Ungrateful Mind of Mine

Numpang Menulis
Numpang Menulis
Published in
2 min readDec 6, 2021

Beauty standards, gender equality, freedom of speech, likes, comments, subscriber and even more. Telah melapisi kepentingan mendasar manusia untuk berpikir dan bergandengan. Saling curiga, tuduh menuduh, jatuh menjatuhkan, tapi seringkali lupa bahwa ada diri di depan kaca yang perlu diinterogasi.

do you wanna be normal? Like what?

do you wanna be original? Like what?

do you think you are unique? Like what?

Kemarin dosenku berkata bahwa manusia cenderung untuk berada “di tengah”. Why? Apakah berada disana membuat kita menjadi bijak? Apakah disana membuat kita menjadi transparan? Atau kita menikmati diri tanpa identitas? Maka kita bisa lebih mudah lari ke kanan atau kiri ketika situasi tidak menguntungkan disalah satu sisi?

Dicekam oleh label baik dan buruk, sedangkan berada di sisi manapun, akan tetap memiliki resiko yang serupa.

Mudah untuk berpikir setelah melihat ramainya dunia, mencari alasan bukanlah hal yang sulit. Menyalahkan keadaan dan membenci alasan-alasan yang membuat kita tidak nyaman. Mendorong orang lain untuk berpikiran sama, menghempaskan perbedaan dan membangun kastil kepercayaan diri atas dasar validasi berlabel kebersamaan.

Rasa ketidakterimaan yang terus membara, terus bergejolak, terus meronta, memaksa diri untuk terjaga tiap malamnya. Tidak hanya menyiksa raga tapi mampu membuat diri merasa gila. Seperti dunia ini tak ada habisnya. Seperti dunia ini tak ada ujungnya. Padahal sekilas saja melihat pemanasan global, sudah jelas bagaimana kondisinya. Bukan, bukan. Bukan manusia tak boleh berusaha. Bukan manusia tak boleh terjaga demi kebaikan bersama. Tapi, sungguhkah bersama? Lagi-lagi, curiga. Tapi tak apa, curiga pada dia yang ada di depan cermin demi kebaikannya. Membantunya menemukan siapa dirinya dan apa yang diinginkannya.

Baru terasa setelah tiada, begitulah yang sering terdengar oleh telinga. Atau mungkin sering terasa? Saat ada, khawatir akan menghilang. Saat tiada, sedih sebab ramalannya menjadi nyata. Mengapa tidak kita nikmati dan rawat sebaik-baiknya saat masih nampak dan terasa? Jika hari ini wangi parfum masih tercium, bukankah senang hati kita seharusnya? Bila perasa masih bisa mengecap, bukankah nikmat yang kita santap? Mengapa harus menunggu tiada untuk kita bisa mengakui keberadaannya? Sesibuk itu kah kita untuk menyadari bahwa kita sesungguhnya kaya?

Tak perlu melihat ke kaca sebab tiada filter disana. Kekhawatiran yang masuk ke dalam koper terdalam. Ketakutan. Menjadi lemah nampaknya lebih mudah ketimbang harus kuat menempa diri. Masuk ke ruang perbaikan begitu mencekam, jadi lebih baik untuk duduk diam dan ikut saja mengacungkan jari, menyalahkan yang sedang ramai dibicarakan. Seperti bandeng sekarat yang terombang-ambing oleh air yang tertiup angin, kesana kemari, YOLO.

Entah dimana batasnya, entah dimana pemberhentiannya. Sesaat sepertinya berhenti disini, merenungi bahwa diri dalam bayangan kaca, masih boleh menempel dengan nyawanya.

Ditulis oleh Dyuuuu

--

--