Dzaki & Aktsa: Two Men,
One Dating App

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
4 min readJul 5, 2020
Berapa Swipe Kiri Sampai Mereka Lupa Harga Diri?

DISCLAIMER: Tulisan ini sangat jauh dari ranah substansial dan kata-kata akademis seperti yang kamu temukan di newsletter sebelumnya. Enjoy.

Pagi, reader! It’s me. Again. I know.
On the ocean surface, gue diamanahkan buat ngisi cerita hari ini — tentang dua orang ini, Aktsa dan Jeki minta di-feature karena mereka berhasil bikin akun Bumble walau pada akhirnya gagal juga.

And on the ocean floor, pada dasarnya gue disuruh ngehujat mereka dan mereka mau-mau aja gitu?! Luar biasa. Jadi seperti ini kisah mereka.

Btw, ini Denissa yang nulis OK!

***

Bumble dan Balada Jam Dua Dini Hari

Angin meniup gorden yang terpasang di jendela yang terbuka. Saat itu pukul dua dini hari. Daun bergemeresik tinggi di atas pohon, barangkali senada dengan suara-suara jangkrik yang ternyata masih lazim ditemukan di daerah urban seperti sebelah selatan Jakarta ini.

Mungkin kita bertanya-tanya apakah mereka merindukan hutan yang lebat, rumah kayu, dan lampu minyak seperti kebanyakan rumah-rumah di perkampungan. Malam minggu itu tidak biasanya aku duduk anteng di rumah, bukannya kelayapan sambil menyeruput kopi ditemani asbak yang setengah penuh.

Masa karantina belum usai, aku mulai bosan. Entah sudah berapa hal yang aku bayangkan tentang segala kemungkinan. Mungkin virus yang melanda lebih dari seratusan negara ini kemudian bisa menjadikanku sekuat mutan di X-Men, menjadikanku ahli telekinesis paling keren se-kecamatan.

Di bagian lain — sederhana saja — tentu aku membayangkan rasanya punya partner, seperti seorang perempuan yang mempunyai pikiran bak Taman Eden, ketika aku bisa berloncat-loncat di tiap genangan yang ada, mengapung di imajinasi cerdasnya yang sepolos awan, atau berlari ke setiap ujungnya berbekal keingintahuan.

Bagiku, mengenal orang baru selalu menyenangkan. Aku suka berandai-andai siapa orang yang tepat dari mereka yang aku temui baru-baru ini, atau mungkin yang sudah lama kenal denganku.? Entah. Kalau dibayangkan mungkin seperti betapa asyiknya dia ketika menceritakan seisi kepalanya bagai semesta baru yang tidak sempat dijelajah Hawking.

Dia tidak sadar sekali pun kalau orang-orang tidak peduli dengan ide-idenya itu. Mimik di alam bawah sadar yang membuat ketagihan untuk terus bicara kepadanya — dan terus menagihku untuk mencoba menebak asal apa yang sebetulnya ia pikirkan.

Rumit, memang — tapi kalau kamu mengenalku, kamu akan tahu.

Walaupun hampir tidak mungkin untuk bertemu perempuan seperti itu dalam sebuah pertemuan instan, rasanya sepercik keinginan untuk mengunduh aplikasi online dating menjadi sebuah gerbang asing yang belum pernah kusentuh. Sekilas memang gegabah, seandainya aku mengharapkan sosok dalam bayangan secepat swipe-right di aplikasi itu.

Namun rasanya menjadi bagian dari komunitas digital di tengah karantina ini pantas dicoba. Habisnya, aku bosan. Barangkali foto masa kecilku yang terpampang di dinding diam-diam menertawakanku yang suka menggerutu di dalam hati ketika kerjaanku akhir-akhir ini hanya bolak-balik ngopi, nge-twit, nyebat, lalu tidur sampai bego.

Pagi itu, pukul dua dini hari itu, aku mengutarakan maksudku ke kedua temanku yang sedang berada di sambungan telepon video.

Yang satu sudah aku kenal hampir setahun, dia laki-laki. Satu lagi, dia perempuan dan aku kenal dia nyaris empat tahun. Tentu temanku yang perempuan ini menganggapku sebagai orang paling tolol sedunia yang selama sembilan belas tahun hidupnya seperti tidak pernah mengenal dirinya sendiri. Padahal dia tahu betul kalau aku cuma main-main.

Namun sepertinya bagi dia bermain setengah-setengah dengan perempuan yang entah-dari-mana asalnya di internet sesungguhnya lebih berbahaya dari menjadi seorang kriminal. Ya, seperti aku biasanya menganggap itu biasa-biasa saja. Vice versa, temanku yang satu lagi sangat mengiyakan! Bahkan ia akan mengikutiku untuk mencoba aplikasi ini.

Membuat profil di aplikasi itu seperti membuka rekening bank, gagap, sekaligus merasa bodoh (dan absurd) karena teman perempuanku ini terus-terusan menghujat — dan bisa-bisanya dia hampir membuatku melangkah mundur.

Menarik, tapi sepertinya algoritma memang setan. Aku kerap menemukan teman-temanku yang lain yang tampaknya mereka juga bosan — Anggapan dunia online dating seperti samudera yang baru sepertinya adalah stigma kolektif.

Semua orang adalah Columbus. Aku malu setengah mampus dan rasa-rasanya aku tidak akan menemukan bingo moment seperti yang aku harapkan ketika berinteraksi secara langsung.

Aku tidak ingat persis sudah berapa lama aku merenungi tindakanku sambil menggeser ke kanan dan kekiri di layar ponselku. Ponselku juga sudah tertawa terbahak-bahak sejak subuh tadi — sumpah aku yakin. Matahari sudah naik, dan beberapa burung gereja melayang ke langit yang hangat. Kendaraan yang biasanya bising berlalu lalang di depan rumah telah empat minggu absen.

Aku merindukan minggu pagi yang bebas di luar rumah, menjelajah sudut, atau berjumpa dengan kerabat lama.

“Gue ga suka kenalan sama cowok baru tapi seenggaknya kalo gue kenalan gara-gara sering ngeliat dia di kantin fakultas sebelah rasanya lebih kayak — you’re living, Jek.”

Dia gak salah, sih. Aku suka dipertemukan seseorang karena ada identitas yang mengikat pada diri kita berdua. Lagipula aku tidak memungkiri kalau memiliki latar belakang tentang hubungan aku dan seseorang itu rasanya jauh lebih manis, apalagi untuk diceritakan kembali ketika tiba-tiba memori itu lewat.

Walau temanku yang kujerumuskan untuk bermain aplikasi online dating ini malah keterusan (Entah kenapa, tapi menurutku dia menikmati dark comedy dari jenis-jenis orang absurd yang ia temukan di aplikasi itu), aku merasakan sebuah celah yang tidak bisa diisi dengan justifikasi bahwa teman perempuan ku ini benar perkataannya.

Kayaknya dia memang cenayang. Sudah beribu kali aku menegaskan diriku sendiri untuk berani menjadi serius — dan tampaknya bermain-main memang sebuah kejahatan; tidak hanya untuk orang lain tetapi sebuah pengkhianatan bagi dunia yang ingin kuinvestasikan kepada seseorang. Menjadi seseorang seperti itu butuh waktu — aku sadar.

Seseorang yang berani membuka lapisan demi lapisan dari pikiran dan isi hatinya seperti sebuah bawang. Mengincar sebuah percakapan yang berarti adalah hasrat tersendiri yang tidak bisa dibeli dengan seleksi cepat.

Ah, karantina ini bisa saja memberi komedi gelap di hariku ini.

***

Ditulis oleh Denissa Almyra Putri
Creative Editor (denissa@nukilan.co)
Divisualisasi oleh Aktsa Efendy
Managing Editor (aktsa@mejakita.com)
Disunting oleh Dzaki Aribawa
Editor-in-Chief (dzaki@nukilan.co)

Copyright © Nukilan 2020.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).