Mempertanyakan Maskulinitas

Numpang Menulis
Numpang Menulis
Published in
2 min readAug 30, 2021

Malam itu saya menonton televisi yang tengah menayangkan Upin Ipin musim 15 episode Raya yang Bermakna. Saya suka menonton kartun ini karena menceritakan berbagai persoalan yang dikemas sederhana. Kartun ini juga menggambarkan berbagai karakter dari beraneka suku, agama dan ras. Meski belakangan ini saya tak mengikuti serial kartun tersebut, malam itu saya begitu hanyut mengikuti cerita yang disajikan. Namun, menjelang akhir episode semua berubah ketika negara api menyerang. Eh, eh kok malah nyambung ke Avatar ya.

Sekejap saja, empati saya berubah menjadi kernyitan di kening, ketika saya menyaksikan perubahan pada Abang Sally. Iya, Abang Sally yang diberi peran sebagai laki-laki dengan profesi penjahit itu karakternya berubah. Abang Sally memang bukan berubah jadi Ksatria Baja Hitam atau Power Ranger Merah. Namun, dalam episode itu, dia digambarkan berubah dari laki-laki berjiwa feminin menjadi lebih maskulin.

Episode itu juga menggambarkan bahwa orang-orang senang melihat perubahan Abang Sally bahkan memuji dan memintanya mempertahankan perubahan itu. Usai menonton di televisi, saya iseng membuka Youtube di ponsel saya untuk melihat reaksi warganet terhadap episode ini. Mata saya menatap komentar yang dilontarkan warganet, sebuah helaan napas pun saya keluarkan. Reaksi warganet ternyata sama seperti reaksi Opah, Tok Dalang dan lainnya. Mereka menyambut sukacita perubahan karakter Abang Sally. Saya resah, pikiran saya dihinggapi pertanyaan apakah maskulinitas hanya berupa fisik yang kekar, tegap dan suara yang gagah?

Ah, saya jadi teringat peristiwa lain yang belakangan kerap saya dengar di rumah. Saya sering mendengar lebih tepatnya menguping betapa berbedanya reaksi tetangga saya jika anak-anak mereka jatuh. Jika anak laki-laki yang jatuh, tetangga-tetangga saya akan kompak berkata, “udah dong, selesai nangisnya. Anak cowok itu tidak boleh menangis”. Terkadang, ada yang membentak sambil meminta anak yang jatuh agar tidak menjadi anak yang cengeng. Lalu, jika si anak perempuan yang jatuh, maka si ibu akan segera menggendongnya dan memeluknya dengan sayang.

Setiap kali saya mendengar hal itu, saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah hanya anak perempuan yang punya hak menangis sedangkan anak laki-laki tidak. Padahal menangis itu hanya cara anak untuk meluapkan perasaan sedih, kecewa, sakit dan perasaan lain yang tak mampu diutarakan lewat kata. Kalau memang menangis adalah kata yang netral, kenapa kini menjadi milik gender tertentu?

Saya kerap berpikir jika orang dewasa sudah mengajarkan anak laki-laki tidak boleh menangis, harus gagah dan berbicara tegas. Tidak aneh jika kedepannya kita akan melihat banyak perundungan pada laki-laki yang berjiwa feminin. Tanpa menggeneralisir, tak menutup kemungkinan akan ada banyak orang dewasa yang mati-matian mengubah anaknya yang memiliki kecenderungan feminin agar menjadi maskulin versi masyarakat umum.

Sejak beberapa tahun lalu, saya berhenti mengikuti standar tersebut. Saya tak lagi menganggap laki-laki bertubuh kekar dan bersuara gagah sebagai keharusan penanda maskulinitas. Saya selalu berpikir, Tuhan dapat menganugerahi seorang laki-laki tubuh yang ayu dan suara yang lemah lembut. Tidak mungkin kita melawan anugerah tersebut. Ketika laki-laki dapat memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan baik, tidak berkata atau berbuat kasar. Itu adalah bentuk maskulin versi saya. Lalu, jika kita menganggap biasa perempuan yang tomboy, mengapa kita dapat dapat menerima laki-laki yang feminin?

Ditulis oleh Riri

--

--