Ice Cream Senja
Senja mulai menampakan dirinya dengan sangat percaya diri. Warnanya yang begitu indah membawaku kembali ke kenangan 20 tahun silam. Aku mengunjungi kedua orang tua ku, sekarang mereka sangat kesepian ditinggal oleh anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa, yang dahulu membuat mereka jengkel. Semua rasa rindu aku curahkan saat kami bertemu. Ku duduk melamun mengenang kisah–kisah senang dan sedih di rumah tua ini sambil memandang kedua orang tuaku sampai senja bersembunyi digantikan oleh sunyinya malam hari.
***
“Dek…kadek?”
Ibuku memanggil. Biasa, menyuruhku untuk makan. Ibuku sama halnya dengan ibu–ibu lain yang suka mengomel jika anaknya tidak mau makan dengan teratur. Kebetulan hari ini adalah hari ulang tahunku.
“Iya bu, aku datang.”
“Makan dulu, ini ada makanan kesukaanmu.”
Kami tidak berdua, ada Ayah dan Kakak perempuanku. Kami menikmati makanan dengan sangat nikmat. Suara aduan piring dan sendok saling berbalapan membuat suara yang teratur. Kakak perempuanku memimpin untuk menyanyikan lagu ulang tahun untukku yang diikuti oleh kedua orang tuaku. Aku merasa ingin tetap ada di waktu dan situasi ini, rasa kebersamaan dan kasih sayang yang selalu aku rindukan. Bagaimana tawa keluar begitu saja walau hanya dipicu oleh hal–hal yang sederhana.
Setelah merayakan hari ulang tahunku, waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, kami semua memutuskan untuk beristirahat, mengumpulkan energi untuk hari esok. Malam sunyi telah menemani perayaan hari lahirku tepat sepuluh tahun.
***
Pagi hari yang cerah menyambut keesokan harinya. Alarm berbunyi “kriiing…..kriiiiing!!”
Tanganku meraba–raba meraih jam weker untuk mematikannya. Dengan santainya ku lanjutkan tidurku.
Ibuku menggoyang — goyangnkan badanku sembari menyuruhku bangun.
“Dek….dek…bangun, mentang–mentang hari minggu.”
Samar–samar terdengar suara Ibu, nampak wajahnya yang bebas dari make up. Kucoba sedikit bernegosiasi dengannya.
“Lima menit lagi Bu. Biarkan aku tidur lima menit lagi”
“Tidak. Ayo bangun.”
Dengan keadaan setengah sadar, aku bangun dan menuju keluar kamarku dengan mengusap–usap mataku yang masih sepat. Dari kejauhan terdengar suara mensin jahit. Ya, ibuku setiap hari libur selalu menyempatkan untuk mengajari kakak perempuanku memakai mesin jahit. Sudah hampir satu tahun kakakku belajar menggunakan mesin itu, tapi dia belum cukup mahir untuk menggunakannya. Dengan keadaan setengah sadar aku menuju ke arah suara mesin itu. Aku melihat Kakakku yang sedang mencoba menjahit celanaku yang robek karena kupakai bermain bola kemarin lusa.
“Kak, itu kan celanaku, biarkan aku yang menjahitnya.”
“Tidak, biarkan aku saja, kamu tidak bisa menggunakan mesin ini dek.” sahut Kakakku.
Karena aku ingin mencobanya, aku berbicara dengan ibu, dan merayunya agar aku diberi kesempatan untuk mencoba.
“Ibu….biarkan sekali saja aku mencobanya, sekali ini saja. Juga itu kan celanaku.” kataku memohon.
“Hmm…baiklah, tapi pelan — pelan karena ini berbahaya.”
Dengan penuh gembira aku rebut tempat duduk kakakku, dan kucoba memosisikan tanganku seperti kakakku tadi. Belum sempat Ibuku menuntunku, saking gembiranya aku menginjak tuas yang menjalankan mesin itu. Secara tiba–tiba tanganku tertusuk jarum mesin jahit itu. Jari telunjuku terjahit sekitar 2 sentimeter. Awalnya tak terasa. Ibuku yang melihat kejadian itu berteriak memanggil ayahku dalam keadaan panik
“Ayah! Ayah!” terlihat raut wajah Ibu yang sangat ketakutan.
Kepanikan tiba–tiba datang di rumah kami. Ayahku yang melihat tanganku tertusuk jarum langsung mencoba menarik jarum yang menyatu dengan mesin yang tertancap di jari telunjukku. Dengan sangat cepat ayahku memutar alat yang membuat jarum tercabut dari jariku. Seketika aku menangis sejadi–jadinya. Aku hanya merasakan sakit di ujung jari telunjukku. Aku merasa ketakutan oleh darah yang bercucuran dari jariku, walau tidak banyak. Celana yang seharusnya kuperbaiki, malah kulukis dengan tetesan darah. Kulihat dari balik air mataku, ibu dan kakakku memasang wajah panik. Ayahku menggendongku ke dalam mobil merah persis seperti warna darah yang mengalir di jariku dan membawaku ke rumah sakit.
***
Sesampainya di rumah sakit, dokter hanya membersihkan lukaku dan memberikan obat tetes serta membalut perban. Aku yang masih merasa takut menahan tangisku. Untungnya luka yang disebabkan oleh jarum itu tidak dalam, alhasil aku bisa pulang ke rumah dengan cepat. Kami sekeluarga keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobil untuk pulang kerumah. Tiba–tiba ayahku keluar.
“Ayah keluar dulu sebentar ya…”
Ayah keluar begitu cepat, sebelum kami sekeluarga sempat menanyakan tujuannya. Ayah sudah menutup pintu mobil dan pergi begitu saja.
Selang beberapa menit, dari kejauhan aku melihat Ayah datang sambil membawa kantong plastik berwarna hitam, yang tidak kutahu apa isinya. Ayah membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi dan mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik warna hitam itu. Ternyata sebuah ice cream kesukaanku.
“Ini ice cream untuk mu, jangan menangis lagi. Semoga ini bisa membuat rasa sakit dan ketakutanmu hilang.” katanya.
Tanpa rasa ragu aku langsung mengambil ice cream itu. Saking senangnya aku sampai lupa mengatakan terima kasih kepada ayahku. Seketika aku melupakan kejadian yang telah terjadi pada hari itu. Di sepanjang perjalanan pulang aku sangat bahagia dan sangat menikmati ice cream pemberian ayahku. Rasanya seperti ice cream itu menjadi obat rasa takut ku.
***
Kenangan–kenangan indah itu tak bisa dilupakan, masih sama di ingatanku walau sudah 20 tahun berlalu. Sekarang aku telah beranjak dewasa, membangun sebuah keluarga kecil yang terinspirasi dari kedua orang tuaku tentang bagaimana rasa kasih sayang dijunjung tinggi. Hari ini, caraku menatap orang tuaku masih tetap sama, hanya saja, kini yang kutatap adalah potret mereka berdua di dalam sebuah bingkai foto berukuran sedang. Saat kecil dulu, aku tak sadar bahwa semakin bertambah usiaku, semakin sedikit juga aku dapat menghabiskan waktu bersama mereka.
Ditulis oleh Anakbiskuat