Ada Yang Lebih Sulit
Dari Membahas RUU-PKS

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
3 min readJul 12, 2020
Jalan kita jauh, penuh kesulitan.

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Betapapun terkenalnya peribahasa itu, tampaknya para bapak dan ibu anggota dewan tidak begitu paham, bahwasannya setelah segala yang sakit dan sulit itu, ada yang senang dan terkenang.

Saya mengamini perihal “kesulitan” dalam pembahasan RUU PKS, tidak ada yang mudah dari menyusun undang-undang, terlebih menyangkut aturan pidana dan pemidanaan. Maka dari itu, yang menyusun undang-undang adalah anggota DPR, bukan pemuda Karang Taruna atau ibu-ibu PKK.

Tidak pernah ada yang mudah dalam menyusun sebuah kerangka aturan yang dapat merenggut kehidupan seseorang ketika ia dijatuhi hukuman pidana, belum lagi aturan yang dapat bertanggungjawab untuk menjaga keberadaan dan keadaan korban.

Maka dari itu, penyusunannya perlu dilakukan penuh kehati-hatian, pengaturan seperti perluasan definisi atas kekerasan seksual menjadi sembilan jenis atau detilnya proses beracara yang berperspektif kepada korban misalnya, memang menyita waktu dan sulit — juga mesti, dan menariknya dari prolegnas tentu bukanlah sebuah solusi.

Namun saya kira kesulitannya tidak berhenti disitu. Dan malah semakin sulit.
Seandainya wacana ditariknya RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020 dilihat sebagai sebuah bentuk persetujuan oleh negara — setidaknya melalui lembaga legislatifnya — atas budaya perkosaan (rape culture), maka sejatinya ada yang lain tertinggal dan mestinya punya tanggungjawab yang tidak kalah besar.

Kekuasaan sebuah pemikiran, yang hadir dengan berbagai wajah: baik itu sebuah ideologi, konsepsi, atau kebudayaan seperti budaya perkosaan itu, dilanggengkan setidak-tidaknya melalui dua kelompok: masyarakat politik (seperti halnya hukum dan aparatnya, politikus, dan militer) dan masyarakat sipil, demikian pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci menyempurnakan pemikiran Marx.

Ketika kita menggugat bapak dan ibu anggota Komisi VIII DPR RI, maka pada dasarnya kita baru menggugat kelompok yang pertama. Membaca lebih dalam lagi mengenai segala yang terjadi pada RUU ini, maka kita dapat menemukan kelompok kedua.

Bahwasannya betapa perdebatan yang terjadi di ruang sidang boleh jadi adalah perdebatan yang dapat kita dijumpai pula di meja makan rumah, mimbar ceramah, atau bangku tongkrongan sekolah.

Konstituen memang tidak bermaksud memilih perwakilan mereka yang doyan korupsi dan ongkang-ongkang kaki. Namun sistem demokrasi yang baik menghendaki bahwa mereka dapat memilih siapa yang dianggap dapat memperjuangkan mereka: pemikiran, ideologi, dan budaya mereka untuk dapat dilegitimasi oleh negara melalui aturan dan kebijakan.

Bagai pinang dibelah dua
Serupa tapi tak sama

Memang kita tidak di Senayan, tapi kita menjumpai ketidaksukaan, ketakutan, keengganan, dan ketidaksepakatan di lain perjumpaan.

Tendensi negatif beberapa fraksi di DPR terhadap naskah akademik RUU PKS yang menggunakan perspektif feminis, boleh jadi adalah tendensi yang sama ketika teman tongkrongan kita yang sangat maskulin itu ketika mendengarkan presentasi temannya yang menyebut-nyebut tentang feminisme di ruang kelas.

Ketakutan beberapa bapak anggota dewan yang dapat dipidana karena memaksa istrinya berhubungan seksual selama dianggap sejalan dengan perintah agama nya itu, serupa dengan ketakutan seorang suami yang takut dipidana ketika memaksa istrinya untuk dikasih “jatah” sehabis pulang ngantor sambil membungkusnya dengan jubah keagamaan.

Keengganan beberapa ibu anggota dewan menjadikan pemaksaan aborsi sebagai salah satu jenis kekerasan seksual, adalah keengganan yang sama ketika seorang ibu yang sudah dibikin pusing karena anaknya hamil diluar nikah, namun juga enggan menerima anaknya hendak menggugurkan kandungannya.

Ketidaksepakatan atas pemberian judul dan definisi substantif mengenai hubungan seksual yang berbasis konsensual (consent-based) sebagai titik pijak RUU ini oleh beberapa anggota Komisi VIII mirip sebuah ketidaksepakatan di sebuah perbincangan tongkrongan yang menentukan apakah “bungkus” cewek sepulang dugem itu hal yang benar atau tidak atau ketidaksepakatan antara orang tua dengan anaknya yang khawatir akan terpapar kehidupan liberal yang mengamini seks bebas dan perilaku LGBT asal suka-sama-suka.

***

Kita tentu berharap bahwa dengan dengan kekuatan politik yang cukup dibarengi lobi-lobi yang cerdas, kesulitan yang dijumpai bapak dan ibu anggota dewan itu tiba pada penyelesaian.

Setelah ketok palu, perdebatan dan ketidaksepakatan di ruang sidang sudah selesai, tapi perdebatan itu tidak semerta-merta saja selesai, justru jalan kita yang masih jauh dan penuh kesulitan.

***

Ditulis oleh Dzaki Aribawa
Editor-in-Chief (dzaki@nukilan.co)
Divisualisasi oleh Denissa Almyra Putri
Creative Director (denissa@nukilan.co)
Disunting oleh Aktsa Efendy
Managing Editor (aktsa@mejakita.com)

Copyright © Nukilan 2020.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).