Permohonan Maaf Untuk JFK

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
5 min readApr 19, 2020

Kita belum bisa apa-apa, sepertinya.

Hingga Jumat (10/04), terdapat 3.293 kasus positif Covid-19 dan menyebabkan kematian sebanyak 280 orang (Kompas.com). Kita berada pada situasi pelik nan genting yang memerlukan usaha-usaha seluruh manusia: lintas golongan, lintas kepentingan, dan lintas peran.

Kita semua punya peran dan potensi untuk berkontribusi, usaha paling mudah: udah, #dirumahaja deh. Situasi ini menghendaki adanya kerjasama dan kesepahaman, jadi ketika masyarakat sipil sudah berperan, sekarang bagaimana melihat negara berperan.

Inget pelajaran PKN waktu SMA? Kalau kata Montesquieu, kekuasaan negara itu dibagi jadi tiga: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Percaya atau enggak, bahkan di tengah prahara pandemi Covid-19, semua nya punya peran nya masing-masing, sekalipun yang lain bisa jadi lebih krusial dibanding yang lain. Jadi negara bukan melulu soal Jokowi, Terawan, atau Achmad Yurianto, tapi juga tentang Puan Maharani dan para hakim.

Ketika mendengar kata “kebijakan” maka sebenarnya kita sedang mendengar tindakan administratif yang merupakan domain kekuasaan eksekutif. Rumah Sakit Darurat di Wisma Atlet Kemayoran, pengadaan APD, pemberlakuan PSBB, diterbitkannya Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang membahas tentang stabilisasi ekonomi, adalah beberapa di antara kebijakan yang diambil empunya kuasa eksekutif.

“Terus lembaga legislatif sama yudikatif nya ngapain dong? Bosen gue nih cak-cakin pemerintah pusat mulu!”

Loh, sebenarnya udah ada lembaga negara yang punya jobdesc untuk cak-cakin pemerintahan pusat, Siapa? ya… itu yang “duduk sambil diskusi” dan yang “biasa bersafari” dimana?

“Di gedung DPR”.

Love and Hate Relationship

Senin (30/03) DPR mengadakan rapat paripurna, ya sekalipun enggak social distancing banget sih, mereka mengagendakan untuk memfokuskan kegiatan DPR untuk ikut menangani pandemi Covid-19 juga. Mungkin kita digocek, mungkin enggak, yang pasti kita sering love and hate relationship sama wakil-wakil rakyat ini, ibarat remaja SMP, suka labil.

Kadang mereka peduli banget lho sama kita. Saat rapat paripurna itu, tiga fraksi di DPR, yakni Golkar, Nasdem, dan PKB sempat mengajukan wacana untuk memangkas gaji nya setidaknya sebanyak 50% untuk dialokasikan ke anggaran penanganan Covid-19 (tagar.id)

Supaya kita tidak terlampau letih ngetik untuk ngetweet mengkritik pemerintah, beberapa anggota dewan melalui beberapa fraksi ini juga sudah melontarkan kritik-kritik substansial buat pemerintah pusat. Misalnya Mardani Ali Sera yang bilang untuk menjaga tindakan pemerintah agar tetap berada pada koridor good governance, mayoritas fraksi di DPR menolak dan menuntut pemerintah menghapus Pasal 27 ayat (3) Perpu Nomor 1 tahun 2020 untuk dihapus karena berpotensi abuse of power mengingat tidak bisanya tindakan pemerintah yang tertuang pada Perpu ini untuk digugat di PTUN (merdeka.com).

Kritik dengan nada yang sama juga dilontarkan oleh ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Marwan Cik Asan yang mengkritik pasal yang sama, namun pada dua ayat sebelumnya, yakni ayat (1) dan (2). Kritik ini menurutnya bertentangan dengan prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab. (cnnindonesia.com) Dua ayat ini menyatakan bahwa, uang yang sejumlah 405,1 Triliun itu, tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana.

Sekalipun peduli banget layaknya orang baru PDKT, rasa-rasanya kita juga cukup sering digocek sama anggota-anggota dewan ini.

Bayangkan, di tengah situasi pandemi ini beredar nya surat dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI yang berisikan pemberian uang muka untuk keperluan transportasi sejumlah 116.650.000 itu dianggap tidak peka pada situasi pada pandemi ini (liputan6.com).

Belum lagi ada sempat ada wacana dilakukannya rapid test massal pada anggota DPR dan keluarga-keluarga nya pada akhir bulan lalu dan terkesan mengkhianati keadaan rakyat (nasional.tempo.co).

Belum lagi wacana pembahasan Omnibus Law yang masih ditolak sampai hari ini, direncanakan untuk tetap dibahas bersama dengan RUU krusial lainnya seperti RKUHP dan RUU Minerba (cnnindonesia.com)

Bagian terakhir memang cukup dilematis, mengingat memang sudah kewenangan DPR untuk menjalankan kewajibannya sebagai lembaga legislatif yang memiliki tanggung jawab untuk tetap membahas rancangan undang-undang.

Tapi, apakah itu penting dan mendesak saat ini? Bagaimana keterlibatan publik pada proses perancangannya orang kita sekarang di rumah semua?

Setelah mengomentari tindak tanduk DPR sebagai salah satu lembaga legislatif, bagaimana dengan lembaga yudikatif dan perannya pada pandemi Covid-19?

“mostly gabut, yha”.

Sabar dulu ya…

Hakim dan peradilan, memang menunggu perkara yang diajukan kepadanya. Mengingat situasi seperti sekarang, rasanya memang berperkara di pengadilan bukan sebuah hal yang perlu sih, orang cari makan aja susah?
Nyatanya tidak demikian, masih ada teman-teman kita yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk tetap menuntut haknya untuk pemerintah menunaikan kewajibannya.

Enam orang pedagang UMKM, menggugat Presiden Jokowi secara perdata, karena dianggap lalai dalam penanganan Covid-19 ini sehingga menyebabkan kerugian pada usaha nya. Enggal Pamukty, salah satu penggugat dalam class action itu menyatakan bahwa pemerintah dianggap lalai dan menyepelekan pandemi ini, memang karena dianggap menyebabkan kerugian imateril dan materil, pemerintah dituntut 10 miliar untuk ganti rugi, namun Enggal menyatakan bahwa tujuan utama nya adalah untuk menuntut pemerintah memberlakukan Karantina Wilayah sesuai dengan apa yang tertuang pada UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. (liputan6.com)
Kalau itu di lingkungan peradilan umum, ternyata di peradilan konstitusi, hakim konstitusi juga mendapatkan perkara baru.

Sejalan dengan kritik yang diajukan oleh Marwan Cik Asan, MAKI (Masyarakat Anti Korupsi) bersama beberapa LSM lain telah mengajukan uji materi pada Pasal 27 ayat (1) dan (2) Perpu Nomor 1 tahun 2020 pada Mahkamah Konstitusi. Uji materi ini didasari pada kenyataan bahwa pasal ini bersifat superbody dan menyebabkan presiden yang kebal hukum, bertentangan dengan apa yang diamanatkan UUD 1945 (cnnindonesia.com).

Satu yang pasti, para penggugat harus bersabar. Berkaca pada situasi pandemi yang demikian rawan, berperkara di pengadilan tentu bukan suatu yang enteng.
Orang beracara di pengadilan pada keadaan tidak pandemi saja lama, apalagi sedang pandemi?

Maaf ya, JFK…

Kita semua punya peran dan potensi untuk berkontribusi, saya percaya demikian. Namun bukan berarti hal ini menjadi justifikasi bahwa tanggung jawab ini hanya bermuara pada masyarakat sipil yang harus berdiam di rumah, bersabar untuk tidak nongkrong dan tidak bisa bertemu pacar. Peran dan kontribusi ini justru paling besar berada pada pundak para pemegang kuasa yang diberikan oleh kita tahun lalu.
Saya makin lama makin pesimistis dengan perkataan John F. Kennedy saat pelantikannya tahun 1961 yang berbunyi demikian:

“…my fellow Americans: ask not what your country can do for you — ask what you can do for your country.”

Negara ada, dan kita mengakui keberadaannya dengan membayar pajak, mengikuti dan tidak melanggar yang tertulis di undang-undang, dan usaha-usaha lainnya, supaya kita tidak kelabakan dalam mengatasi urusan-urusan besar yang rumit, seperti halnya pandemi ini. Kita semua sudah berkontribusi dan menjalankan peran masing-masing, lantas saatnya ini bagian kita untuk mempertanyakan negara:

“Lo bisa apa sih?”

***

Ditulis oleh Dzaki Aribawa
Editor-in-Chief (dzaki@nukilan.co)
Divisualisasi oleh Denissa Almyra Putri
Creative Director (denissa@nukilan.co)
Disunting oleh Aktsa Efendy
Managing Editor (aktsa@mejakita.com)

Diterbitkan oleh Redaksi Nukilan Media (redaksi@nukilan.co)

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).