Nostalgia saat Memulai

Hebbie Agus Kurnia
No Drama
Published in
7 min readJun 10, 2019
Hebbie Agus Kurnia

Dari semenjak SMA, Gue emang suka dagang. Dari mulai spaghetti, nasi goreng, kue sampai jersey. Bukan, bukan karena Gue orang susah. Justru karena dari kecil hidup gue Alhamdulillah selalu enak, jadi engga salah dong gue ngerasain hidup “seakan-akan” susah? Ini semua bekal, barangkali skenario Allah mengharuskan gue untuk merasakan hidup susah nanti. Kan engga ada yang tau?

Banyak pelajaran yang gue dapet dari ini semua. Dari mulai susahnya hidup dalam keterbatasan, sampai memanfaatkan keterbatasan untuk dijadikan uang. Gue bersyukur sempat merasakan momen-momen itu. Dulu, jarak rumah Gue ke sekolah berkisar 30 menit. Sekolah Gue dengan peraturan yang strict abis, mengharuskan siswa masuk sebelum 6.45 pagi. Hampir setiap harinya Gue berangkat pukul 5.30 pagi menggunakan motor. Dibelakang, udah ready tuh spaghetti, nasi goreng, baju dll. Itu kelas 1 SMA. Jadi terkadang Gue menjadikan sekolah itu sebagai pasar, bukan tempat menuntut ilmu hahahaha… (Maaf, namanya juga anak muda. Jadi jangan ditiru ya, Gue juga pernah bandel hehehe)

Ada kepuasan tersendiri saat mampu menghabiskan barang dagangan. “Wah, uang sendiri. Susah amat cari uang ya”. Disitu Gue sadar akan sulitnya orangtua yang selalu mencari nafkah siang & malam. Gue akui, itu sulit. Sejak SMA, Gue mulai paham finansial. Atas dasar susahnya cari uang itulah, Gue paham. Gue mulai merambah ke bisnis yang lain. Langkah demi langkah engga terasa Gue lalui dan Gue sangat nikmati.

Karena pada dasarnya, mau sukses engga bisa lewat “lift”. Kita harus nikmatin setiap “anak tangga” yang tersedia untuk meraih sukses. Sakit dan getirnya itu menuntut untuk dirasa.

Kelas 1 SMA sudah ngerasain yang namanya jualan makanan gimana. Kelas 2 SMA, Gue memulai bisnis baru lagi. Kali ini clothing.

Berawal dari seringnya kita ber -4 (Febi, Zhafran, Bimo) berangkat pagi-pagi buta, kita jadi kepikiran untuk buka bisnis. Di sekolah kita ada namanya DK (Dewan Keamanan). Organisasi itu yang selalu mengawasi kedisiplinan seluruh siswa. Kasarnya, polisinya sekolah. Mereka sepantaran. Tapi jujur, Gue suka males kalau datang ke sekolah dengan menuntun motor dari gerbang sampai ke parkiran. Kalau engga ada DK, Gue bebas-bebas aja nge-gas motor ke parkiran. Diluar itu, setiap detail seragam sampai sepatu, diperhatiin semua. Gue suka risih kalau diperhatiin. Alasan itu semua yang mendasari Gue buat selalu datang pagi. Engga suka diperhatiin detail.

Brand kita namanya APPR. Singkatan dari, “Anak Pura-Pura Rajin”.

Awalnya kakaknya Zhafran yang punya konveksi baju. Gue, Bimo, Febi, join. Darisitu mulai yang namanya orderan datang dan kita handle semuanya. Bukan bisnis namanya kalau engga ada konflik. Entah itu konflik batin, lisan, bahkan fisik. Kita ber 4 masih belum dewasa. Cuma badan dan tontonannya aja yang sudah dewasa (if you know what i mean). Dari mulai ngerasa jatah peran kita engga adil, sampai selalu ada alasan buat engga bisa kumpul. Kesel juga sih. Kerasa banget keselnya waktu itu. Tapi kita jalanin aja pahit getirnya. Toleransi masih selalu hadir.

Buat seukuran kita, dapat uang 5 juta itu sudah sesuatu banget. Dan APPR sanggup meraih itu. Buat Gue, bisnis ini yang paling profitable. Darisini juga Gue sadar. Kalau mau mendapatkan hasil yang “wah”, pengorbanan kita juga harus “wah”. Bayangin, Gue lebih total ke bisnis ini ketimbang mikirin tugas sekolah. Gue lebih sibuk berpikir, “apa inovasi selanjutnya ya?” daripada berpikir, “besok ulangan matematika gimana nih?”.

Dan kalau ada sesuatu berkaitan dengan APPR, Gue selalu antusias. Dan Gue selalu berusaha totalitas untuk APPR. Dari mulai nawarin ke adik-adik kelas untuk bikin jaket atau sweater kelas, sampai orang-orang di luar sekolah. Sempat beberapa kali ada order dari luar kota. Alhamdulillah, itu sebuah pencapaian luar biasa buat Gue dan team.

Di penghujung kelas 2 SMA, kita mulai banyak konflik internal. Perlahan-lahan, engga kerasa semuanya sedikit menjauh. Dan akhirnya bubar.

Uang yang segitu banyak dibagi rata semuanya. Mungkin Gue paham, mereka mau fokus menghadapi UN sama PTN. Tapi engga buat Gue. Setiap orang punya prinsip masing-masing. Pendapatan aja boleh beda, apalagi pendapat?

Buat Gue, UN sama PTN bukan prioritas utama. Gue biasa aja menghadapi itu semua. Kelas 3, Gue tetap berbisnis. Lepas dari APPR, Gue mulai berjualan jersey. Saat kita berpikir bisa, akhirnya bisa beneran. Gue bisnis ini engga pakai modal uang. Barang orang, Gue jualin. Bahasa gaulnya dropshipper. Pundi-pundi uang Gue kumpulin terus. Lumayan bisa jajan sendiri. Asik bener…

Karena beberapa kali boss Gue engga kredibel, kadang barang dikirim telat, Gue memutuskan berhenti. Tapi kalau ada yang nyari jersey, teman-teman Gue udah tau. Pasti mereka ke Gue. Jadi Gue berjualan atas permintaan order aja, bukan spekulatif lagi.

Gue balik lagi ke kuliner.

Setelah jersey udah engga terlalu masif ordernya, Gue berjualan klappertaart. Memanfaatkan Ibu yang nomor wahid kalau masalah masak, Gue yakin ini akan laku keras di sekolah. Saat itu, Ibu dan Ayah udah bercerai. Dan Gue ikut Ibu. Rumah kita berkisar 10 menit dari sekolah Gue. Setiap malam, Ibu bikin klapertaart buat besok dijualin. Gue sesekali bantu kalau pulang rada sore. Paginya, Gue titip di koperasi. Harga pokok 4.500, jatah koperasi 500. Jadi dijual nya 5000. Terbilang tinggi di sekolah untuk harga sebuah cemilan.

Gue sempat ragu sama harga yang tinggi ini. Tapi Gue cuek aja. Kalau memang engga mau beli, ya engga usah beli.

Alhamdulillah, klappertaart nya laku di sekolah. “Enak banget bie klappy nya”, “wah kemurahan ini mah bie”, banyak komentar. Tapi Gue terima itu semua. Menganggap semuanya sebuah pujian. Gue pernah merasa miris, saat melihat klappertaart Gue masih utuh, dan dibuang di tempat sampah. Rasanya sakit sih. Gue ambil klappertaart itu dari tempat sampah. Gue liatin aja itu klappertaart. Abis itu Gue buang lagi di tempat sampah hehehe.

Gue memikirkan satu hal.

“Engga bisa selamanya orang setuju dengan apa yang lo perbuat, bie.”

Ya, Gue sadar kalau semua orang itu punya opini masing-masing untuk mengapresiasi sebuah karya. Termasuk Gue. Jadi untuk kedepannya, Gue harus terbiasa dengan perbedaan, mengingat Gue adalah sosok yang sangat ambisius dan perfeksionis. Ini pelajaran berharga buat Gue ke depannya.

Menjelang UN, Gue berhenti dagang klappy di koperasi. Ibu khawatir sama Gue. Takut nilai anjlok. It’s okay, wajar. Lagian juga Gue engga tega terus-terusan ngeliat Ibu bikin klappy setiap sore. Karena pembuatannya juga rumit. Butuh waktu. Jadi Gue juga mantap untuk mengakhiri. Tapi entah untuk kedepannya, hehehe. Mungkin klappy akan hadir lagi.

Singkat cerita, UN selesai. Yang didepan mata sekarang SNMPTN, SBMPTN, dan UM. Gue gagal di semua tes itu. Gue down. Gue ngerasa jatuh. Rasa down itu didasari oleh iri dengki Gue ke temen-temen yang udah keterima PTN. Padahal, persis yang tadi Gue bilang, Gue biasa aja nanggepin PTN. Cuma karena iri dengki ini, Gue jadi sedikit nge-drama pas dulu.

Gue yakin masih bisa masuk ke negeri tahun itu. Yaudah, Gue harus legowo. Toh memang bukan prioritas juga. Gue ambil swasta di Jakarta Barat. Gue engga lama disitu, cuma 1 semester. Ada internal keluarga. Jadi Gue mengajukan resign ke kampus, dan beberapa persen dari total biaya masuk masih bisa diambil.

Uang itu Gue pake untuk berbisnis. Tentunya atas persetujuan orang tua. Gue membuka Tahu Baso Kribo, di teras-teras mini market. Bisnis ini terus berjalan sampai sekarang. Alhamdulillah. Pahit getirnya sudah Gue rasain semua. Dari mulai karyawan di guna-guna, sampai omset yang jauh dari target. Hebat. Cobaannya hebat. Tapi Gue selalu berpikir, “Oh, okay. Sakit banget sekarang. Tapi ini worth it”.

Setiap Jum’at Gue selalu bagi-bagi makanan ke pedagang lainnya. Semoga ini bukan jadi bangga-banggaan, tapi Gue harap Lo tergerak untuk menjadi social entrepreneur. Apa itu social entrepreneur? Social Entrepreneur adalah pengusaha yang memiliki jiwa sosial tinggi. Berbisnis bukan hanya semata-mata karena uang, tetapi juga berpikir tentang KEBERMANFAATAN. Baik manfaat secara langsung dari bisnisnya, atau secara engga langsung. Maksudnya engga langsung itu Lo nyisihin duit dari keuntungan bulanan dan ngejadiin itu uang sosial.

Bukan cuma masalah uang, tapi tentang berbagi ke sesama. Makin kesini, makin terlihat pengusaha-pengusaha yang kapitalis, yang selalu mementingkan diri sendiri. Berbisnis semata-mata karena uang. Kita harus berbeda. Kita harus sanggup menjadi Gardu Energi bagi sesama. Kita harus jadi energi yang sanggup memberi manfaat kepada sesama. Inilah ekonomi kerakyatan. Kita berbisnis dan berkarya, bukan cuma karena uang. Lebih dari itu, kita berbisnis dan berkarya agar sanggup memberi manfaat kepada orang banyak. Sekecil apapun itu.

Yang bisa lo ambil dari ini semua adalah :

  1. Gue tetap mulai, walaupun pikiran dan situasi engga ideal. Karena kalo lo mikir mulu, malah engga jalan. Tapi pas jalan, lo nanti mikir. Prinsip ini berlaku saat awal banget mulai. Kalo udah banyak pengalaman, baiknya mainkan skill analisa resiko.
  2. Minat dan idealisme orang, terkadang beda banget. Gue sama anak seumuran gue waktu itu, beda banget. Yang lain mikirin dan prioritasin kuliah, gue engga. Apa itu salah? Engga. Tergantung lo ngeliat dari perspektif mana. Alhamdulillah, gue kekeuh dan ngotot sama pilihan hidup gue untuk jadi pebisnis dari dulu. Bisa dibilang, orang lain tidur, gue udah jalan. Orang lain jalan, gue udah lari. Orang lain lari, bisa dibilang gue udah agak selow alias santai. Karena pengalaman-pengalaman gue yang dulu, bener-bener bikin gue tau arah sekarang ini. Jadi, beda pendapatan aja wajar, apalagi beda pendapat?
  3. Masalah bisnis beraneka ragam. Kalo lo inget tadi, karyawan gue sempet ada yang diguna-guna. Bener-bener serem.. Hal-hal begini yang engga pernah diajarin di sekolah. Apalagi bisnis Advertising gue yang sekarang juga, mengharuskan untuk selalu berhadapan sama preman di lapangan karena hal wilayah. Kampus mana yang pelajarin ini? Hahaha… Pengalaman yang gue dapet, itu real.
  4. Kalau belum ada yang cocok, coba TEST EVERYTHING. Gue engga malu untuk nyoba dan gagal. Sejauh ini gue udah gagal atau nutup bisnis 15x. Dan itu sukses bangkrut. Ketipu, dibawa kabur karyawan, dibohongin partner, itu udah dirasain. Mungkin duit berkurang, tapi pengalaman dari kejadian itu selalu bertambah. Yang akhirnya membuat gue jauh lebih efektif dan efisien dalam berbisnis.
  5. Saat kita berpikir bisa, akhirnya bisa beneran. Kalau udah mikirnya “kurang modal, engga ada modal, engga ada yang dukung, orangtua engga setuju, takut gagal…” ya itu bener. Lo akan selamanya kurang modal, selamanya engga ada modal, selamanya engga ada yang dukung. Modal terbesar itu ya diri lo sendiri. Otak lo itu “beban” atau “modal”? Kalo lo rasa otak lo beban, ya jangan heran apa-apa berat. Tapi kalo lo berpikir otak lo itu modal, lo akan senang untuk terus berpikir. Percaya gue.

Pesan gue terakhir buat yang baca ini :

Jangan bandingin diri lo yang masih di tanah, sama orang yang yang udah ada di puncak gunung. Karena itu engga relevan.

Bandingin diri lo yang sekarang sama yang kemarin. Masih males engga? Masih manja engga? Masih banyak drama engga? Kalo masih, artinya umur lo bertambah tapi kedewasaan lo sama sekali engga bertambah. Coba dewasa sedikit. Melek ya!

Kalo lo suka sama tulisan gue, silahkan beri “Clap”. Kalo lo rasa tulisan gue bermanfaat, silahkan Share tulisan ini di media sosial lo. Semoga kebermanfaatan ini terus berlanjut!

Hubungi gue disini :

Instagram : @hebosto
Website : www.hebosto.com
Podcast : www.hebosto.com/podcast

--

--