Bermain Jelangkung di Pondok Pesantren*

Nurcholis Art
nurcholisart
Published in
5 min readApr 16, 2016

**Warning: Tulisan ini rada-rada saru

Pesantren tak pelak merupakan gudangnya kisah menakutkan. Coba anda sebutkan jenis-jenis setan yang anda ketahui. Saya haqqul yakiin, mereka dapat anda temukan di dalam pesantren. Pocong, suster ngesot, kuntilanak, genderuwo, tuyul, semuanya ada. Binekanya jenis setan tersebut, membuat santri hobi sekali melakukan permainan yang tidak-tidak. Salah satu contohnya bermain Jelangkung.

Waktu itu saya baru naik kelas sepuluh (atau kelas satu SMA), dan saat itu saya menempati asrama yang baru dibangun. Semasa pembangunannya, saya dan mungkin hampir seluruh santri di pondok selalu diceritakan oleh abang senior bahwa asrama baru pasti meminta tumbal. Tidak aneh, saat kami menempati asrama tersebut tak sedikit santri yang kesurupan. Dari yang benar-benar kesurupan sampai yang pura-pura. Ya, you know lah anak pesantren, kami punya 1001 cara untuk menghindar dari kewajiban seperti solat jama’ah di masjid, pengajian rutin, atau mungkin menghindar dari hukuman karena ketahuan merokok. Kesurupan adalah makanan bulanan kami saat itu.

Suatu ketika, tiba-tiba abang senior mengajak kami bermain jelangkung (atau mungkin lebih tepatnya memaksa). Kami yang dekat dengan abang-abang senior wajib mengikuti permainan haram jadah tersebut. Selama seminggu kami digilir untuk bermain Jelangkung. Setiap kali permainan, paling maksimal hanya boleh ada 2–4 orang santri kelas kelas sepuluh.

Hingga pada saatnya, tiba giliran saya mencobanya.

Malam itu saya sudah tidur, kemudian dengan tubuh setengah sadar, saya lihat seseorang menepuk-nepuk kaki saya. “Lis, bangun. Udah waktunya,” katanya. Saya tak begitu mengenalnya. Tapi yang saya tahu, dia adalah santri kelas dua belas, dua tingkat di atas saya. Saya lihat jam weker yang saya taruh di bawah bantal. Waktu menunjukan pukul 02.00. Tak lama kemudian saya sadar bahwa sekarang adalah giliran saya bermain Jelangkung. “Langsung ke lantai empat ya,” ia melanjutkan, “bawa sarung dan peci.”

Selepas mencuci muka, dan pakai sarung serta peci, saya bergegas naik ke lantai empat (kamar saya ada di lantai 3 waktu itu). Sampai di lantai empat, suasana sunyi dan gelap. Hanya ada satu kamar yang lampunya menyala sayup. Itu kamar lima. Kamar kosong yang biasanya saya gunakan untuk merokok bersama beberapa teman. Kamar itu kotor dan sumpek. Sampai di depan kamar, saya ketuk pintu kamar tersebut beberapa kali hingga akhirnya abang senior yang tadi membangunkan saya membukanya. “Ayo masuk, udah pada kumpul semua. Tinggal ente doang,” katanya.

Masuk ke kamar, saya lihat sudah ada empat orang kawan saya, beserta tiga orang senior. Mereka duduk melingkar. Ada satu buah lilin yang belum menyala di tengah lingkaran itu. Saya ikut bergabung dengan mereka. Hawa menakutkan mulai saya rasakan. Bulu kuduk saya berdiri perlahan-lahan. Saya merinding. Karenanya, saya sengaja duduk menyempil di tengah-tengah mereka. Saat saya mencoba nyempil di antara mereka, sempat-sempatnya mereka tertawa cekikikan karena ulah saya. Akhirnya kami kena omel abang senior. “Eh, kalian ga usah bercanda lah pas kaya gini,” kata salah satu senior yang sudah lengkap memakai baju koko, peci, dan sarung. “Ini bukan bercandaan.”

Abang senior kemudian membuka permainan ini dengan pertanyaan, “udah suci semua? Ada yang belum wudhu? Atau ada yang masih junub?”

Hampir seluruh peserta permainan masih belum dalam keadaan suci. Rata-rata baru bangun tidur, dan langsung menuju TKP. Dan ada satu orang lagi yang secara konyol mengaku masih dalam keadaan junub. Abang senior lalu bertanya mengapa dia junub. Dan jawabannya lebih konyol lagi. Dia menjawab “aku abis coli.” Mendengar jawabannya saya menggumam dalam hati, “Tai! Bisa-bisanya.” Memang, bagi kebanyakan anak pesantren ini merupakan hal yang tidak terlalu aneh. Coli dan segala tetek bengeknya adalah guyonan kami sehari-hari. Akhirnya kami wudhu, dan yang berhadas besar terpaksa harus mandi junub.

Selepas semuanya selesai bersuci, lampu dimatikan dan lilin dinyalakan. Kami pun memulai permainan tersebut. Satu orang abang senior akan memimpin permainan ini. Nantinya saat permainan, dia akan kerasukan setan. Dia berkata bahwa permainan jelangkung kali ini akan memanggil setan tuyul.

“Oke sekarang kalian jongkok dan tutupi seluruh tubuh kalian dengan sarung masing-masing,” kata abang senior pada kami.

Tanpa basa-basi kami pun berjongkok dan langsung menyarungkan tubuh kami. Saya tak melihat apapun. Hanya sebercik sinar dari lilin yang dinyalakan. Selanjutnya kami disuruh membaca empat buah surat Alquran. Alfatihah, Alikhlas, Alfalaq, dan Annaas secara berturut-turut.

Kemudian abang senior yang memimpin permainan mengucapkan jampi-jampi yang saya agak lupa kata-katanya, tapi kurang lebih seperti ini, “hong ilaheng heh jagad alusan roh gentayangan jelangkung jelangsat siro, ning kene ono, siro angslupo, yen siro teko, wenehono tondo.

Tak cepakke dolananmu. Tak sogaki pekaremanmu. Mreneyo dadi kancaku. Ojo nesu. Ojo mlayu yen ora podo karo kekarepanmu lan pekarepanmu. Iki aku sing arep dadi kancamu.

Selepas pembacaan jampi-jampi tersebut, suasana mendadak sepi, angin yang entah dari mana datangnya berhembus secara perlahan mematikan lilin yang sebelumnya menyala. Lalu kemudian kami mendengar suara anak kecil cekikikan di depan kami dan kemudian mulai melantunkan sebuah lagu. Kurang lebih seperti ini liriknya.

Sluku-sluku bathok,

bathok’e ela-elo

Si romo menyang solo,

oleh-oleh’e payung muntho

Mak jenthit lo-lo lobah,

wong mati ora obah

Yen obah medheni bocah …..

Kelar bernanyi, suara anak kecil itu tiba-tiba berubah menjadi serak dan besar seperti orang dewasa. Ia menggeram.

“Grrrr Opo Iki!!!

“Najis!” Umpatnya.

Aku sengit! Ijeh ono najis!!

Kami kebingungan. Apa sebenarnya yang terjadi. Keringat dingin keluar dari tubuh saya. Lalu saya mendengar seorang abang senior bertanya ke tuyul itu, “Dewe ora niat elek. Kok kono ngomong najis?

Iki koe-koe iseh ono sing najis!!!

Mendengar jawaban setan tersebut, abang senior bertanya pada kami sambil membentak, “woi siapa yang belom suci?!” Katanya. “Ngaku!! kalo engga bisa bahaya!!”

Setelah beberapa kali bertanya, tak ada juga yang menjawab. Kemudian abang senior bertanya lagi, “Pakaian kalian semua suci ga?!!”. Kami menjawab, “ga tau bang.”

“Ah kalian tuh ya, udah dibilang supaya suci! Tapi kenapa malah jawab ga tau!” Balasnya memarahi kami. Lalu ia melanjutkan, “yaudah, copot semua pakaian kalian! Cepet!” mendengar perintah tersebut, kami dengan sigap melepas seluruh pakaian kami tanpa keluar dari dalam sarung.

“Udah semua?!” tanya abang senior.

“Udah bang, ” kami menjawab serempak.

“Siniin pakaiannya!”

Abang senior mengambil pakaian kami satu per satu. Katanya, untuk dihindarkan dari setan Tuyul yang sedang mengamuk. Kemudian abang senior bertanya lagi ke tuyul, “sampun mbah. Suci?”

Tak ada jawaban, setan haram jadah itu hanya menggeram, “Grrr…” Tapi perlahan suaranya berubah menjadi suara anak kecil kembali. Kemudian dia tertawa cekikikan lagi, dan bernanyi lagi.

Senior kami lalu bertanya pada kami, “Oke, kalian mau liat tuyulnya?!” masih tetap setengah membentak. Kami menjawab tak pasti, “ma… mau bang.” Selanjutnya kami disuruh berdiri dengan tetap tertutup sarung.

“Oke sekarang sarung kalian biar kita pegang!” kata abang senior. “Tangan kalian jangan pegang apapun! Nanti dalam hitungan ketiga sarung kalian kita yang bukain! Baru kalian bisa liat tuyulnya.”

“Satu… Dua… Tiga!” Sarung yang menutupi kami akhirnya ditarik oleh abang-abang senior. Lalu lampu dinyalakan. Kami yang ditutupi sarung tadi, Sekarang dalam keadaan telanjang bulat tanpa ditutupi sehelai benang pun. Kami kebingungan. Bukan saja karena tak menemukan tuyul haram jadah tadi. Tapi juga karena ruangan telah penuh terisi belasan abang-abang senior. Kemudian seorang dari mereka berkata, “mana? Ketemu ga tuyulnya?” katanya. “Itu kalian ga liat tuyul empat orang telanjang?”

Kemudian mereka semua serentak tertawa terbahak-bahak, “bruakakakak.”

Bangsat! Kami ditipu. Tuyulnya ga ada. Kemudian kami secepat mungkin mencari pakaian kami, tapi tak juga menemukannya. “Ah anjir,” gumam saya dalam hati. Lalu kami berlari meninggalkan ruangan tersebut menuju kamar kami masing-masing untuk memakai baju. Sambil keluar, saya berkata, “taiiiik!” Mereka hanya membalasnya dengan tertawa.

*Pengalaman bermain jelangkung di atas tidak sepenuhnya nyata. Ada beberapa bagian yang fiksi. Seperti Lirik lagu yang dinyanyikan si Tuyul kamfret dan jampi-jampi dukun abalan.

--

--