Darurat Sipil: Lockdown Tanpa Beban Biaya Tunjangan?

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
3 min readApr 2, 2020

Presiden Joko Widodo baru-baru ini menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menangani COVID-19, dengan acuan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Keputusan ini menjadi pertanyaan, pertimbangan cost-and-benefit mana lagi yang menjadi halangan bagi pemerintah menerapkan Karantina Wilayah, atau kebijakan baru seperti Lockdown?

Lebih tidak nyambung, status Darurat Sipil menjadi opsi terakhir.

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan bahwa pemerintah menekankan pendekatan persuasif melalui sejumlah lembaga kementerian.

Namun, persuasif bukanlah yang masyarakat inginkan. Bukan pula langkah represif dengan status Darurat Sipil sebagai langkah terakhir yang diperlukan.

Status Darurat Sipil itu sendiri mengacu pada Perppu №23 tahun 1959, yang digunakan dalam keadaan tertentu dengan ancaman militeristik, seperti yang pernah dilakukan di Maluku (2000) dan Aceh (2004). Meskipun begitu, statusnya di bawah darurat militer, dan tentara atau pasukan militer berperan untuk menanggulangi keadaan, dan bersifat pembantu.

Sebetulnya, penerapan Darurat Sipil bisa dibilang merugikan rakyat tertentu. Sifatnya komprehensif di suatu wilayah, namun berbeda dengan penerapan karantina yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan. Dalam Karantina Wilayah, pembagian logistik juga merupakan bentuk jaminan.

Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 13:

Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan, dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Pasal 17 Ayat (3):

Penguasa Darurat Sipil berhak menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi seperti telepon, telegraf, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga menyita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Ya, memang betul langkah-langkah tersebut diperlukan dalam menjaga kedaulatan negara. Tapi kondisi Pandemi ini tidak mengancam kedaulatan negara dan tidak membutuhkan payung hukum yang represif dan totaliter. Seolah-olah mereka menghapus rakyat sebagai unsur dari negara itu sendiri, dalam konteks yang salah.

Pusat-sentris

Pasal 21: Untuk pelaksanaan peraturan-peraturan dan tindakan Penguasa Darurat Sipil, anggota-anggota kepolisian, badan-badan pencegah bahaya udara, dinas pemadam kebakaran dan dinas-dinas atau badan-badan keamanan lainnya ada di bawah perintah Penguasa Darurat Sipil.

Aparat, hingga Dinas Pemadam Kebakaran sekalipun secara hakikatnya mengabdi pada masyarakat. Tugasnya menjaga keamanan di antara masyarakat itu sendiri, dan menjawab segala panggilan kebutuhan. Namu, dengan wacana pemberlakuan pasal ini, maka keputusan diturunkan atau tidaknya aparat untuk mengatasi kekacauan jatuh di tangan pemerintah pusat. Artinya, mungkin tidak lagi ada yang kita kenal dengan emergency call.

Pemberlakuan status Darurat Sipil dalam mengatasi Pandemi adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya cukup sederhana. Ada kesan buruk yang ditimbulkan, seolah-olah memang sebuah skenario menghindari biaya tertentu untuk menerapkan Lockdown. Memang penetapan status Darurat Sipil seperti itu tidak mewajibkan adanya kewajiban pembagian logistik ke tiap rumah.

Walaupun belum diterapkan, penyinggungan soal status Darurat Sipil dianggap salah langkah, salah kondisi, dan menghilangkan tujuan negara dalam melindungi rakyatnya dalam keadaan non-militer yang sebenarnya bisa dilakukan melalui cara yang lebih manusiawi.

***

Menuju Swara Nukilan pertama, seri newsletter mingguan karya pimpian Redaksi Nukilan Media. Di inboxmu, setiap hari Minggu pagi.

Subscribe hari ini juga: https://tinyurl.com/SubscribeSwara

Sapa tim kami melalui: redaksi@nukilan.co.

***

Ditulis oleh Denissa Almyra Putri (denissa@nukilan.co)

Disunting oleh Aktsa Efendy (aktsa@mejakita.com)

Diterbitkan oleh Redaksi Nukilan Media

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).