Desa Wisata: Paradigma Pembangunan Alternatif untuk Pariwisata Berkelanjutan

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
5 min readFeb 23, 2024

Buku Desa Wisata: Paradigma Pembangunan Alternatif untuk Pariwisata Indonesia ditulis oleh Nurdiyansah Dalidjo dan diterbitkan oleh INSISTPress pada Februari 2024.

“Buku ini merupakan suatu upaya untuk kita membuka ruang dialog tentang desa wisata sekaligus mengembangkan perspektif, wawasan, serta diskusi kita untuk pengembangan desa wisata.”

Sebagai anak kota yang lahir dan tumbuh di kota, saya akrab dengan rutinitas perjalanan pulang kampung ke rumah kakek-nenek hampir setiap tahun. Bagi saya, suasana desa memberikan suatu kesenangan sendiri. Itu tidak hanya terkait dengan atmosfer yang tentu saja berbeda dari tempat saya tinggal dan bekerja, melainkan pula menghubungkan saya dengan asal-usul diri. Serangkaian kunjungan ke desa pun menjelma jadi suatu keasyikan yang berkesan dari pengalaman berinteraksi dengan masyarakat desa maupun lingkungan desa tempat kakek-nenek saya tinggal, di mana sawah, sungai, kebun, dan hutan bambu masih menjadi bagian tak terpisahkan dari desa. Meski begitu, saya — sebagai orang kota — tidak hendak sekadar meromantisasi desa. Sebab, perjalanan-perjalanan ke desa juga memberikan saya semacam refleksi atas berbagai kesenjangan relasi kuasa antara kota (orang-orang kota) dan desa (orang-orang desa).

Kedua orang tua saya harus pergi jauh meninggalkan desa mereka ketika remaja hanya untuk bisa melanjutkan sekolah dan kelak mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mereka melihat ada harapan (terutama secara ekonomi) dengan membangun sebuah keluarga di masa depan. Tidak ada layanan kesehatan yang memadai bagi generasi orang tua saya kala itu di desa mereka. Tidak ada jalan mulus beraspal, transportasi publik, listrik, dan segala infrastruktur maupun layanan publik dasar lain yang menjadi hak masyarakat desa selayaknya warga negara lain (yang tinggal di kota). Dengan ketidakadilan sistematis dan kultural yang dihadapi oleh kelompok petani di masa Orde Baru, kedua orang tua saya dihadapkan pada pilihan sulit dengan beragam tantangan dan risiko jika mereka tetap memutuskan menjadi petani seperti kedua orang tua mereka. Meninggalkan desa seolah menjadi satu-satunya peluang untuk bisa keluar dari berbagai persoalan yang membelenggu desa mereka yang lekat dengan apa yang kini bisa kita kaitkan dengan kemiskinan di atas tanah yang subur, air bersih yang melimpah, dan bermacam sumber daya yang ada di lingkungan desa mereka. Orang tua saya memutuskan pergi ke kota karena itu menjadi satu-satunya pilihan yang mereka tahu dan bisa mereka ambil. Dan, pastinya, itu juga yang dilakukan oleh anak-anak lain di desa mereka yang ingin merawat mimpi dan berusaha punya kehidupan yang lebih baik.

Kelak, ketika saya besar dan mengunjungi rumah kakek-nenek di desa, saya menyadari kalau desa kedua orang tua saya tidak memiliki banyak generasi muda yang bertahan di desa. Berangsur-angsur perubahan memang terus datang. Jalan raya terasa semakin dekat dengan rumah-rumah warga. Jalanan di dalam desa telah beraspal dan permukiman kian padat. Saya menyaksikan sebagian persawahan yang berganti jadi bangunan atau toko. Ada koperasi, puskesmas, sekolah, dan pasar modern. Sungai yang membelah desa telah menyempit. Orang-orang tidak lagi mandi dan mencuci baju di sungai yang telah berwarna cokelat itu. Setelah puluhan tahun kedua orang tua saya merantau, banyak orang tua bertahan dengan bekerja di sawah dan ladang. Dan, sungguh, saya masih menikmati kesenangan pulang ke desa tempat orang tua saya dilahirkan. Aktivitas yang menggali pengalaman saya berinteraksi dengan masyarakat desa maupun lingkungan desa kakek-nenek saya, seperti berjalan pagi atau bersepeda keliling desa, masih menjadi keasyikan yang menyenangkan.

Lantas, saya pun menyadari bahwa saya sendiri sebetulnya telah berproses belajar dari desa (juga orang-orang di desa) dan berharap masih akan terus belajar dari desa dengan menikmati perjalanan-perjalanan ke berbagai desa. Buku ini merekam sebagian pengalaman itu. Saya ingat pertama kali ide untuk menuliskan suatu tulisan tentang desa wisata, muncul dari pengalaman jalan-jalan di desa-desa di sekitar Malang bersama teman sekampus ketika kuliah Manajemen Pariwisata di Sekolah Pasca-Sarjana Universitas Sahid. Kami banyak berdiskusi usai berkunjung ke desa dan melihat bermacam inisiatif hebat yang dicetuskan oleh warga desa, termasuk generasi muda, untuk tidak sekadar bertahan di desa mereka, melainkan mengembangkan desa dengan berbagai gagasan, salah satunya aktivitas wisata di desa mereka. Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kala itu, kemudian turut gencar mengembangkan program desa wisata. Jalinan interaksi antara pariwisata dan desa, menjadi dinamika yang buat saya penting untuk coba direkam dan terus didiskusikan.

Meski begitu, buku ini bukanlah sebuah hasil penelitian, melainkan upaya untuk berusaha membuka ruang dialog tentang desa wisata. Saya harap buku ini dapat mengembangkan perspektif, wawasan, serta diskusi kita untuk pengembangan desa wisata. Dan segala kekurangan yang ada di dalamnya, tentu menegaskan keterbatasan saya, baik itu dalam pengetahuan maupun pengalaman, yang semoga justru dapat memicu peluang dan kreativitas maupun merawat ragam gagasan lain untuk mengembangkan dan mewujudkan keberlanjutan pengembangan desa wisata kini dan nanti.

Saya berterima kasih kepada kedua orang tua saya yang memperkenalkan saya untuk pertama kalinya pada desa sebagai akar diri saya; sahabat karib, rekan diskusi, dan teman jalan-jalan, Roni Khoiron dan (almarhumah) “Bundo” Susy Bhudiharty; Prof. Baiquni dari Universitas Gadjah Mada yang percaya naskah tentang desa wisata ini punya peluang untuk diperbincangkan lebih lanjut; guru saya, Bu Maya (Ismayanti) dan Bu Ina (Ina Djamhur); serta tim INSISTPress, Udin Choirudin dan Devananta Rafiq. Buku ini saya dedikasikan untuk para pengajar, peneliti, akademisi, pemikir, penulis, dan aktivis di bidang pariwisata di Indonesia, terutama para pendamping dan pegiat desa wisata.

“Penulis berhasil memberikan cara pandang baru, kritis, dan reflektif dalam menghadirkan literatur terhadap desa wisata. Saya sangat merekomendasikan buku ini.” Dr. Mohamad Yusuf, Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Kontak pemesanan: Penerbit INSISTPress, 0851-0259-4244 (WA)

Nurdiyansah Dalidjo (Diyan) adalah penulis dan peneliti lintas isu (interseksionalitas). Dia merupakan lulusan Program Magister di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid (USAHID) Jakarta dengan konsentrasi bidang pariwisata dan telah melakukan kerja-kerja di berbagai organisasi selama lebih dari sepuluh tahun. Berbagai tulisannya telah dimuat di berbagai publikasi di dalam dan luar negeri, termasuk Jurnal Perempuan, The Jakarta Post, Mata Jendala, Project Multatuli, Nosa, Overland, Interwoven Journeys: The Michael Abbott Collections of Asian Art, ASEAN Queer Imaginings, dll.

Diyan telah melahirkan tiga buku bertema kajian pariwisata populer, antara lain Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia (Penerbit Alfabeta, 2014), Pariwisata dan Isu Kontemporer (2015), dan Kota Tua JKT: Pergulatan Pariwisata, Konservasi, & Kemiskinan (2016). Dia juga dikenal aktif melakukan perjalanan dan berbagi pengalamannya lewat buku-buku travel writing yang ditulis dengan gaya penulisan deskriptif naratif, yaitu Porn(O) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan (Metagraf, 2015) yang mengampanyekan isu etika dalam berwisata dan Rumah di Tanah Rempah: Penjelajahan Memaknai Rasa dan Aroma Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, 2020) yang mengeksplorasi sejarah kolonialisme serta identitas dalam tradisi rempah dan kuliner Indonesia.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah