Bonus Demografi Tanpa Kehadiran Petani

Nurcholis Art
nurcholisart
Published in
4 min readMay 3, 2017

Oleh: Nurcholis ART

Sumber Gambar: Huffpost

Pada sebuah sambutannya akhir Januari lalu, di pembukaan acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2017, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pada 2020 hingga 2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi.

Bonus demografi sendiri merupakan situasi di mana jumlah usia angkatan kerja dengan usia 15–64 tahun mencapai 70 persen. Sedangkan 30 persen penduduknya adalah usia tidak produktif, yaitu usia 14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun.

Sebenarnya, bonus demografi tersebut sudah terjadi sejak hari ini seperti yang disampaikan oleh peneliti dari Merapi Cultural Institute, Gendhotwukir. Ia menjelaskan bahwa bonus demografi akan berlangsung sampai tahun 2030 sebagai titik kulminasinya.

Bonus demografi itu terjadi melalui proses dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun yang makin tinggi jumlahnya. Situasi tersebut akan membawa dampak sosial-ekonomi yang besar bagi Indonesia. Seperti angka ketergantungan penduduk misalnya, di mana sekitar 180 juta penduduk usia produktif akan menanggung 60 juta penduduk nonproduktif.

Tapi kata Gendhotwukir, “Pemerintah jangan sampai terlena dan menyepelekan bonus demografi ini. Hanya dalam kurun waktu 3–13 tahun ke depan, kita akan memiliki banyak sekali Sumber Daya Manusia (SDM) di usia produktifnya. Ini bukan waktu yang lama mengingat bonus ini tidak serta merta bak durian runtuh.”

Ia melanjutkan bahwa di satu sisi bonus demografi memang bisa menjadi berkah untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tapi, di sisi lain bisa menjadi petaka atau bencana bila lapangan pekerjaan dan sektor wiraswasta tak mampu menampung 70 persen usia produktif tersebut. Oleh karena itu kata Gendhot, penurunan angka pengangguran merupakan tantangan yang mesti dihadapi untuk menyongsong bonus demografi.

Hal lain yang juga menjadi tantangan dalam menyongsong bonus demografi juga adalah soal regenerasi petani di Indonesia, terutama petani tanaman pangan. Hal ini menjadi penting mengingat ketersediaan pangan secara mandiri sangat dibutuhkan oleh Indonesia.

Dalam Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013, BPS menunjukan bahwa jumlah petani dengan kelompok usia 25–34 berjumlah 3.129.644 orang. Sedangkan jumlah petani dengan kelompok usia 45–54 berjumlah 7.325.544 orang. Bahkan, jumlah petani kelompok usia 25–34 masih kalah dengan usia petani kelompok usia 55–64 yang berjumlah 5.229.903 orang. Dan jumlah petani kelompok usia ≥65 dengan jumlah 3.332.038 orang.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Haning Romdiati mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman krisis petani akibat regenerasi yang berjalan stagnan.

Haning melanjutkan bahwa para pemuda mengalami perubahan persepsi seiring arus modernisasi sehingga menjadi petani tidak lagi menjadi pilihan mereka. Padahal Indonesia membutuhkan petani-petani yang produktif untuk memaksimalkan produksi pangan, terutama karena Indonesia adalah negara agraris.

Stagnasi regenerasi petani ini juga disampaikan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Di dalam penelitiannya, Krisis Regenerasi Petani, KRKP menyampaikan bahwa terjadi penurunan jumlah petani yang begitu pesat pada rumah tangga petani yang menguasai lahan kurang dari satu hektare.

“Jika pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 9,3 juta rumah tangga. Maka pada tahun 2013 berkurang menjadi 4,3 juta.” Kelompok ini, menurut KRKP, diduga kuat memberikan kontribusi terbesar pada berkurangnya jumlah rumah tangga petani. Faktor kecilnya penguasaan lahan tersebut juga berefek pada rendahnya pendapatan mereka yang linear dengan minimnya tingkat kesejahteraan.

Jika kita menilik pada data statistik Indonesia terkait kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS, jumlah masyarakat miskin lebih banyak yang berasal dari pedesaan. Padahal, di pedesaan lah hampir seluruh sektor pertanian berada. Kemiskinan ini salah satunya adalah akibat dari ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi di sektor pertanian.

Ketika rumah tangga petani dengan penguasaan kurang dari satu hektare tersebut tidak mendapatkan hasil yang baik atau tidak mendapatkan kepastian dari usaha tani yang dijalankan, maka kelompok ini umumnya beralih profesi dan melepaskan aset lahannya. Hal ini semakin sejalan dengan maraknya pembangunan infrastruktur terutama di Jawa yang sebagian besar di area pertanian.

Selain itu, melihat minimnya tingkat kesejahteraan petani yang berefek pada stagnasi regenerasi petani, juga dapat kita lihat dari tren Nilai Tukar Petani yang ada di Indonesia. Katadata, mengutip data statistik BPS menunjukan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukan tren penurunan dalam beberapa bulan terakhir.

NTP sendiri merupakan rasion antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani, salah satu indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian.

Lalu, apa upaya yang dapat dilakukan atas stagnasi tersebut? Tentunya dengan peningkatan kesejahteraan petani. Bagaimana caranya?

Mencoba menjawab hal itu, KRKP dalam penelitiannya tersebut mengungkapkan bahwa harus ada peningkatan akses dan kepemilikan lahan keluarga petani, peningkatan sarana dan prasarana termasuk sarana transportasi, serta kepastian penghasilan dengan kebijakan harga yang baik.

Dengan demikian pelaksanaan reforma agraria pelu segera dilakukan. Selain itu, pendekatan subsidi output berupa harga jual juga perlu dipertimbangkan untuk menjamin peningkatan minat orang tua menjadikan anaknya sebagai petani. Dan pada sisi lain, KRKP juga mengatakan bahwa perlu adanya kebijakan khusus yang menyasar generasi muda terkait upaya peningkatan pengetahuan tentang berbagai hal di bidang pertanian.[]

--

--