Not So Much Dr. Manhattan

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
4 min readMay 14, 2020

SPOILER ALERT!

Ketika Doctor Manhattan, seorang superhero metahuman, yang hampir seperti Tuhan, bisa merubah materi, memberhentikan waktu, dan tidak terikat hukum fisika-kimia di dunia ini dijebak oleh mantan partnernya, Ozymandias, ia memilih untuk menerima tuduhan keji ini dan rela menjadikan dirinya sebagai seorang musuh bersama seluruh manusia di dunia.

Satu film superhero yang selalu masuk favorite-list saya adalah Watchmen (2009) yang disutradarai Zack Snyder. Film adaptasi komik DC dengan judul yang sama ini mungkin tidak sepopuler film DC lain atau bahkan Superhero pada umumnya.

Secara technicality, film ini pun banyak dicak-cakin sama kritikus film lantaran tidak begitu memenuhi ekspektasi dari komik yang dikatakan cukup ikonik. Namun saya menyukai film ini bukan semata-mata karena itu.

Perlu diketahui lanskap film ini mengambil latar dekade 70-an ketika perang dingin masih berkecamuk antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Watchmen, sekumpulan superhero sempat menjadi “amunisi” peperangan yang berharga yang dimiliki oleh AS.

Perang usai, Watchmen sudah tidak diperlukan, namun pertikaian perang dingin tidak berhenti — dunia masih sama saja. Adalah seorang superhero dengan kemampuan intelektual luar biasa bernama Ozymandias yang berusaha “mendamaikan” pihak yang bertikai ini, dengan cara menjadikan kawannya, Doctor Manhattan, sebagai common enemy seluruh dunia karena telah memporak-porandakan seluruh dunia dengan kekuatannya secara tidak sengaja.

Mudah untuk menjadikan pandemi Covid-19 sebagai common enemy yang dapat mempersatukan manusia layaknya Doctor Manhattan. Kondisi ini yang diimpikan seorang sejarawan terkenal yang bukunya “Sapiens” dijadikan buku wajib remaja woke Jaksel, Yuval Noah Harari.

Pada salah satu tulisannya menanggapi pandemi Covid-19, “The World After Coronavirus” ia membeberkan dua pilihan: isolasi nasional atau kooperasi global, dan seperti yang diamini seluruhnya, ia menganjurkan kooperasi global. (sumber: https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75)

Namun, mampukah dunia berlaku demikian?

Mungkin Yuval sedikit berangan-angan bahwasannya seluruh negara di dunia secara sadar takut dan sepenuhnya menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menangani pandemi ini.

Nyatanya ga gitu-gitu amat, bro.

Akan sulit rasanya bagi kita memimpikan keadaan dunia yang bersatu padu, apabila keadaan dalam negeri sebuah negara yang masih terfragmentasi dengan perbedaan pendapat dan cara pandang yang prinsipil, terutama pada kondisi genting yang mempertaruhkan nyawa di dalam permainannya. Amerika Serikat adalah salah satu diantaranya.

Selama beberapa hari di penghujung Bulan April, jalanan Michigan, Amerika Serikat, dipenuhi mobil-mobil yang sengaja berhenti dan menutup jalanan, menyala-nyalakan klakson mengitari kota. Mereka menuntut Gretchen Whitmer, Gubernur Michigan untuk mencabut pemberlakuan lockdown di Michigan.

Para peserta aksi yang menamai aksinya “Operation Gridlock” ini merupakan aksi yang diinisiasi oleh sekumpulan masyarakat konservatif yang menganggap lockdown merupakan kebijakan berlebihan pemerintah, khususnya kebijakan yang dibuat politisi partai Demokrat.

Beberapa dari mereka membawa papan-papan yang menuliskan ketidakpercayaan pada virus corona, menganggap vaksin adalah upaya melemahkan manusia, dan yang paling penting adalah slogan-slogan re-election Donald Trump pada pemilu 2020.

Mereka beranggapan bahwa dengan diberlakukannya lockdown, maka mereka tidak dapat hidup, karena tidak dapat bekerja, tidak dapat makan, hingga tidak dapat potong rambut.

Reporter Guardian News, Adam Gabbatt pada salah satu video yang dirilis oleh Guardian News di YouTube, menyatakan bahwa gerakan ini bukanlah gerakan organik yang semata-mata tumbuh dan berkembang dari keresahan masyarakat, melainkan sebuah gerakan yang sistemik dan berakar pada elit AS.

Tak heran, beberapa media dengan kecenderungan sayap kanan memberitakan gerakan ini dengan nada yang romantik dan heroik. Presiden AS, Donald Trump pun secara terselubung memberikan dukungan kepada gerakan ini yang mulai menjamur ke negara-negara bagian lain. (sumber: https://www.youtube.com/watch?v=TKqymsBdllg)

Banyak diskursus-diskursus kita, ditengah ke-gabut-an yang hakiki karena harus berdiam diri di rumah, berupaya untuk membayangkan dunia setelah pulih dari pandemi ini. Banyak wacana-wacana mengenai penguatan jaminan sosial, khususnya mengenai keadaan-keadaan rentan para pekerja yang harus dijaga, melihat tindak-tanduk negara dan perusahaan multinasional untuk bangkit dari keadaan resesi, hingga peran pengawasan personal pada individu yang bertujuan untuk penguatan ketahanan nasional.

Nyatanya kondisi dunia saat terjadinya pandemi pun perlu untuk dijadikan bahan diskusi bersama. Kita melihat bagaimana tindakan-tindakan administratif pemerintah yang tepat sasaran (dan tentunya salah sasaran) dalam kerangka praktik ideologi tertentu, bagaimana kekuasaan melegitimasi tindakannya, dan ternyata pada keadaan-keadaan tertentu, dimana nyatanya manusia mampu bertindak diluar nalar dan begitu bebal, bahkan terhadap fakta saintifik yang demikian nyata.

Ozymandias ternyata tidak perlu repot-repot menyusun master plan untuk menjadikan Doctor Manhattan kambing hitam atas kehancuran dunia sambil mendambakan dunia yang damai.

Common enemy kita nyatanya bukan senjata nuklir, pemanasan global, atau pandemi.

Musuh kita bersama ialah kebebalan, jika bukan kebodohan.

Sekalipun rasanya superhero metahuman macam Doctor Manhattan pun bingung bagaimana melawannya.

***

Ditulis oleh Dzaki Aribawa
Editor-in-Chief (dzaki@nukilan.co)
Divisualisasi oleh Denissa Almyra Putri
Creative Director (denissa@nukilan.co)
Disunting oleh Aktsa Efendy
Managing Editor (aktsa@mejakita.com)

Copyright © Nukilan 2020.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).