Mudik

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
4 min readJun 4, 2020
Kota adalah tempat yang kejam.

Sebuah mobil pick-up yang ditutupi terpal berjalan pelan menunggu antrian panjang mobil.

Dengan perlahan, sang supir mengarahkan mobilnya menuju pos yang dipenuhi dengan polisi, tentara, dan orang-orang berseragam lain yang melakukan pengecekan pada setiap mobil yang lewat.

Ada yang diperbolehkan meneruskan perjalannya, pun tidak sedikit yang disuruh untuk memutar. Ketika sampai pada ujung antrian itu, sang supir berlagak tenang, ia tahu ia harus tenang, di belakangnya sekumpulan orang sedang bersembunyi di balik terpal.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.

Mereka tertangkap basah. Mobil diputarbalikkan dan dipulangkan ke tempat berangkat.

Bingung antara Mudik dan Pulang Kampung

Mungkin kita sempat dibuat bingung ketika Presiden Jokowi mengatakan bahwasannya mudik dan pulang kampung adalah hal yang berbeda. Mudik adalah pulang kampung hanya karena hari lebaran, sedang pulang kampung adalah kembali ke daerah asal, mengunjungi keluarga karena bekerja di perantauan.

Publik menanggapinya dengan ketus,

“presiden ini saking saktinya bisa merubah definisi makna kata sendiri.”

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi pun menganulir perkataan bos-nya sendiri. Pada salah satu rapat dengan Komisi V DPR RI, mengatakan, “Mudik dan pulang kampung itu sama dan sebangun.”

Intinya, ia menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pemaknaan mengenai kedua kata itu. Yang penting, tidak ada boleh ada yang mudik, sekalipun melalui Permenhub 25/2020, keputusan Kementerian Perhubungan mengatakan bahwa moda transportasi dibuka lagi.

Eitsss, tunggu dulu.

Bukan berarti kalian boleh mudik. Bahkan merujuk pada Permen itupun, tidak dikenal istilah “mudik” itu, hanya dikenal masuk/keluar kota yang dikenakan PSBB. Itupun hanya diperbolehkan kepada tiga kriteria orang. Pertama, pejabat negara yang sedang bertugas. Kedua, tenaga medis dan pasien Covid-19 yang membutuhkan fasilitas memadai. Ketiga, WNA yang hendak di-repatriasi (dipulangkan ke negara asal).

Mengetahui hal ini, mengapa masih begitu banyak orang masih baget mudik, sih? Bahkan, sampai ada travel ilegal yang menawarkan jasa memulangkan orang-orang tanpa ketahuan sama polisi.

Sebenarnya saya setuju dengan pernyataan Pak Jokowi bahwa mudik itu berbeda dengan pulang kampung.

Memang, bahwa kata “mudik” mengandung makna literal “pulang kampung”, namun makna pada mudik bukan hanya sekadar “pulang ke kampung”,

Bagi saya, mudik adalah “pulang ke kampung”.

Begitu Sentimentalnya Pulang

Pemilihan untuk memiringkan huruf pada kata-kata diatas bukannya tanpa makna.

“Pulang” dalam kata mudik mengandung nada yang jauh lebih sentimentil ketimbang “pulang” yang biasa kita dengar. Sejujurnya, saya bisa ngomong demikian karena kebetulan salah satu literatur sastra berbahasa Indonesia juga sama-sama berjudul “Pulang” karya Leila S. Chudori.

Saya bisa menemukan ruh yang sama pada novel Leila dan pengertian sentimental dari “pulang” melalui ketidakcocokan dan rasa pembuangan.

Yah, sekalipun novel Leila menceritakan seorang eksil politik yang tidak bisa pulang karena dituduh antek PKI di Perancis, bukan orang-orang yang tidak bisa pulang karena Corona, namun kita bisa menemukan rasa ketidakcocokan dan pembuangan yang sama pada para perantau yang merantau di kota besar, baik untuk bekerja mengadu nasib atau mengejar cita-cita pendidikan untuk belajar.

Kalau sempat, coba buka google image dan cari nama berikut: “Dede Eri Supria”. Lewat lukisan-lukisannya, Dede mencoba menangkap kebengisan urban di kota besar. Tidak ada ekspresi senang, gembira, atau bersyukur dari pekerja proyek, pedagang di pasar, atau anak-anak berseragam SD di latar perkotaan yang penuh dengan warna-warna suram.

Sekarang, bandingkan dengan lukisannya ketika menangkap momen tarian tradisional: penuh ekspresi, figur-figur eksotis, dan warna-warna yang lebih terang. Dengan memukau, Dede menangkap citraan kota vis a vis kampung pada lukisan-lukisannya.

Kampung: Tempat dan Identitas

Ketika kita bertemu dengan orang baru — sebutlah di angkutan umum — ada satu pertanyaan yang tidak akan pernah luput, “kamu dari mana?”.

Secara logis, pertanyaan itu bisa dimaknai rujukannya pada aspek temporal dan spasial, “sebelum kamu naik angkutan ini, kamu berada dimana?”

Namun, secara instingtif, kita terbiasa tidak merujuk pada aspek temporal dan spasial dengan menjawabnya dengan tempat yang baru saja kita datangi sebelum naik ke angkutan umum itu, kita menjawab asal kita.

Asal memang merujuk pada aspek spasial mengenai lokasi tertentu, khususnya mengenai dimana kita dibesarkan.

Namun, asal, bagi beberapa orang merupakan suatu pembentuk identitas yang tidak bisa dilepaskan dari pribadinya sendiri. Maka ketika membicarakan mengenai “asal” seseorang, kita tidak hanya membicarakan mengenai tempat sebagai kenyataan spasial, melainkan tempat sebagai lanskap sebuah dunia pengalaman yang sentimentil.

Disadari Pak Jokowi atau tidak, nyatanya perjalanan pulang ke kampung, membawa kita pada pemaknaan yang jauh daripada mudik itu sendiri.

Kota adalah tempat yang kejam, sedang kampung adalah tempat yang agung dan penebus dosa. Perjalanan yang dilalui seseorang untuk tiba ke kampungnya, merupakan sebuah perjalanan yang sarat nilai-nilai moral dan sebuah perjalanan merengkuh identitas diri.

Identitas ini ditemukan melalui perjumpaan real dengan menghirup udara kampung, melihat lahan pertanian, atau memakan masakan ibu di rumah. Ditemui melalui perasaan senang, puas, dan penuh ketika berjumpa dengan sanak saudara.

Tidak kalah penting, dijumpai dengan mengenang kembali kenangan yang berada pada ruang imajiner.

Maka ketika ditanya mengapa ada orang yang begitu rela berjibaku, hingga kaki di kepala kepala di kaki untuk “hanya sekedar” mudik.

Saya teringat ketika sebelum Jamie Lannister mendorong calon raja Westeros (saya menulis ini dengan kesal) Bran Stark, di episode pembuka Game of Thrones, ia mengatakan:

“Things I do for love.”

***

Ditulis oleh Dzaki Aribawa
Editor-in-Chief (dzaki@nukilan.co)
Divisualisasi oleh Denissa Almyra Putri
Creative Director (denissa@nukilan.co)
Disunting oleh Aktsa Efendy
Managing Editor (aktsa@mejakita.com)

Copyright © Nukilan 2020.

Bahan bacaan:
Green, E.J. 2007. “Theorising “Place” In An Indonesian Context”. Populasi 2007, XVIII (2), hlm. 107–114

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).