Orang Dewasa Juga Menangis

Numpang Menulis
Numpang Menulis
Published in
5 min readJun 5, 2021

Aku. Usia 10 tahun.

Aku melihat orang-orang dewasa di sekelilingku. Kulihat mereka semua sungguh hebat. Mereka berbicara tentang hal-hal besar, menggunakan bahasa dan kata-kata yang tak Ku mengerti. Kulihat mereka sungguh berdaya. Mereka punya peran, punya andil, punya kontribusi dalam masyarakat. Ada yang mengajar di sekolah, ada yang memberantas kejahatan, ada yang menjual barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari, ada yang ahli olahraga, ada yang jadi Menteri, bahkan ada pula yang jadi Presiden. Orang dewasa terlihat seperti memiliki tempat masing-masing seolah segalanya telah dirancang sebelumnya entah oleh siapa. Sementara aku, berusia 10 tahun, dan duduk di kelas empat sekolah dasar yang menghabiskan waktuku dengan menonton Captain Tsubasa atau Detective Conan.

Aku minta uang ke orang dewasa untuk membeli jajan, membeli buku, alat sekolah, dan juga hal-hal yang tak penting lainnya. Luar biasa! Berapapun uang yang kuminta, tak pernah habis mereka punya. Uang selalu mengalir dari mereka, mudah saja bagiku untuk memintanya. Orang dewasa sangat keren!

Saat aku jatuh karena tertabrak sepeda aku menangis keras karena lututku terluka. Sakit dan perih sekali rasanya. Pernah suatu kali aku dan kedua orang tuaku kecelakaan karena terserempet bus waktu kami bertiga berboncengan naik motor. Aku menangis dan terkejut luar biasa. Namun orang tuaku tidak begitu. Mereka justru menenangkanku, memberiku air, meniup bagian lututku yang jeansnya sudah robek karena aspal, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bagiku, orang tuaku, dan orang dewasa pada umumnya sangat kuat. Mereka seperti Superman.

Saat nenekku meninggal aku menangis sesunggukan seolah esok tak akan datang lagi. Namun, orang dewasa di sekitarku terlihat biasa saja. Mereka tetap mengobrol seperti biasa. Memasak seperti biasa. Menyapu seperti biasa. Hidup seperti biasa, seakan tak terjadi hal yang luar biasa. Aku bingung, tapi aku salut. Betapa orang dewasa mampu menanggung kesedihan luar biasa, dan terlihat tetap tegar bahkan dalam kondisi paling mengerikan.

Aku melihat orang dewasa dengan kagum. Mereka panutan bagiku. Kelak ketika dewasa aku juga ingin seperti mereka. Menjadi kuat, hebat, tabah, dan berguna bagi orang lain.

***

Aku. Usia 26 tahun.

Saat periode mengerjakan skripsi aku merasa sering lelah. Lulus dari perguruan tinggi bukan perkara mudah. Seringnya aku harus bertarung dengan amarah. Siang dan malam kulalui dengan hela nafas berat, lalu berlari lagi, menangis lagi, berlari lagi. Begitu terus hingga aku menginjak etape terakhir, dan akhirnya lulus. Kukira dulu menjadi sarjana itu mudah, nyatanya jumlah sarjana tidak mencerminkan mudah tidaknya kelulusan.

Kesadaran itu menyiapkanku menghadapi dunia kerja yang ternyata tak seindah bayanganku. Bayang-bayang keamanan finansial, kenyamanan hidup, beli rumah saat umur sekian, menikah ketika umur sekian, karir yang secure dan sustainable nyatanya jadi sesuatu yang amat sangat perlu diperjuangkan. Setiap detak dan detiknya berlalu tanpa aku tidak merasa khawatir akan berbagai hal. Aku berumur 26 tahun, seorang sarjana, bekerja di level entry, setiap malam menghabiskan waktu menonton drama korea, membaca buku, menulis, dan kuliah online. Suatu rutinitas yang tak lebih baik dari saat aku berusia 10 tahun.

Aku belum mampu membeli rumah karena tabunganku belum cukup. Uangku habis berputar untuk membayar ini itu, baik kebutuhan maupun keinginan. Aku belum berani menikah karena aku takut dengan komitmen dan aku belum sanggup bertanggung jawab seumur hidupku. Saat melihat kawanku memiliki buah hati, aku bahagia untuk mereka. Saat orang lain melihat bayi yang lucu dengan pandangan gemas, aku melihatnya sebagai tanggung jawab besar tanpa batas. Suatu hal yang sangat kutakuti aku tak mampu menjalaninya dengan baik dan benar.

Orang lain melihatku sebagai sosok tangguh, kuat, disipilin, dan berdedikasi. Tapi jauh dalam diriku aku tau semua anggapan itu adalah impresi yang ingin kuciptakan didepan orang lain karena aku tak ingin dianggap lemah atau kekanakan. Ini adalah mekanismeku mempertahankan diri. Dalam diriku, aku memiliki banyak ketakutan, kelemahan, dan kekhawatiran.

Aku, seorang manusia yang berusia lebih dari seperempat abad, tetap menangis saat disuntik. Aku takut pergi ke rumah sakit, ke dokter gigi, atau saat spesimen darahku diambil. Aku tidak berani menonton film horor atau thriller sendirian. Hatiku hancur saat orang-orang tercinta di sekitarku pergi meninggalkanku. Aku belum berubah. Aku tetap tidak bisa terbiasa. Aku masih sering takut dan menangis, hanya saja kini aku lebih mahir menguasai diri. Aku menangis dalam sunyi, dalam sepi, saat sendiri. Kulihat orang dewasa di sekitarku melakukan hal yang sama. Kami semua menangis. Kami bukan Superman. Kami hanya manusia biasa yang seringnya mencoba untuk terlihat tenang, tegar, tabah untuk menenangkan hati orang lain.

Aku belajar bahwa untuk mencapai ke suatu tingkatan posisi tertentu dibutuhkan kerja keras dan keberuntungan. Kadangkala ada juga politik di dalamnya. Suatu cerita tersembunyi yang tak lagi asing dan sudah jadi rahasia umum. Orang dewasa berada di tempat berbeda-beda bukan karena kami telah didesain atau dirancang sedemikian rupa. Ada banyak faktor yang berperan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Aku berumur 10 tahun terlalu naif berkata bahwa suatu saat kelak aku ingin jadi menteri.

Di titik ini, aku sering merasa kesepian, sekaligus merindukan orang-orang yang jauh atau telah tiada. Di usia ini sering aku ingin kembali ke usia 10 tahun yang tak perlu memikirkan apapun selain ulangan harian. Suatu kehidupan dengan ritme yang sangat sederhana.

***

Ada yang bilang bahwa hidup itu suatu kebetulan, namun aku tak sepakat. Hidup adalah reaksi dari suatu aksi yang terjadi di masa lampau. Aku ada di titik ini karena suatu hal yang entah sadar atau tidak kulakukan di masa lalu. Ketika aku kecil tujuan hidupku adalah menjadi dewasa. Anak kecil ini tak tahu bahwa hidup sangat sederhana dan indah kemarin. Masa saat hari ini masih besok.

Hari ini hidup sebagai dewasa adalah tentang melepaskan hal-hal. Tentang menunggu dalam batas waktu. Tentang kehilangan seseorang, banyak orang, asa, cita, dan mungkin juga cinta. Tentang memeluk kehilangan. Tentang berbuat dan menjadi baik meski kadang tak laku. Tetap tersenyum meski pahit. Tetap percaya meski sulit. Tetap mencari makna dengan sekuat tenaga. Tentang terlihat baik-baik saja meski faktanya tak begitu.

Dulu kupikir menjadi dewasa adalah segalanya. Rupanya yang kulihat saat itu hanya topeng tentang tokoh yang diperankan orang dewasa. Orang dewasa sungguh ahli memanipulasi kehidupan. Menjadi dewasa tak lantas menjadikanku tabah, tegar, dan kuat. Alih-alih aku menciptakan topeng versiku sendiri dan bersembunyi dibaliknya. Namun ada masa dimana orang dewasa melepaskan sejenak topeng tersebut dan menyelam kedalam dirinya. Menemui anak kecil dalam hatinya untuk mencari penghiburan dalam dunianya yang kini berwarna abu-abu.

Orang dewasa bukan Superman. Ia hanyalah versi lebih tua dari anak-anak. Ia hanya manusia biasa. Ia juga melakukan kesalahan. Ia tetap belajar hal baru setiap harinya. Ini juga hidupnya yang pertama. Dan kadangkala ia juga menangis. Dalam sendiri. Dalam senyum.

Ditulis oleh Melani

--

--