Billy Sutomo: Pekerjaan Menantang Menjadi Dorongan Utama untuk Memberikan Hasil Terbaik sebagai Quality Assurance di Nodeflux.

John Patrick Manuwu
Nodeflux
Published in
3 min readFeb 19, 2020

Menantang! Itulah yang Billy Sutomo ungkapkan dalam perbincangan ringan kami di suatu siang. Kesehariannya sebagai seorang Quality Assurance Manager di Nodeflux bermula dari rasa penasarannya untuk bergabung sebagai Software Engineer. Memang, dalam percobaan pertama, usaha Billy belum berbuah manis untuk menempati posisi yang dia inginkan. Billy ditugaskan pertama kali sebagai Web Developer. Saat itu, Billy tidak familiar dengan tools dan skill yang dibutuhkan karena sangat berbeda dengan pengalaman kerja di perusahaan sebelumnya.

Keinginannya yang tak terwujud lantas tidak mematahkan semangatnya, justru Billy semakin merasa terpacu untuk menunjukkan kemampuannya. Keinginan keras Billy untuk dapat menguasai skill sebagai Web Developer memberikannya pengetahuan baru, yaitu pembuatan fitur Region of Interest (ROI) dan GIS (Geographic Information System). Region of Interest adalah penentuan sebuah area yang tertangkap CCTV, area yang ditentukan oleh user dapat digunakan sebagai informasi daerah yang harus dideteksi oleh aplikasi. Pengetahuan ini dipelajari secara otodidak dan dengan waktu yang cukup singkat karena kebutuhan yang mendesak di masa itu. Momen yang dapat dia banggakan saat itu adalah berhasil menguasai fitur ROI, namun terdapat beberapa kendala yang membuat fitur tersebut tidak dipublikasikan, yakni biaya dan proses yang rumit.

Semasa jabatannya sebagai Web Developer, Billy dan tim memiliki kebiasaan untuk meningkatkan produktivitasnya, dengan memiliki kalender besar yang dapat digunakan untuk pengingat dan memperkirakan lama proses pekerjaan, sehingga lebih efisien secara waktu dan tenaga.

Sejalannya dengan proses perkembangan kemampuan yang dimilikinya, Billy mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk mulai mendapat porsi pekerjaan seorang Quality Assurance (QA). Ini ditunjukkan dari inisiatifnya dalam membuat robot untuk menyelesaikan tugasnya yang repetitive, misalnya , deployment produk ke server inti untuk nantinya dapat dicoba dan dites kelayakannya. Tes disini bertujuan untuk memastikan sebuah produk menjalankan semua fitur yang sudah direncanakan sebelumnya. Proses ini terbagi menjadi 2, Positive Case test dan Negative Case test. Positive Case test adalah pengujian fungsi utama yang diminta, dan Negative Case test adalah pengujian untuk mencari celah dimana produk tidak berjalan sesuai fungsi utama. Seluruh hasil test akan menjadi sebuah dokumentasi yang dapat dimanfaatkan untuk menguji ulang produk secara iteratif.

“Gue merasa kerjaan yang bersifat repetitive itu bisa dioptimalkan dengan cara lain, oleh karena itu gue membuat robot untuk mengotomasi kerjaan tersebut.” ucap Billy.

Tentunya ada tantangan tersendiri bagi Billy sebagai QA, salah satunya adalah disaat dia harus mengerti produk yang akan diuji, namun produk tersebut bukan hasil buatannya.

“Diibaratkan pabrik yang membuat motor, gimana caranya QA harus ngecek motornya sedangkan bukan kita yang bikin” paparnya dalam memberikan contoh.

Billy menjelaskan lebih jauh, untuk menjadi seorang QA tidak cukup hanya inisiatif dan teliti, tapi juga memiliki curiosity yang tinggi dan suka “ngoprek”. Komunikasi untuk transfer knowledge juga tak kalah pentingnya dalam proses ini guna mempersingkat waktu dan pekerjaan.

Selain harus mengerti produk yang dia akan periksa, Billy menyatakan bahwa tantangan terberat dalam menjalani perannya sebagai QA adalah mentoring, arena proses pembelajaran orang akan berbeda beda. Metode yang Billy terapkan belum tentu cocok dengan kemampuan orang lain. Sebagai salah satu solusinya, dia menerapkan uji coba untuk menemukan metode yang cocok bagi tiap tiap individu, biasanya memakan waktu dari 2–4 minggu

Pada dasarnya, pendekatan “uji coba” ini dilakukan tidak hanya kepada robot, namun juga terhadap individu dalam timnya. Menurutnya, proses perkembangan diri dan juga perkembangan robot semestinya iteratif. Tentu saja, terdapat perbedaan mendasar, “robot tidak sekompleks manusia, manusia memiliki perasaan, sehingga pendekatan untuk proses iteratif ini juga membutuhkan empati, sedangkan robot tidak memiliki perasaan sama sekali.” tutupnya.

--

--