Tantangan Mengubah Perilaku saat Pandemi

Dimas Budi Prasetyo
Nudgeplus
Published in
6 min readMay 19, 2020

Tercatat mulai awal Maret, masyarakat dibuat gempar dengan ditetapkannya 2 kasus positif pertama Covid-19. Virus ini bukan lagi sebatas cerita horor negeri seberang, ancaman ikut terinfeksi pun semakin dekat.

Orang mulai bingung hingga panik, gelisah bila kasus mengerikan hingga kematian di luar negeri pun menimpanya.

Himbauan pemerintah untuk rajin cuci tangan dan menggunakan masker pun tidak cukup menenangkan masyarakat. Dalam kondisi tersebut, masyarakat mencari cara terbaik untuk melindungi diri.

Secara tidak sadar, kecemasan menjadi momok setiap hari dan meningkat sejalan dengan bertambahnya kasus positif, mempersempit kapasitas berpikir untuk mengolah informasi dan berperilaku secara sadar dan rasional.

Kecemasan terkadang membuat orang hanya fokus pada informasi yang berkaitan dengan kebutuhan paling dasar manusia: bertahan hidup. Dalam kondisi ini seharusnya mengambil keputusan akan semakin akurat karena pikiran hanya fokus pada satu hal saja. Nyatanya tidak. Mengapa? Kecemasan untuk bertahan hidup di tengah ketidakpastian (uncertainty) terhadap sebuah kejadian yang belum pernah dialami (novel event) membuat intuisi (system 1) mengambil alih sistem kognisi.

Sayangnya, intuisi manusia tidak akrab dengan sesuatu yang akurat, rasional dan optimal — ia sangat gemar mengambil keputusan dengan cara yang mudah dan cepat. Mencari solusi bukan lagi berdasarkan proses berpikir yang matang tetapi berdasarkan, beberapa di antaranya, pengalaman yang paling diingat (availability heuristics) dan opini orang terdekat.

Tidak heran, masyarakat sering terpengaruh oleh influencer atau pesan berantai yang beredar di media sosial — apalagi bersinergi dengan orang lain adalah sesuatu yang normal di budaya ketimuran. Bisa jadi, mengubah perilaku satu orang berarti melawan norma sosial dan mengubah cara pandang yang berlaku di masyarakat. Alih-alih mengubah perilaku, mengambil perhatian (attention) masyarakat saja sudah menjadi tantangan tersendiri.

Hal ini kemudian menjustifikasi bahwa mengubah perilaku harus didasarkan pada pola pikir dan perilaku manusia, khususnya dalam kondisi hot state di mana sulit untuk mengontrol diri (self-control) ketika berada pada ketidakpastian (uncertainty). Mengikuti perilaku orang lain akan menjadi solusi mudah, cepat, dan tampak menjanjikan.

Sebagai contoh, perilaku panic buying, yang dalam kebanyakan kasus merupakan produk dari following others. Ikut melakukan pembelian secara berlebihan pada situasi pandemi paling tidak mengurangi rasa takut terhadap wabah karena individu merasa memiliki kesempatan untuk bertahan hidup yang sama dengan melakukan hal ‘wajar’ yang dilakukan banyak orang.

Following others pada fenomena panic buying memberi landasan bahwa perubahan perilaku harus didasari oleh pemahaman mengenai cara berpikir dan berperilaku manusia.

Penerapan larangan, denda, dan himbauan bisa saja efektif ketika dampak pelanggaran perilaku jelas tersampaikan berikut dampak sosial yang didapat.

Informasi terkini mengenai jumlah kasus positif, sembuh dan fatal mungkin saja membuat orang semakin sadar akan bahaya yang mereka hadapi. Namun, hal tersebut bisa tercapai hanya jika diimbangi dengan pesan positif yang mampu membangun dan menumbuhkan kemampuan diri untuk menghadapi wabah. Jika tidak, rasa cemas akan semakin menambah beban pikiran membuat sistem berpikir intuisi (system 1) semakin mengambil alih proses berpikir yang logis dan rasional (system 2).

Pada waktu yang bersamaan, masyarakat pun butuh mekanisme dan penyampaian yang jelas terkait protokol kesehatan dan pedoman menjalani hidup sehari-hari selama pandemi.

Perilaku yang akan diubah bisa saja kompleks, namun intervensi yang diberikan harus sederhana — juga mengacu pada pendekatan nudge yang dikemukakan oleh Richard Thaler. Alasan mengapa harus sederhana berpijak pada asumsi bahwa hal yang individu hadapi saat pandemi bisa saja menyita banyak pikiran dan perhatian sehingga sebuah intervensi yang kompleks akan sulit mengambil perhatian (attention) masyarakat. Bagaimana caranya?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi perilaku yang bermasalah (problematic behaviour) dan bagaimana konteks perilaku tersebut biasa muncul. Mengapa? Karena perilaku manusia terikat dengan konteks lingkungan. Hal berikutnya adalah identifikasi metode perubahan perilaku. Metode ini kemudian didesain sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami oleh target intervensi (masyarakat dalam konteks ini).

Bagian terakhir adalah uji coba metode pada konteks di mana problematic behaviour biasa muncul. Langkah akhir ini menjadi penting mengingat penerapan metode ini sensitif terhadap konteks, budaya dan karakteristik masyarakat (masyarakat ekonomi lemah vs kuat, misalnya), yang berarti metode yang terbukti berhasil di satu konteks (misal: negara lain) belum tentu berhasil dalam konteks yang lain. Bagian uji coba juga menjadi langkah penting untuk mendekatkan unsur saintifik dalam kebijakan agar kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dapat tercapai.

Pemahaman mengenai konteks menjadi penting karena di sini lah kebiasaan masyarakat bisa dipahami. Misalnya adalah kebiasaan penggunaan smartphone, di mana beberapa lembaga riset pemasaran (marketing research) menunjukan adanya peningkatan penggunaan smartphone saat pandemi yang ditandai dengan tingginya konsumsi paket data.

Smartphone ini bisa dijadikan wahana (touchpoint) untuk penerapan nudge — yang juga dikenal dengan istilah digital nudge karena melibatkan penggunaan teknologi perangkat online.

Mari mengambil satu contoh perilaku: mudik di tengah pandemi. Mudik adalah aktivitas unik yang dimiliki budaya Indonesia. Melakukan mudik selama masa pandemi jelas akan membawa masalah penyebaran virus yang semakin meluas.

Sayangnya, kebijakan terkait mudik sudah membingungkan sejak awal: mulai dari pelarangan hanya di lingkup pegawai pemerintahan hingga perdebatan antara beda mudik dan pulang kampung.

Ketidakjelasan ini bisa jadi membuat orang bingung terkait keabsahan larangannya. Hingga saat tulisan ini dibuat, jumlah pemudik dari arah Jakarta berkisar sekitar 500–1000 kendaraan per harinya.

Bersama dengan rekan di Indonesia Behavioural Economics Forum (IBEF), saya melakukan eksperimen sederhana untuk melihat seberapa efektif poster untuk mengurangi keinginan mudik di tengah kondisi di mana mudik dilarang oleh pihak otoritas.

767 responden ikut berpartisipasi dalam online survey yang menempatkan mereka secara acak ke dalam 5 kelompok yang berbeda. Tiap kelompok kemudian melihat satu dari 5 poster yang peneliti buat berdasarkan kombinasi dari elemen berikut: gambar sosok orang tua (ibu/bapak), tulisan pesan singkat/panjang orang tua nasihat tidak mudik dan sungkem melalui telepon, tulisan pesan singkat tentang rentannya orang tua tertular Covid-19 (ada/tidak ada), gambar visual Covid-19 (ada/tidak ada) dan penggunaan bahasa (Indonesia/daerah).

Keinginan (intention) mudik diukur sebelum dan sesudah responden melihat poster.

Hasil menunjukan bahwa poster dengan kombinasi gambar sosok ibu, tulisan nasihat singkat dan pesan orang tua yang lebih rentan tertular virus efektif menurunkan keinginan mudik responden. Efektivitas poster pun tetap terlihat bahkan ketika motivasi bertemu orang tua di kampung sangat kuat. Bisa saja, visual sosok ibu dan kejelasan pesan singkat pada poster mampu menyentuh sistem intuisi dan emosi partisipan.

Visual poster ini efektif menurunkan keinginan mudik pada partisipan studi yang penulis lakukan.

Pengetahuan mengenai dampak mudik di tengah pandemi sudah banyak disampaikan berbagai pihak. Terlepas dari definisi mudik vs pulang kampung, mengubah kebiasaan mudik menyebabkan kondisi kehilangan (loss) untuk sebuah rutinitas tahunan (default).

Efektivitas dalam mengurangi keinginan untuk mudik bisa dikaitkan dengan peran poster sebagai: (1) pengingat (reminder) akan bahaya penyebaran virus dan menumbuhkan kapasitas diri melalui pesan personal dari seorang ibu — sosok representatif untuk menggambarkan orang tua; (2) nasihat yang mengurangi rasa kehilangan (loss) dengan memberikan pesan bahwa kehadiran fisik saat sungkem bisa digantikan secara virtual melalui teknologi yang ada saat ini.

Di sini bisa dilihat bahwa tidak hanya intuisi (system 1, melalui feeling loss terhadap default) yang bekerja, namun sistem reflektif pun turut terlibat dalam perubahan perilaku (system 2, berupa reminder kalau mudik akan merugikan orang lain).

Pemerintah dapat menerapkan digital nudge dengan menggandeng perusahaan aplikasi smartphone yang sering digunakan masyarakat. Melalui fitur pop up, misalnya, poster akan berperan sebagai reminder setiap kali pengguna membuka atau menggunakan aplikasi. Tentunya, penerapan ini akan jauh lebih mudah, cepat, dan aksesibel karena menyasar langsung di level individual.

Contoh di atas bisa menjadi cara mengubah perilaku yang dapat dilakukan dengan menyampaikan pesan secara sederhana dan mudah dipahami.

Rasa kehilangan (loss) akan sebuah rutinitas bisa jadi menyebabkan masih banyak masyarakat ‘nakal’ yang tetap mudik. Dalam studi ini, pengingat (reminder) menghadirkan secercah kepastian akan kebingungan dan dorongan untuk berperilaku positif di tengah kondisi pandemi yang tidak pasti.

Kepastian akan sesuatu yang bisa dicapai, atau paling tidak, menghadirkan jaminan akan sesuatu yang pasti (certainty) di tengah ketidakpastian (uncertainty) menjadi kunci untuk mengubah perilaku di saat sistem intuisi mendominasi di tengah pandemi.

--

--

Dimas Budi Prasetyo
Nudgeplus
Writer for

behaviour change enthusiast | cognitive psych geek | scientist wannabe