Autumn Leaf & A Jump Through the Winter

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
3 min readMay 14, 2020

Membayangkan abad ke-19 dalam Jane Eyre (Charlotte Brontë, 1847) bukan lah sebuah hal secantik kehidupan di London pada masa paling romantisnya, bukan semudah Woodcock menjahit gaun untuk Alma, bukan pula semudah Amy March untuk berpergian keliling Eropa.

Brontë berusaha menyajikan kritik klasik era Victoria, permasalahan kelas — dengan Institusi Lowood yang menjadi suaka bagi anak yatim seperti Jane. Kondisinya tentu buruk, kasar, dan tidak layak — berangkat dari nasib seperti itu wabah tifus melanda, menjadi sorotan publik. bahkan sorotan Brontë sendiri sebagai bekal advokasi bagi pelayanan kesehatan masyarakat di Inggris pada saat itu.

Namun bagi saya, mencitrakan sebuah penyakit — atau bahkan epidemi di era Victoria adalah horor tersendiri. Jane Eyre adalah salah satu pengaruh sastra Barat pertama saya, yang kemudian saya baca lagi seiring saya menjadi dewasa. Horor tidak hanya berdasarkan fakta dan keadaan yang telanjang, namun penderitaan dan pengalaman seorang perempuan yang aktual. kematian massal akibat tifus di Lowood, menjadi selingkuhan yang “baik”, bertemu dengan wanita yang ia gambarkan sebagai separuh hewan, hingga peran Helen Burns — sahabatnya yang justru menjadi karakter minor yang sangat berpengaruh.

There is an invisible world all around you,

a kingdom of spirits commissioned to guard you.

Do you not see them?

Adalah kita saat ini 173 tahun setelahnya — menghadapi sebuah jilid baru secara kolektif: menghadapi era dengan pandemi (secara harfiah) seperti Jane atau Bronte itu sendiri dahulu. Kematian akibat penyakit yang mewabah menjadi nasib yang biasa dan keberadaannya diwajarkan. Adalah kita pula, menjadi Jane yang dengan usaha tertentu menjaga kewarasan di tengah dinamika yang magis. Bagaimana tidak, bagi saya segala urusan pandemi dan bekerja dari rumah ini adalah suatu yang magis, juga tragis.

Akhir April lalu, Ed Yong menulis di The Atlantic: Why the Coronavirus Is So Confusing — dengan judul yang mungkin tidak bisa kita pungkiri bahwa keadaan menjadi absurd dalam waktu yang singkat. Ada sebuah tanda tanya besar yang mengikuti setiap orang di jalanan. Mereka mendorong trolley belanja, memakai masker, mengantri panjang di supermarket, dan memborong tisu toilet dengan tanda tanya besar di atas kepalanya. If thought bubble really exists above us. Ada pula sebuah tanda tanya besar yang ditujukan bagi mereka yang memutuskan untuk menyerah dengan rasa bosan, menuntut pengembalian yang utuh ke entah siapa.

Narasi kultural berganti, dan kita masih butuh waktu.

Dalam pemandangan tertentu, dinamika tahun ini membentuk sebuah karakter — menyaksikan yang sudah rusak di belakang — mau tidak mau memainkan peran sebagai pihak yang sama rentannya dengan masyarakat di sekeliling Jane. Bukan berarti kita sama lemahnya dari mereka ratusan tahun yang lalu, kita jauh lebih kuat. Namun, masyarakat tidak semerta-merta berubah seluruh sifatnya, beberapa dari kita masih menyerahkan kata percaya pada apa pun yang bakal terjadi. Jane mulanya seperti itu, namun Helen — dengan cara tertentu, menjadikan Jane sebagai seorang yang sangat siap.

Kejadian gila, seringkali tidak masuk akal, jelas menakutkan, namun reaksinya stagnan. Mungkin hampir sama dengan pengabaian-pengabaian yang kita lakukan untuk menjadi seseorang yang sama. Mr. Rochester hampir dibakar di tempat tidurnya, ada seorang wanita gila di loteng, namun ia berlaku biasa. Ia abaikan sekalipun dari mimpinya yang paling gila.

Barangkali kemudian ia bangun, berhasil melihat apa yang ada di atas, dan yang di bawah.

Jane tampak bahagia menyelesaikan autobiografinya dengan ending yang manis:

Reader, I married him.

Sebuah akhiran yang biasanya tepat sasaran, feminis (dalam kuantitas gender tertentu) dan menghias literatur klasik seperti biasa. Namun, perlu diingat — Ia kehilangan banyak akal sehat untuk membuat semuanya tampak baik. Ada seorang anak perempuan yang mati namun berhasil mengutuhkan apa yang hilang. Di lain sisi ada perempuan yang harus kehilangan nyawanya.

Dalam sense itu, akhir tampaknya tidak akan selalu baik. Begitu pula dengan kita. Memang akan ada yang hilang, selalu hilang. Dan sebaik-baiknya kita perlu waktu — seperti Jane.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).