Mungkin, Rumah Sebetulnya Hanya Punya Dinding

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
2 min readApr 19, 2020
Tembok-tembok ini tidak ada artinya.

Kalau mungkin kalian pernah membaca soal Maslow’s Hierarchy of Needs, ada kebutuhan-kebutuhan tertentu yang memang perlu melekat dalam diri manusia, dengan porsi yang tertentu pula.

Kebutuhan fisik, emosi, rasa aman, serta kausalitas dalam cinta menjadi sebuah proses yang bermain dengan pantas di alam bawah sadarnya. Makanya ketika seseorang bilang dia lagi enggak butuh cinta itu pasti bohong banget.

Sentuhan manusia menjadi suatu hal yang magis dan dicari, terutama bagi seseorang yang emotionally clumsy.

Seperti saya.

Boleh dibilang saya orang yang sangat suka overthinking, emosional, suka tiba-tiba sentimental di tempat tertentu padahal tidak ada pemicu apa pun. Saya juga suka people watching di restoran, di taman, di kampus, dan terutama di bandara.

Ketika kamu berada di antara orang asing, kamu tidak harus selalu menjadi asing. Kamu bisa jadi bagian dari masyarakat urban, melebur dengan kota, dan sejenak melupakan apa yang membuat kamu keluar rumah dari sekadar mencari udara.

Maka ketika outbreak sialan ini memaksa saya harus “bertahan” di rumah, saya kecewa bukan main.

Buat orang-orang tertentu, kuliah dari rumah pressurenya lebih besar dan masalah sekecil apa pun bisa dibawa tidur. Coba kalau di lihat itu Instagram Story mereka yang biasanya suka bucin, sekarang cuma bisa screenshot video call dan buat tweet tentang seberapa besar keinginan buat ketemu teman-temannya, perasaan melekat sebagai warga Jakarta ketika naik KRL, bahkan luar biasanya mereka kangen kuliah.

Mungkin, rumah sebetulnya hanya punya dinding.

Tanpa pintu, tanpa jendela, dan mengkotak-kotaki tentang kegiatan yang kamu lakukan. Kamu merasa dibatasi dan merasa diawasi, sampai kamu bela-belain bikin dalgona demi menafsirkan rasa bosan itu.

Mungkin, mereka yang merasa emosional itu bukan karena tidak nyaman di rumah namun jauh mengkhawatirkan tentang adanya ruang yang kosong dan pagar tertentu yang tidak bisa dilewati oleh orang-orang yang secara fisik dekat dengan mereka. Sebetulnya, kehadiran pagar emosi dalam dirimu itu juga menjadi batas yang sulit. Dia membatasi siapa-siapa saja yang bisa mengisi ruang itu, bahkan untuk mendukungnya secara emosional — dan hal itu sangat diwajarkan.

Seseorang pernah berkata bahwa “your fingertips are very well-endowed”. Sifatnya magis dan ada kepercayaan yang sulit diukur di dalamnya.

Saya percaya bahwa menjadi manusia sejatinya adalah merasakan emosi.

Bagi orang-orang tertentu sentuhan (atau sekadar perhatian) menjadi sebuah hal yang dicari. Setidaknya, dalam karantina ini kita punya waktu untuk menjadi egois bagi diri kita sendiri, menjadi sewajarnya manusia, membiarkan sebuah film, earphone, dan deretan lagu untuk menyentuh. Ada momen-momen tertentu yang ditunggu, momen yang lambat, dan menggelitik.

Sentuhan yang menyembuhkan, hangat. Memberi pelukan.

***

Ditulis oleh Denissa Almyra Putri (denissa@nukilan.co)

Disunting oleh Aktsa Efendy (aktsa@mejakita.com)

Copyright © 2020 Nukilan.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).