Makin Jauh dari Ibu Kota, Makin Miskin

Nurcholis Art
nurcholisart
Published in
3 min readMay 4, 2017
Sumber: Tribunnews

Kemiskinan menjadi permasalahan yang kompleks dalam suatu negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Development Programme mencatumkan poin pertama dari tujuan Millenium Development Goals (MDGs) yang ingin dicapai adalah memberantas kelaparan dan kemiskinan.

Tingkat kemiskinan sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, seperti pendidikan, tingkat pendapatan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender, dan kondisi lingkungan.

Di Indonesia, menurut data statistik yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan dilansir oleh Katadata, jumlah penduduk miskin secara nasional pada akhir 2016 sebesar 27,8 juta orang atau 10,7 persen. Jumlah ini menurun dari data Maret 2016 yang berjumlah 28,5 juta orang atau 11,12 persen.

Angka kemiskinan pada akhir 2016 tersebut merupakan presentase penduduk miskin terendah yang pernah diraih Indonesia sejak 1970. Statistik Indonesia pada 1970 menunjukan bahwa 60 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Saat itu, jumlah penduduk miskin mencapai 70 juta orang.

Jumlah masyarakat miskin di Indonesia sebenarnya pernah ditekan sampai angka 25,9 juta orang pada 1993. Namun, presentasenya 13,7 persen, lebih besar dari presentase akhir 2016. Bertambahnya jumlah kemiskinan di Indonesia meningkat secara kontinu pada 1996 dan puncaknya ada pada tahun 1998. Kemudian, jumlah ini secara perlahan turun secara kontinu sejak 2006.

Dijelaskan oleh Katadata, bahwa faktor yang menjadi penopang turunnya penduduk miskin pada akhir 2016 disebabkan oleh inflasi umum yang relatif rendah, hanya 1,34 persen. Harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, cabai, dan telur ayam rata-rata mengalami penurunan secara nasional. Beras sendiri merupakan salah satu faktor terbesar penyumbang kemiskinan masyarakat di Indonesia.

Namun, meski terjadi jumlah penurunan presentase kemiskinan, kesenjangan kesejahteraan di antara Jakarta dan provinsi-provinsi terdepan di Indonesia tetap tinggi. Hal ini membuat presentase kemiskinan di beberapa provinsi terdepan cenderung besar. Misalnya seperti di Papua.

Meskipun terjadi penurun tingkat kemiskinan dari Maret 2016, Papua masih menjadi provinsi dengan presentase kemiskinan terbesar di Indonesia pada September 2016. Dengan presentase kemiskinan sebesar 28,4 persen. Jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut mencapai 914,9 ribu jiwa.

Jumlah penduduk miskin di Papua didominasi oleh kemiskinan di tingkat pedesaan sebesar 96,09 persen atau sebesar 879,1 jiwa. Adapun Papua Barat menempati urutan kedua presentase kemiskinan tertinggi di Indonesia sebesar 24,88 persen atau 223,6 ribu jiwa.

Provinsi-provinsi lain yang juga memiliki presentase penduduk termiskin terbesar di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (22,01 persen), Maluku (19,26 persen), Gorontalo (17,63 persen), Bengkulu (17,03 persen), Aceh (16,43 persen), Nusa Tenggara Barat (16,02 persen), Sulawesi Tengah (14,09 persen), dan Lampung (13,86 persen). Adapun provinsi dengan presentase kemiskinan terkecil ada di Jakarta, sebesar 3,75 persen atau 385,84 jiwa.

Data soal kemiskinan tersebut menjadi bukti bahwa kesenjangan merupakan persoalan laten di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena tingginya biaya hidup dan terbatasnya pendapatan penduduk di Papua. Belum meratanya pembangunan membuat jumlah penduduk miskin masih tinggi.

Dalam opininya di Koran Jakarta, Edy Purwo Saputro, Dosen Universitas Muhammadiyah Solo mengungkapkan bahwa ketimpangan yang terjadi antar wilayah di Indonesia ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana prasarana ekonomi sosial, terutama perdesaan, daerah terpencil, perbatasan serta daerah tertinggal. Ketimpangan antarkawasan perkotaan-perdesaan juga ditunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan kawasan perdesaan tertinggal dari perkotaan.

Dia melanjutkan bahwa sasus kemiskinan semakin pelik jika dikaitkan dengan target penurunan 10,5 persen untuk tahun ini dan 10 persen tahun depan. Di sisi lain, alokasi APBN cenderung meningkat dari 42 triliun tahun 2006 menjadi 214 triliun tahun lalu. Problem ini tidak hanya menjadi tantangan kepala daerah baru hasil pilkada serentak, tapi juga pemerintah pusat agar tujuan pembangunan dan pemertaan hasilnya dapat tercapai.

--

--