Toilet Mampet.

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
4 min readJun 28, 2020
Dan kita-kita yang udah empet.

Ada satu pepatah berbahasa Inggris yang berbunyi begini kiranya “Ignorance is bliss”, diambil dari kutipan syair penyair Inggris abad ke-18 Thomas Grey yang berjudul “On a Distant Prospect of Eton College.”

Saya tidak begitu mampu mengurai gramatika atau segala tetek-bengek puisi ini, intinya maksud kutipan itu adalah ketidaktahuan akan berujung pada kebahagiaan.

Singkatnya, klo lo gatau, lo gaakan peduli, klo lo gapeduli lo akan bahagia.

Wow, kutipan yang sangat individualistik bukan?!

Perlu diingat bahwasannya kutipan ini merupakan hasil kesusastraan Inggris abad ke-18. Kala itu semua masih lebih mudah bagi seseorang untuk (dengan sengaja) memilih tidak tahu. Manusia abad ke-18 belum mengenal sebuah platform jejaring sosial seperti TikTok, Twitter atau Instagram.

Adapun hari ini, seandainya “tahu” dalam kutipan itu bermakna menyerap informasi, maka TikTok, Twitter, Instagram, internet, televisi, dan semua medium komunikasi kita hari ini, adalah salah satu alasan mengapa barangkali perkataan Thomas Grey sudah kehilangan maknanya.

Ada alasan mengapa internet, terutama sosial media mengalami fenomena yang umum disebut “banjir informasi”. Semua orang butuh air, tapi tidak ada yang mau rumahnya terendam air kiriman dari Katulampa bukan?

Begitu pula dengan informasi, tidak ada yang tidak butuh informasi, setidak-tidaknya saya tahu saya butuh informasi dari internet tentang bagaimana melancarkan aliran kloset saya yang tersumbat, tetapi keberadaan alien di luar angkasa?

Saya tidak yakin.

Namun, ada kalanya informasi menjadi begitu berharga, seperti hal nya saya yang membutuhkan informasi tentang melancarkan aliran toilet karena saya pernah terpaksa tidak buang air selama seminggu di kontrakan saya, informasi itu lebih bermakna saat itu ketimbang saat lainnya.

Hari ini, barangkali sudah hampir tiga bulan belakangan, pandemi adalah “toilet mampet” nya saya bagi kita semua yang terpaksa banyak mengalah.

Tidak ada yang enak dengan harus buang air di kampus atau kost teman, atau harus terpaksa mandi secepat bebek karena aroma kloset (meskipun ditutup) tidak friendly untuk diajak mandi.

Bahkan sikat gigi pun, saya terpaksa melakukannya di tempat mencuci piring.
Siapa pula yang menganggap di rumah saja selama tiga bulan, tidak ngampus, nongkrong, atau ngapel itu enak?

Pada waktu-waktu yang begitu penuh akan keputusasaan, maka informasi adalah segala-galanya. Bukan tanpa alasan filsuf Inggris abad ke-17, Francis Bacon mengatakan bahwa “knowledge is power”.

Pengetahuan (knowledge) atau informasi, adalah kekuatan karena ia memiliki suatu daya potensi yang mampu mengubah realita, demikian barangkali makna kutipannya. Jelaslah bahwa berdasarkan informasi yang saya dapatkan di internet, bahwa sabun cuci piring, apabila dimasukkan pada saluran kloset yang mampet itu, dan ditumpahkan air panas sedemikian banyak, dan didiamkan selama 20 menit dan di-flush, maka akan melancarkan saluran yang tersumbat.

Kekuatan yang dimiliki informasi itu, dapat mengubah realita toilet saya (dan kamu barangkali) yang mampet.

Kita pun tahu, bahwa mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker dapat mencegah transmisi virus Korona. Pun dengan menerapkan pembatasan mobilitas sosial antara manusia dengan manusia lainnya, kita dan pemerintah tahu bahwa hal ini harus dilakukan demi mencapai tujuan yang sama.

Ada realita yang perlu diubah, dengan bagaimana pengetahuan dan informasi yang demikian banyak itu dapat ditransformasikan sehingga menjadi aplikatif dan memiliki kekuatan untuk mengubah realita potensi transmisi yang begitu besar.

Ada hubungan kausalitas yang diharapkan, persis ketika saya menunggu 20 menit untuk mem-flush kloset saya, kita berharap bahwa sekelumit pengetahuan dan informasi itu dapat memberikan pengaruh yang menyebabkan kita perlu berada di rumah saja selama 3 bulan.

Tapi dasar memang harapan, kadang ia datang membawa berita buruk sambil cekikikan.

Saya begitu bersyukur karena setelah mengharap-harap selama 20 menit, kloset saya ketika di-flush mengeluarkan suara aliran air yang begitu kencang, (sumpah itu salah satu suara paling satisfying yang pernah saya dengar hingga hari ini). Saya bisa kembali buang air dengan tenang, mandi dan sikat gigi tanpa takut mencium aroma tidak bersahabat.

Saya tidak terbayang, apabila toilet saya tidak mengeluarkan suara satisfying itu dan tetap mampet. Saya yakin saya akan terus mengumpat, marah, dan pasrah.
Persis seperti kebanyakan dari kita hari ini, bukan?

Sempat trending beberapa hari yang lalu, hashtag #IndonesiaTerserah di jagad linimasa twitter saya dan barangkali kamu-kamu semua. Usut punya usut, hashtag tersebut lahir dari inisiatif tenaga medis yang rasanya sudah capek marah sambil mengumpat di rumah sakit sambil berpanas-panasan dengan pakaian APD nya.

Satu hal yang terakhir mereka bisa lakukan, pasrah. Memiliki perasaan dan sentimen yang sama, banyak warganet yang mengekspresikan kepasrahan yang sama pada tindak tanduk pemerintahan yang tidak konsisten dengan pelarangan mudiknya, atau masyarakat ngeyel yang keukeuh bernostalgia nyalain lilin dan flashlight di penutupan McDonald’s Sarinah.

Maka barangkali ketika pengetahuan sudah tidak memiliki kekuatan untuk dapat mengubah realita, maka ketidaktahuan (atau memilih untuk tidak tahu dan tidak peduli) adalah satu-satunya sumber kebahagiaan.

Tapi benarkah kita bisa benar-benar berdamai dengan kepasrahan itu?

***

Ditulis oleh Dzaki Aribawa
Editor-in-Chief (dzaki@nukilan.co)
Divisualisasi oleh Denissa Almyra Putri
Creative Director (denissa@nukilan.co)
Disunting oleh Aktsa Efendy
Managing Editor (aktsa@mejakita.com)

Copyright © Nukilan 2020.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).