Ade Juwita: Representasi Politik dalam Canda Tawa

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
11 min readJun 6, 2024
Ilustrasi Ade Juwita karya Karola R. Hening.

“Kalau ada cowok yang suka sama gue, berarti dia lihat: ‘Oh, muka setan, (tapi) servis ketan.’”

Awal dekade 1990-an menjadi penanda bagi dimulainya babak baru perkembangan dunia hiburan televisi. Saat itu, pemerintah akhirnya memberikan izin bagi televisi swasta untuk bisa hadir. RCTI mengudara untuk pertama kalinya di Jakarta pada 1988 dan tayang secara nasional pada 1993. Berbagai acara televisi dan sinetron (sinema elektronik) pun semakin marak bermunculan. Salah satu sinetron yang turut tampil di tahun-tahun pertama penayangan nasional RCTI tersebut dan sukses menghibur masyarakat, adalah Si Manis Jembatan Ancol, sebuah seri adaptasi dari film dengan judul yang sama tentang sekawanan hantu yang seringkali hadir untuk menolong hantu-hantu perempuan lain yang tewas mengenaskan dan menuntut pembalasan. Tokoh utama Mariam Si Manis Jembatan Ancol (diperankan oleh Diah Permatasari dan Kiki Fatmala) memimpin geng hantu yang terdiri dari sosok-sosok trans/non-biner yang kala itu kerap dilabeli banci, termasuk hantu botak centil bernama Karina dan istri muda Jin Volker bernama Juwita. Juwita yang diperankan oleh Ade Juwita, memberikan warna tersendiri bagi sebagian kalangan, termasuk saya. Di dalam benak saya yang masih duduk di bangku SD, ia bukan hanya menjadi perwakilan pertama orang Papua yang saya tonton di layar sinema, melainkan juga transpuan yang begitu populer di ranah televisi Indonesia pada generasi 1990-an. Maka, melalui esai ini, saya ingin berbagi pandangan dan kisah tentang profil Ade Juwita serta kontribusinya bagi representasi politik queer dalam budaya pop kita.

Kemunculan Ade Juwita yang selalu hadir dengan ekspresi gender perempuan di televisi, — setidaknya begitu yang saya bisa ingat ketika kecil dan remaja — membuat saya pernah beradu argumen dengan teman-teman sepermainan untuk bilang bahwa ia adalah secara penuh perempuan. Sebagian teman saya meragukannya. Ada yang tegas berpendapat (dan meyakini) ia tetaplah seorang lelaki, sedangkan lainnya menyematkannya sebagai banci. Tentu saja, saya kala itu belum memahami tentang konsep keberagaman gender dan seksualitas. Namun, saya merasa terhubung ketika Ade Juwita dilekatkan dengan julukan banci karena seperti itu pulalah saya juga dirundung di sekolah dan di antara teman-teman sepermainan. Saya yakin Ade adalah perempuan karena ia selalu bilang dirinya adalah perempuan. Ia hanya mengenakan pakaian perempuan lengkap dengan makeup tebal dan perangai yang feminin. Akan tetapi, ketika muncul suatu dialog pada seri Si Manis Jembatan Ancol yang mengutarakan kalau Juwita ialah “setan banci,” akhirnya saya mulai menyadari kalau ia memang tidak disematkan beridentitas perempuan sejak lahir — bukan seorang perempuan cisgender. Meski begitu, itu tidak membuat saya pudar untuk melihatnya sebagai perempuan. Saya dan teman-teman masih menikmati kehadirannya yang lucu sebagai komedian. Ada yang khas dan menggembirakan dari sosok Ade. Tawanya yang lebar, nyaring, dan lepas, membuat siapa saja seperti tertular untuk ikut tertawa dan gembira bersama. Kehadiran Ade Juwita di televisi pun pernah selalu saya nanti-nanti.

Ade Juwita mulai dikenal publik secara luas ketika ia bergabung dengan grup komedi pimpinan Harry de Fretes, Lenong Rumpi, yang berdiri pada 13 Januari 1989. Harry mengaku bertemu dan berkenalan untuk pertama kalinya dengan Ade Juwita pada sebuah pesta di restoran steak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sosok Ade memikatnya karena di sanalah Ade memang tengah menjadi pusat perhatian. Sejak kecil, ia punya hobi bernyanyi dan menari. Ia pernah bercita-cita menjadi penyanyi. Sehingga, kapan pun kesempatan datang, ia tak segan-segan untuk unjuk kebolehan. Ade bahkan menegaskan kalau alasannya merantau ke Jakarta adalah untuk bisa masuk ke Swara Mahardhika, sanggar seni yang dipelopori dan dipimpin oleh Guruh Sukarno Putra. Ia sempat masuk ke dalamnya.

Sebelum merambah ke film dan sinetron, grup Lenong Rumpi awalnya hanya pentas dari panggung ke panggung. Ketenaran para pemain kelompok lenong modern itu memuncak ketika film dengan judul yang mengadopsi nama grup tersebut rilis di bioskop pada 26 Desember 1991. Dalam Lenong Rumpi, Ade memerankan tokoh transpuan bernama Juwita. Saat itu, ia hadir dengan atribusi nama Ade Libertifa atau Ade L. atau Ade saja. Pada sejumlah publikasi, nama depannya terkadang ditulis dengan “Adhe,” sementara “Libertifa” merupakan nama tengah dari nama lahirnya. Kesuksesan layar lebar drama komedi yang disutradarai Yazman Yazid itu berlanjut dengan munculnya serial televisi Lenong Rumpi dan sekuelnya Lenong Rumpi 2. Sejak penampilannya di film dan sinetron tersebut, Ade dikenal (dan kemudian populer dengan penggunaan nama sebagai) Ade Juwita.

Sepanjang tahun 1990-an, Ade Juwita bisa dibilang sebagai satu-satunya TV personality yang memiliki interseksionalitas identitas orang Papua sekaligus transgender. Tentu saja, saat saya kecil dan remaja itu, Mirna Martinely bersama Bambros dan Fantastic Dolls serta Dorce Gamalama telah lebih dulu wara-wiri di layar perak dan TVRI. Namun, adalah wajah dan tawa Ade Juwita-lah yang secara rutin dan intens hadir lewat serial televisi Lenong Rumpi, Si Manis Jembatan Ancol, dan berbagai sinetron lain, di mana perannya sebagai pemeran pendukung atau kameo telah memberikan bumbu canda tawa yang istimewa. Ia hampir selalu tampil sebagai dirinya sendiri: seorang transpuan jenaka yang berkulit hitam dengan rambut keriting yang diikat cepol ke atas atau cepol dua serupa Minnie Mouse. Tawanya menggelegar dan kegembiraan tersebut menular ke orang-orang yang menontonnya.

“Kalau diberi peran laki, pernah, tapi engga bisa lepas. Merasa enak jadi perempuan,” kata Ade ketika ia pernah ditanya nyaman menjadi apa oleh Dewi Hughes dalam bincang televisi Angin Malam edisi 38. Ia bilang alasannya adalah, “Karena ‘per-empu-an,’ tempatnya menyimpan tempat pusaka. Hahaha….” Saya tak paham apa yang dimaksud dengan “pusaka” dan itu bisa saja ditafsirkan beragam. Namun, karena ucapannya diikuti dengan tawa yang membahana, bikin saya spontan tertawa juga.

Poster film-film Lenong Rumpi. Sumber: Arsip QIA (kiri) dan imdb.com (kanan)

Ade Juwita lahir di Sorong, Papua Barat pada 5 Mei 1966. Sejak kecil, ia mengaku telah gemar berdandan dan memainkan permainan yang dilekatkan dengan anak-anak perempuan, seperti boneka. Akan tetapi, kekerasan menjadi keseharian yang menemaninya dalam tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak transgender.

“(Saya) digebukin sama bapak,” ucapnya mengenang masa kecilnya yang senang bermain-main dengan perlengkapan kosmetik. “Pakai lipstick, nih, pas ketemu bapak, eh ketahuan, dihapus ‘kan. Ya, digebukin, dimasukin ke bak. Tapi, tetap (melakukannya). (Karena) panggilan jiwa. Hahaha…. Saya suka cantik.” Ade selalu mampu mengutarakan apa pun, bahkan pengalaman kelam mendapatkan tindak kekerasan dari keluarga dengan lantang dan diiringi dengan gelak tawa. Ia mulai rajin berdandan ketika duduk di bangku SMP.

Bagi saya, Ade merupakan pelawak yang lebih dari sekadar lucu. Ia cerdas dengan caranya membalikkan kedudukan relasi kuasa ketika beradu akting atau sahut menyahut dengan lawan bicaranya di atas panggung atau layar kaca. Sebagai orang Papua dan transgender, ia tentu bergelut dengan rasisme dan transfobia yang hadir lewat candaan yang merujuk pada warna kulitnya, rambut keritingnya, serta identitas dan ekspresi gendernya. Dan itu ia sampaikan lewat lelucon yang membuat lawan mainnya dan penontonnya punya kesadaran atau pemahaman baru dengan riang gembira. Misalnya, saat orang-orang menggiring lelucon dengan menjadikan bagian tubuhnya (seringnya rambut) dan ekspresi femininnya sebagai bahan candaan lewat pertanyaan-pertanyaan pembuka. Ade bisa secara refleks merespons balik dengan bilang bahwa mahkota kepalanya itu “stupa Borobudur” atau “kaktus” dan ia memang cantik karena “gue banci” dan “mantan ratu” yang menggiring asumsi orang pada kontes kecantikan. Tapi, ia lekas mengoreksi dirinya sendiri dengan tawa lepas dan nyaring: “Ratu Ubur-ubur. Hahaha….”

Dengan merebut “objek” lelucon yang mengarah pada dirinya (baik itu terhadap bagian tubuh atau ekspresi gendernya) dan lantas menertawai dirinya sendiri lewat lelucon yang dibuatnya, ia secara langsung telah mengambil kontrol (menangkis dan mengalihkan kendali) upaya orang lain untuk menjadikannya sekadar bahan olok-olokan orang lain. Dengan begitu, ia berperan menjadi subjek (pelaku) atas suatu lelucon ciptaannya sendiri. Ia menertawai dirinya (bagian tubuh, ekspresi gender, atau pengalaman pahitnya), sehingga itu menepis rasa kasihan atau objektifikasi atasnya yang ia balik dalam balutan komedi. Ia melawan dengan caranya sendiri (sebagai seorang pelawak). Dan saat itulah sesungguhnya saya — mungkin tanpa sadar — mulai belajar melihat komedi sebagai bagian dari coping mechanism untuk berani menghadapi perundungan terhadap diri saya sebagai anak lelaki yang feminin dan kerap dilabeli banci atau bencong dengan nada yang merendahkan. Ade tertawa terbahak-bahak sebagai upaya yang kini ingin saya yakini sebagai bagian dari aksi merebut dan menggeser dinamika relasi kuasa (shift in power dynamics). Dan dari sanalah sebetulnya beragam topik yang dianggap tabu, akhirnya terkuak dan bisa dibicarakan (ditayangkan) ke publik tanpa harus ada rasa takut, sungkan, atau bahkan malu, seperti identitas budaya dan rasnya sebagai orang Papua, ekspresi dan identitas gendernya sebagai transpuan, dan pengalaman kekerasan yang dialaminya di dalam keluarga sebagai anak transgender. Kini, sebagian orang ada yang menyebutnya dengan dark comedy atau black comedy atau — karena Ade Juwita adalah seorang transgender, maka secara khusus bisa pula kita menyebutnya dengan — trans comedy. Di dalam komunitas trans atau queer sendiri, komedi (yang dibuat dan ditujukan secara terbatas untuk komunitas) dapat mewujud jadi bagian dari bentuk negosiasi terhadap ragam kompromi hidup (compromise), kepedulian atau perawatan (care), dan keakraban atas rasa kekeluargaan (kinship) untuk mereklaim dan menyemarakan keunikan identitas maupun ekspresi yang dalam kultur heteronormatif, biner, dan patriarki kerap dianggap rendah atau menyimpang.

Tanpa harus menjadi aktivis lapangan atau advokat kebijakan, Ade memiliki peran yang signifikan dalam aktivisme atau gerakan transgender di Indonesia lewat representasi dirinya yang tentu saja otomatis politis sebagai orang Papua dan transpuan. Ia telah membuka pintu bahwa profesi sebagai pelawak maupun selebritis di Indonesia kala itu, dapat diisi oleh orang-orang dari kelompok minoritas. Kehadirannya juga telah menjadi referensi bagi anak-anak Papua dan queer dari generasi 1990-an untuk bisa bermimpi muncul di film dan televisi atau menjadi bintang dan komedian. Lewat sosok Ade, saya belajar mengenal, menerima, dan merayakan “keanehan” (queerness) dalam diri saya sendiri yang seringkali (oleh dunia luar yang heteronormatif, biner, dan patriarki) diposisikan sebagai yang liyan, yang asing, yang alien. Dalam istilah bahasa Inggris, hal tersebut kerap disebut queer joy (kegembiraan yang “aneh” atas identitas sebagai queer dengan tendensi yang positif) dan pride (kebanggaan sebagai queer).

Sejumlah teman di Papua bahkan mengakui kalau candaan-candaan Ade Juwita telah menjadi referensi dan inspirasi bagi mereka untuk melucu. Di Papua, melawak atau melucu memang telah menjadi bagian dari tradisi. Kini, kita mengenalnya dengan sebutan “mob Papua.” Ada yang meyakini kalau kata “mob” awalnya adalah singkatan dari “menipu orang banyak” yang bertujuan bukan untuk merendahkan dan biasanya berangkat dari cerita-cerita dalam keseharian orang Papua. Di Tanah Papua, Ade pun dikenal sebagai sosok yang ramah, menghibur, dan mudah bergaul. Ia gemar pergi ke pasar dan sesekali orang-orang di sana masih mengenalnya sebagai aktris yang jadi setan dalam film: si setan banci yang bini muda Jin Volker.

Potret Ade ketika pentas di atas panggung dalam majalah Tempo. Sumber: Tempo edisi 11 September 1993 dalam arsip QIA.

“Saya nonton dia (waktu) usia sudah 12–13 tahun,” kata Zackura Christy mengenang sosok Ade Juwita. Zackura adalah seorang transpuan dan kini memimpin organisasi transpuan Ikatan Waria Kota Sorong atau biasa disingkat IWASOR. “Dulu, dia itu terkenal dan punya kisah-kisah terkenal. Dia unik. Ada orang Papua bisa main film, (sehingga) kita merasa kita ada punya perwakilan yang bisa ada di sana. Senang sekali nonton Ade Juwita. Dia punya rambut atau style tak buang asli Papuanya. Papuanya itu terus ada dan ditampilkan. Jadi, itu unik.”

Saat berbincang dengan Zackura, usianya sekarang sudah beranjak kepala empat. Ia mewakili generasi seperti saya yang kegembiraan masa kecil dan remajanya dihiasi oleh canda tawa Ade Juwita.

“Dari situ kita tahu ternyata sudah ada orang Papua. Di daerah-daerah di Papua, sebetulnya banyak talenta orang Papua, tapi engga gol, ya. Dulu, itu mereka tak punya kesempatan.” Maksudnya, tidak gol adalah tidak berhasil sepopuler Ade Juwita yang berkarier di Jakarta atau dunia hiburan secara nasional. “(Saya) pernah ketemu, cerita-cerita (dengan Ade) waktu ada acara. Kita nonton dia di acara tahun baru. Dia menyanyi dan bawa acara, MC begitu.”

Menurut Zackura, sosok dan popularitas Ade Juwita telah memberikan wawasan dan imajinasi baginya sebagai seorang Papua atas suatu capaian yang sebelumnya mungkin saja tak pernah dibayangkan untuk menghubungkannya pada kompleksitas persoalan terkait dengan transfobia, khususnya diskriminasi dan stigma, terhadap transgender dan rasisme yang dihadapi orang-orang Papua secara umum, apalagi transpuan.

“Pertemanan atau pergaulan dia itu bisa sampai ke Jakarta dan sukses di sana. Itu menjadi suatu pemikiran baik bahwa orang Papua bisa diterima dan berkarier,” tegasnya. “Nilai positif yang kita dapat, dia mewakili sekali sebagai orang Papua dan bisa sukses. Itu yang senang. Dia punya kesuksesan.”

Zackura melanjutkan dengan bilang kalau dari Ade Juwita, orang-orang jadi kian terbiasa dan bisa menerima, bahkan menghargai keberadaan transpuan, khususnya di Kota Sorong. Selain aktif di ranah hiburan dengan menyanyi atau memperagakan busana atau fashion show, komunitas transpuan di sana banyak yang bergerak di dunia tata rias rambut dan busana dengan memiliki maupun bekerja di salon. Komunitas transpuan turut menciptakan lapangan kerja. IWASOR juga kerap melakukan pertunjukan di ruang terbuka, seperti lapangan atau jalan, di mana warga antusias menyaksikan mereka tampil. Di sana, komunitas transpuan pun amat beragam, terdiri dari transpuan yang orang Papua dan yang pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Saat ini, anggota IWASOR telah mencapai seratus orang lebih.

Ade Juwita dalam balutan busana batik bermotif Papua. Sumber: Liputan6.com.

“Muka setan, (tapi) servis ketan,” canda Ade kala merayu lelaki dengan menjadikan karakter dirinya sendiri sebagai bahan candaan. “Bibir mantap. Artinya, makan tempat. Hahaha….”

Sekitar tahun 2000-an, Ade memutuskan untuk meninggalkan dunia keartisan di Jakarta. Ia mengaku jenuh di kota metropolitan dan kembali ke kampung halamannya. Ia pernah mengutarakan ke publik kalau ia punya satu anak. Di Papua, ia aktif di gereja, sibuk menjadi penyanyi (favoritnya adalah dangdut dan ia cakap juga bernyanyi ala sinden) dan MC dari panggung ke panggung, serta sesekali masih ke Jakarta untuk tampil di berbagai acara bincang-bincang televisi, termasuk Just Alvin di Metro TV dan Ini Talk Show di Net. pada Februari 2015 lalu sebelum akhirnya jatuh sakit.

Perempuan penyuka es dawet tersebut pernah mengaku mengalami stres yang menyebabkan berat badannya naik. Sekitar 2011, ia mulai mengidap diabetes. Dan itu ternyata bukan satu-satunya kondisi yang kelak mengganggu kesehatannya untuk kian memburuk. Pagi hari pada 6 November 2015, setelah dirawat di Rumah Sakit Sorong karena kanker usus (sumber lain menyebut komplikasi lambung dan kelenjar getah bening), Ade akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di usia 49 tahun. Berita duka cita atas kepergiannya kala itu meramaikan berbagai media massa dan infotainment di Indonesia. Betapa saya merasa pula kehilangan atas sosok yang telah menghiasi masa kanak dan remaja dengan canda tawa Ade.

Ade Juwita bukan hanya menjadi komedian transpuan pertama dari Papua yang pernah tampil secara nasional, tetapi juga satu-satunya orang Papua paling terkenal di dalam budaya pop Indonesia pada tahun 1990-an. Kehadirannya sebagai seorang TV personality telah memberikan representasi signifikan atas wajah transpuan dari Indonesia Timur. Ia menginspirasi banyak orang melampaui rentang waktu dalam kariernya. Ada Ade Juwita sebagai mozaik penting dalam sejarah gerakan transpuan Indonesia.

Ade Juwita. Sumber: Liputan6.com.

“Sang Mami & Para Pemimpin dalam Sejarah Gerakan Transpuan” merupakan sebuah proyek independen & kolaborasi yang dilakukan sebagai upaya pendokumentasian & promosi terhadap tokoh-tokoh penting transpuan yang telah memberikan kontribusi signifikan pada gerakan queer di Indonesia, khususnya komunitas transpuan. Melalui proyek ini, Nurdiyansah Dalidjo berkolaborasi dengan para aktivis senior transpuan & ilustrator/seniman perempuan/trans/non-biner untuk penyajian tokoh penting transpuan dalam bentuk tulisan dengan ilustrasi.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah