Menyelami Makna di Penghujung Hidup: Ketika Napas Hanya Udara

Nisvasati (to Inspire)
Nisvasati
Published in
3 min readMar 19, 2017

Buku When Breath Becomes Air Ketika Napas Hanya Udara, adalah satu memoar yang luar biasa indahnya. Ditulis oleh Paul Kalanithi, seorang neurologis yang mumpuni. Putrinya baru berumur 8 bulan ketika Paul meninggal pada usia 37 tahun karena kanker paru-paru. Buku ini ditulis sampai saat terakhirnya. Luar biasa, karena karya ini menggarisbawahi betapa berharganya hidup ini, yang hanya baru kelihatan jika kita mengerti tentang kematian. Pentingnya kini dan di sini.

Buku ini prosa tapi bak puisi, mengandung banyak istilah, susunan kata-kata, idiom, kalimat bahkan paragraf yang butuh sedikit kepekaan dan keterbukaan hati agar bisa lebih berarti. Ketika membaca buku ini, kita seakan-akan ikut serta dalam perjalanan hidup salah satu saudara kita. Meskipun tampak tragis, tapi bukanlah suatu tragedi ataupun musibah (‘bencana besar’). Sesungguhnya, apa arti ‘bencana’ dan ‘besar’? Semuanya — baik ‘besar’ maupun ‘kecil,’ hanyalah tantangan yang harus ditanggulangi, dijalani. Itu salah satu aspek dari definisi ‘kehidupan.’ Walaupun hasil akhirnya tidak sama dengan yang kita harapkan, itu bukanlah kegagalan.

Paul Kalanithi menggambarkan suatu episode kehidupan tentang keberhargaan hidup, kerawanan badan manusia, arti keluarga, kegunaan dan ketidakmungkinan untuk memastikan banyak perencanaan, keterampilan yang cerdas tentang transformasi, butuhnya kebaikan hati, arti dan nilai hidup, sukses, cinta kasih, kasih sayang. Yang menjadi begitu gamblang adalah, bahwa hidup itu indah dan berguna, walau penuh dengan ketidakpastian — jika kita tahu. Kualitas, bukan kuantitas jumlah maupun waktu. Keterkaitan, bukan kesepian. Kebersamaan, bukan kesendirian. Berarah, bukan sekedar berkelana. Bermakna bukan sekedar mengatasi kejenuhan. Kebahagiaan bersama, bukan lagi teriakan ‘how about me (bagaimana dengan aku)’?

Ada yang mengatakan, “Life is a story, makes yours the best seller.” Benar adanya kalau hidup adalah cerita, tapi sebetulnya yang membaca (dan mengalami) hanyalah satu orang. Usaha untuk menjadikan cerita kita ‘best seller,’ sehingga banyak yang ‘membeli’ cerita kita itu tidak hanya melelahkan, tapi malah tidak banyak gunanya. Apakah tidak lebih baik dalam kiprah nyata hidup ini kita bisa menjadi inspirasi buat mereka untuk menulis cerita mereka sendiri?

Tulisan terakhir Paul benar-benar menyentuh:

“There is a joy that does not hunger for more and more but rests, satisfied. In this time, right now, that is an enormous thing” –

“Ada kegembiraan yang tidak haus dan menginginkan lebih dan lebih, namun bersemayam dan berkecukupan. Untuk saat ini, sekarang, itu sungguh hal yang luar biasa”.

Paul juga berpesan: hargailah kehidupan. Sekali lagi ditunjukkan begitu indahnya love, kasih sayang, di mana kita dengan hati yang terbuka lebar menjadi rawan, kind, generous dan berterima kasih atas semuanya. Penuh akan keberanian, satu arah.

Mulailah hari-hari kita dengan tekad untuk berguna, lengkapilah hati kita dengan Joy dan Love. Jangan berkutat di beceknya lumpur hal yang kecil-kecil hanya karena kegedean ego. Laluilah jalan kehidupan ini dengan penuh rasa kebergunaan, betapa pun kadang rawannya perasaan, penuh keberanian. Tataplah dengan kemantapan hidup ini dan teruslah berjalan tegap!

***

#Nisvasati (to Inspire)

*Buku When Breath Becomes Air sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka, 2016.

--

--