Utter Phony: The Best Part of Riding a Roller Coaster is Sliding Down

Aktsa Efendy
Nukilan Media
Published in
3 min readApr 19, 2020

Sudah lihat judulnya? Bukan apa-apa. Saya juga gak punya apa-apa.

Nothing.

Null.

Zippo.

Gibberish.

Tidak ada yang inspiratif (mungkin), tidak ada yang cerdas, bahkan keputusan-keputusan saya sebelumnya sekalipun. Tidak ada yang serius sama sekali. Tapi, mungkin teman saya, Aktsa, sangat baik hati ngasih kolom disini, saya tentunya bakal berusaha terlihat cerdas dan bisa menulis panjang lebar untuk memberi kalian pengalaman tersendiri. Barangkali nantinya kalian akan bertemu anekdot-anekdot konyol untuk mengisi beban saya. Sepertinya begitu, bukan apa-apa.

Saya diminta menuliskan sesuatu⸺temanya, apa yang saya rasakan seminggu ini. Jujur, saya mau terdengar intelek di tulisan ini bagaimanapun caranya. Mungkin ada beberapa poin yang dibuat, membangun argumen dan kalian mau saya cerita padahal hanya omong kosong. Seminggu ini, saya benar-benar kosong.

Beberapa dari kalian bisa jadi mengira bahwa saya hanya bercanda dan akan memberikan sebuah poin di sekian paragraf berikutnya.

Padahal, it’s just me, buying time.

Tahu tidak? saya sebetulnya benar-benar mencoba mencari tahu dengan isi kepala sendiri kira-kira apa yang bisa bikin saya terlihat cerdas di tulisan ini. Siapa tahu kamu yang cuma ngescroll bakal dapet insight kalau orang ini beneran punya omongan yang bisa dibuktikan, didukung data, cerita, atau apa lah yang menunjukkan penulisnya punya kapabilitas buat nulis di kolom khusus kayak gini.

Oh ya, orang-orang suka dengan cerita. Karena saya bilang di awal bahwa I have nothing, tentunya saya ga punya cerita yang pinter sekarang apalagi inspiratif. Bahkan punya perasaan juga buat diceritakan pun tidak. Saya betul-betul kosong. Saya bukan siapa-siapa dan sepertinya tidak ada juga yang perlu dikasihani dari perasaan kosong itu.

Bukan apa-apa, kan lagipula? Toh saya juga selalu membiarkan hari di karantina menuntun saya sendiri mau sedih atau senang. Entah apa atau siapa yang buat begitu.

Siapa peduli kalau pada akhirnya saya tiba-tiba nangis karena sekadar ingin saja.

See, paragraf tadi itu ceritanya kalo saya mau bikin thread sedih di Twitter, atau bikin puisi klise tentang seberapa kosongnya perasaan ini. Seakan-akan saya punya cerita beneran meskipun sebenarnya saya cuma menggelepar, panik, dan ga punya apa-apa. Beneran.

And dammit, I was offered to write this! So, see it through!

Kemudian kalau kamu masih butuh saya memberikan cerita-cerita dan data faktual, coba lihat secara kuantitatif. Berapa kali saya bisa sok baper dalam seminggu? Mungkin tiga. Berapa kali saya cabut kuliah karena mood saya jelek? Setiap hari? Makes sense.

Dan mungkin kalian juga bertanya-tanya roller coaster in terms of mood itu seperti apa.

Kayaknya seperti ini. Look at those numbers!

Fikiranku, fikiranmu.

Even in a roller coaster, the best part is always when we begin to slide down, isn’t it?

Masih nunggu? Biar saya perjelas sedikit. Bagi saya, emosi itu susah ditebak. Dia terlalu abstrak buat cuma didefinisikan sebagai sedih atau senang. Kalau kalian pernah merasakan kekosongan seperti ini, hebat! Kamu sangat menyanggupi segalanya ya.

Ya, saya tampaknya cuma biar kelihatan⸺apa itu istilahnya⸺building moment. Atau memang iya?

Kamu sudah baca sampai sini? Jauh juga. Sekarang coba pikirkan apa yang kamu bisa ambil dari tulisan saya ini? It’s basically the same. Makanya ga usah dipikirin juga gapapa.

Gee, banyak juga bacotnya. I’m going to stop talking.

Now.

***

Ditulis oleh Denissa Almyra Putri (denissa@nukilan.co)

Disunting oleh Aktsa Efendy (aktsa@mejakita.com)

Copyright © 2020 Nukilan.

--

--

Aktsa Efendy
Nukilan Media

Pseudo educational activist. UWashington Econs ’24. I write when I’m pissed. Challenging the educational status quo with @MejaKita (www.mejakita.com).