Aku’ juga termasuk, bukankah begitu? Perlu diperhatikan, ada perbedaan yang besar antara ingin dianggap sebagai orang baik dan berbuat kebaikan. Jangan masuk perangkap hanya karena ingin berbuat kebaikan, kita mengabaikan akal sehat. Memang, hanya memikirkan Aku saja itu tidak efektif, tapi tidak memikirkan aku-nya juga tidak masuk akal. Juga, tidak cukup punya tujuan hanya ingin menjadi orang baik, kita juga harus tumbuhkembangkan ketajaman pikiran. Tanpa ketajaman pikiran, ‘kebaikan’ belum tentu menolong, malah sering hanya menjadi rasa kasihan yang salah kaprah. Ketajaman pikiran tanpa kebaikan hati hanya akan menjadi kumpulan pengetahuan yang hambar.

Kembali ke ‘Aku’ yang membuat dunia ini berkisar. Pertanyaan yang mungkin bisa kita ajukan: apakah berkisarnya dunia saya ini untuk menggerus, menindas dan menjepit yang lain — yang kebetulan kita anggap sebagai penghalang kebahagiaan kita? Jika ini caranya, maka dunia kita justru selalu akan oleng, selalu akan tersendal-sendal, selalu goyah karena begitu banyak ranjau di alasnya.

Atau kita pakai jurus lain, yakni kita undang dan kita sertakan semua orang dan semua makhluk di dunia kita, meskipun berbagai peran, tapi sambil bersama-sama berkiprah dalam pentas yang tak terukur luasnya ini. Tidak perlu berdesak karena ruang berlebih, tidak perlu bergegas karena tak dibatasi waktu, tidak perlu rakus karena memang berlimpah.

Be always aware that life cannot be more perfect than here and now.

(Ketahuilah selalu bahwa hidup ini tidak mungkin bisa lebih sempurna daripada di sini dan sekarang).

***

#Nisvasati (to Inspire)

--

--