Memaknai Fakta

Ridwan A. B. Prasetyo
Nudgeplus
Published in
4 min readApr 25, 2020

Ada dua hal penting yang perlu kita latih: ‘mendapatkan fakta’ dan ‘memaknai fakta’. ‘Mendapatkan fakta’ umumnya menjadi fokus banyak pihak, karena biasanya berkaitan dengan perang melawan hoaks yang memang masif di era kebebasan informasi ini. Jika melihat ke beberapa panduan melawan hoaks, ‘mendapatkan fakta’ ini menjadi poin yang hampir selalu disebut.

Pertanyaannya kemudian, setelah mendapatkan fakta, apa yang harus dilakukan? Apakah fakta semata cukup?

Tujuan akhir dari diperolehnya informasi yang benar adalah munculnya perilaku yang diharapkan, baik secara hukum maupun sosial. Oleh karena itu, mendapatkan informasi yang salah (hoaks) akan sangat berbahaya karena berpotensi menghasilkan perilaku yang salah pula. Dari sini, peran fakta sangatlah penting sebagai pengarah perilaku.

Namun demikian, fakta semata bisa menyesatkan dan berbahaya. Hal ini terjadi karena manusia cenderung menilai dan membangun kesan atas sesuatu berdasarkan informasi yang dia dapatkan saat itu. Daniel Kahneman, ilmuwan psikologi peraih Nobel ekonomi menyebutnya dengan istilah ‘what you see is all there is’. Sesuatu yang kita lihat, walaupun sebenarnya hanya sebagian kecil, akan dinilai sebagai keseluruhan dari sesuatu itu.

Selain itu, manusia juga cenderung menyimpulkan sesuatu berdasarkan informasi yang mudah diambil dari ingatannya. Dalam ilmu psikologi dan ekonomi perilaku, kecenderungan ini disebut availability heuristics. Dua kombinasi kecenderungan berpikir irasional ini akan membuat fakta-fakta yang hadir di hadapan kita seringkali dimaknai tidak tepat.

Dalam konteks Covid-19 akhir-akhir ini, misalnya, orang yang mendapatkan fakta bahwa belum ada kasus positif di kotanya, akan menganggap bahwa wabah ini tidak berbahaya. Atau menganggap bahwa wabah ini hanya menyerang Jakarta saja dan tidak akan pernah menyerang wilayahnya.

Sebaliknya, orang yang membaca statistik kasus ini yang cenderung naik, akan menganggap wabah ini sangat mematikan. Perilaku yang muncul kemudian bisa dalam bentuk dua ekstrem yang berlawanan, meremehkan sama sekali atau terlalu berlebihan.

Dalam realitasnya, panic buying merupakan bentuk perilaku yang terlalu berlebihan. Sementara itu, bergurau dan ‘mengolok-olok’ Covid-19 atau tidak menjaga kebersihan diri dan keluarga bisa jadi contoh nyata perilaku meremehkan.

Bersikap di tengah-tengah, dalam kondisi ketidakpastian seperti saat ini, adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan. Tidak terlalu terbebani dengan berita-berita yang cenderung menyeramkan, namun juga tetap waspada. Sikap ini akan terbentuk jika kita mampu memaknai fakta secara bijak. Seperti halnya soft skill lain, skill ‘memaknai fakta’ perlu dilatih dan dibiasakan.

Kunci dari ‘memaknai fakta’ adalah membandingkan dan membuat konteks atas fakta-fakta yang dimiliki. Suatu fakta, yang umumnya hadir dalam bentuk cerita maupun angka, perlu disandingkan dengan fakta lain, baik secara sesama (within) maupun antara (between). Jangan pernah menelan mentah-mentah fakta yang datang.

Dalam kasus Covid-19, sebagai contoh, sudah banyak ahli yang mencoba menjelaskan kecenderungan pergerakan angka kasus di Indonesia dari waktu ke waktu (within), juga membandingkan dengan kasus di negara lain (between). Dari sini, kemudian dapat dilihat ada di mana posisi kita saat ini dan apa yang harus dipersiapkan.

Sebagaimana mental skill lainnya, latihan ‘memaknai fakta’ ini harus dilakukan dengan melawan beberapa tendensi psikologis yang ada dalam diri kita, salah satu yang terbesar adalah rasa takut (fear instinct). Rasa takut adalah mekanisme alamiah pada diri manusia yang memiliki jejak evolusi yang sangat kuat, karena berkaitan secara langsung dengan kemampuan bertahan hidup. Oleh karena itu, rasa takut akan otomatis muncul ketika dihadapkan pada situasi atau sesuatu yang mengancam.

Rasa takut, yang diperkuat terus menerus oleh gempuran informasi terkait, akan menenggelamkan kecenderungan kita untuk membandingkan fakta lain yang bersifat lebih positif dan progresif, yang sebenarnya mampu membangun ketenangan dan optimisme.

Sebagai contoh, dalam kasus kecelakaan penerbangan, jarang sekali kita mendengar fakta di media jenis apapun mengenai sebuah pesawat yang landing dengan selamat. Namun, satu pesawat mengalami musibah, siang malam akan dikabarkan. Hal ini akan membuat kita menyimpulkan bahwa moda transportasi udara ini ‘tidak aman’ atau ‘berbahaya’. Ini berkaitan dengan tendensi availability heuristics yang dijelaskan sebelumnya.

Dalam kasus Covid-19, hal yang wajar jika saat ini kita merasa takut, karena memang kecenderungannya terus naik. Untuk mengendalikan rasa takut tersebut, ada baiknya kita juga membaca fakta yang bersifat lebih positif, seperti tentang perjuangan tenaga kesehatan, masyarakat yang saling mengumpulkan donasi, pasien yang sembuh, langkah-langkah yang dikerjakan oleh otoritas terkait, ataupun kasus pandemik di masa lampau yang berhasil diatasi. Dengan begitu, rasa takut dan optimisme setidaknya menjadi seimbang.

Teori ekonomi standar mengatakan bahwa manusia adalah homo economicus yang rasional dalam memutuskan, tapi kenyataan sehari-hari menunjukkan kita cenderung tidak rasional. ‘Memaknai fakta’ merupakan upaya untuk mengendalikan kecenderungan berpikir irasional yang melekat pada diri kita, sehingga perilaku yang muncul akan lebih optimal, baik bagi kita sendiri maupun msyarakat.

Dengan demikian, ‘memaknai fakta’ menjadi skill yang juga penting untuk diajarkan kepada masyarakat, selain keahlian ‘menemukan fakta’ itu sendiri. Hal ini bukan hanya terkait dengan Covid-19, kecelakaan pesawat, ataupun pemberantasan hoaks, namun juga untuk urusan lain dalam kehidupan.

--

--

Ridwan A. B. Prasetyo
Nudgeplus

Behavioural science learner | Currently a PhD student | Engineering psychologist at Nudgeplus.net