Kisah tentang Api

(The Story of Fire)

Nisvasati (to Inspire)
Nisvasati
4 min readMay 17, 2017

--

Suatu ketika, ada seseorang yang memikirkan tentang cara kerja alam ini, dan dikarenakan fokus serta usahanya, dia menemukan cara membuat api. Orang itu bernama Noor (Cahaya). Dia memutuskan untuk mengunjungi komunitas demi komunitas, menunjukkan pada orang-orang hasil penemuannya.

Noor menyampaikan rahasia ini kepada banyak kelompok orang. Beberapa memanfaatkan pengetahuan ini. Yang lain mengusirnya, berpikir bahwa dia pasti berbahaya, sebelum mereka berkesempatan untuk memahami betapa berharganya penemuan ini bagi mereka. Akhirnya, satu suku di mana Noor menunjukkan penemuannya sedemikian panik sehingga mereka menangkap dan membunuhnya, karena yakin dia adalah setan.

Berabab-abad berlalu. Suku pertama yang telah mempelajari api menyimpan rahasia ini untuk pendeta-pendeta mereka, yang hidup dalam kemakmuran dan kekuasaan sementara orang-orang kedinginan. Suku kedua lupa akan seninya dan justru memuja peralatannya. Suku ketiga memuja perwujudan Noor karena dialah yang mengajarkan mereka. Suku keempat menyimpan kisah pembuatan api dalam legenda-legenda mereka: beberapa orang mempercayainya, yang lainnya tidak. Suku kelima benar-benar menggunakan api, dan ini memungkinkan mereka menghangatkan diri, memasak makanan, serta membuat berbagai jenis peralatan yang berguna.

Setelah bertahun-tahun, seorang bijaksana bersama sekelompok kecil pengikut melakukan perjalanan melewati tanah kediaman suku-suku tersebut. Para pengikut merasa takjub dengan keanekaragaman ritual yang mereka lihat; dan berkata pada guru mereka; ‘Tetapi seluruh ritual ini sesungguhnya mengenai cara membuat api, tidak ada yang lain. Kita harus mengubah orang-orang ini!’

Guru berkata: ‘Baiklah. Mari kita memulai kembali perjalanan kita. Di akhir perjalanan, siapa yang bertahan hidup akan tahu permasalahannya dan bagaimana melakukan pendekatan terhadap mereka.’

Ketika bertemu suku pertama, kelompok ini diterima dengan senang hati. Para pendeta mengundang musafir-musafir tersebut untuk menghadiri upacara religius, upacara pembuatan api. Ketika upacara berakhir dan suku tersebut begitu gempar dalam perayaan, guru berkata; ‘Apakah ada yang ingin berbicara?’

Murid pertama berkata; ‘Demi kebenaran, saya rasa saya terpaksa mengatakan sesuatu pada orang-orang ini.’ ‘Jika engkau bersedia menerima resikonya, silakan,’ kata guru.

Lalu murid tersebut maju ke hadapan pimpinan suku dan para pendeta serta berkata: ‘Saya dapat melakukan keajaiban yang kalian anggap sebagai perwujudan dewa. Jika saya dapat melakukannya, akankah kalian menerima bahwa kalian telah melakukan kekeliruan selama bertahun-tahun?’ Para pendeta berteriak, ‘Tangkap dia!’ Orang itu ditangkap, dan tak pernah terlihat lagi.

Para musafir berlanjut ke daerah berikutnya di mana kelompok kedua sedang memuja peralatan pembuatan api. Sekali lagi, seorang murid mengajukan diri mencoba untuk menjelaskan pada kelompok tersebut. Dengan izin gurunya, dia berkata: ‘Saya memohon izin untuk berbicara pada kalian, orang-orang yang berakal sehat. Kalian memuja sarana untuk melakukan sesuatu, namun bukanlah sesuatu itu sendiri. Dengan demikian, kalian menangguhkan kegunaannya. Saya tahu realitas di balik upacara ini.’

Suku ini terdiri dari orang-orang yang lebih berakal sehat. Tetapi mereka berkata kepada murid tersebut: ‘Kalian diterima sebagai pengunjung dan orang asing di antara kami. Sebagai orang asing yang tidak mengenal sejarah dan adat kami, kalian tidak bisa memahami apa yang kami lakukan. Kalian membuat kekeliruan. Mungkin kalian bahkan mencoba untuk mengambil atau mengubah agama kami. Karena itu, kami menolak untuk mendengarkan kalian.’

Para musafir melanjutkan perjalanan. Ketika mereka tiba di tanah suku ketiga, di depan setiap hunian mereka menemukan patung yang merepresentasikan Noor, pembuat api yang pertama. Murid ketiga menyampaikan pada kepala suku: ‘Patung ini merepresentasikan seseorang yang mengajarkan suatu kemampuan yang dapat digunakan.’ ‘Mungkin memang demikian, tetapi hanya sedikit orang yang mengetahui rahasia sebenarnya,’ jawab para penyembah Noor.

‘Memang hanya sedikit orang yang bakal mengerti, ini bukan untuk mereka yang menolak untuk menghadapi fakta-fakta tertentu,’ kata murid ketiga. ‘Ini adalah pandangan menyimpang, dari seseorang yang bahkan tidak bisa berbicara dalam bahasa kami dengan benar, dan dia bukan pendeta yang ditahbiskan dalam iman kami,’ gumam para pendeta. Dan murid tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Rombongan melanjutkan perjalanan, dan tiba di tanah suku keempat. Lalu murid keempat maju ke hadapan kerumunan orang. ‘Kisah membuat api adalah benar dan saya tahu caranya,’ katanya.

Kebingungan pecah di antara suku tersebut, yang terbagi menjadi beberapa kelompok. Beberapa berkata: ‘Ini mungkin benar, dan jika demikian, kita ingin tahu bagaimana cara membuat api.’ Ketika guru tersebut dan para pengikut mengamati orang-orang ini, terlihat bahwa sebagian besar dari mereka ingin sekali menggunakan teknik pembuatan api demi keuntungan pribadi, dan tidak menyadari bahwa itu adalah untuk kemajuan umat manusia. Begitu dalamnya legenda yang keliru merasuk pikiran kebanyakan orang sehingga orang-orang yang merasa mengetahui kenyataan seringkali adalah orang-orang tidak seimbang, yang tidak mampu membuat api meskipun ditunjukkan caranya.

Kelompok lain berkata: ‘Tentu saja legenda tersebut tidak benar. Orang ini hanya mencoba untuk menipu kita, agar dirinya diterima di sini.’ Kelompok lainnya berkata: ‘Kami lebih suka legenda seperti apa adanya, karena itulah yang menyatukan kami. Jika kami meninggalkannya dan mendapati bahwa interpretasi baru ini tidak berguna, apa yang akan terjadi pada komunitas kami kemudian?’ Juga ada pandangan-pandangan lainnya.

Lalu rombongan melanjutkan perjalanan hingga mereka tiba di tanah suku kelima, di mana membuat api adalah hal yang biasa, dan kesibukan-kesibukan tampak di antara mereka.

Guru berkata kepada murid-muridnya:

‘Kalian harus belajar bagaimana cara mengajar, karena orang-orang tidak mau diajari. Pertama-tama, kalian harus mengajar orang bagaimana belajar. Dan sebelum itu, kalian harus mengajar mereka bahwa masih ada yang harus dipelajari. Orang-orang berpikir mereka siap belajar. Tetapi mereka hanya ingin belajar apa yang menurut mereka harus dipelajari, bukan apa yang pertama-tama harus mereka pelajari. Jika kalian telah mempelajari semua ini, maka kalian dapat merencanakan cara untuk mengajar. Pengetahuan tanpa kapasitas khusus untuk mengajar tidaklah sama dengan pengetahuan disertai kapasitas.’

***

Kisah para Darwis: kisah-kisah ajaran para guru Sufi selama seribu tahun terakhir, oleh Idries Shah.

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh tim #Nisvasati.

--

--