Kala Sahabat Mengaku HIV Positif

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
6 min readJul 2, 2019
Sumber gambar: http://images.newindianexpress.com/uploads/user/imagelibrary/2016/12/21/w600X300/With.jpg

Tiba-tiba, muncul perasaaan yang campur aduk. Sulit untuk saya jabarkan. Tetapi, begitulah adanya ketika seorang sahabat mengungkapkan bahwa ia HIV positif.

Sebelumnya, ia telah mengabari serangkaian proses tes yang tengah dijalani. Ia bilang, ada kemungkinan. Saya pun merespon pesannya melalui WA ala kadarnya. Bukan karena saya tak bersimpati, melainkan karena saya tak tahu apa yang harus saya utarakan. Ya, saya bingung. Terkejut! Kami telah bersahabat lama.

Beberapa hari setelahnya, ia seperti biasa menyapa melalui WA. Saya bertanya, “Apa hasilnya?”

“Positif,” ucapnya singkat diiringi simbol Smiley face.

Ada jeda sesaat buat saya merenungkan kata-kata balasan. Hingga akhirnya, saya melontarkan ucapan yang terlampau normatif: “So sorry to hear that.” Saya jujur bilang bahwa saya tak tahu apa yang harus saya utarakan. Virus itu telah satu bulan hinggap di badannya. Dan ia masih harus melanjutkan tahapan tes lain untuk mengetahui obat maupun penanganan medis yang cocok dengan kondisi tubuhnya.

Namun, ia juga sadar bahwa virus itu bukan hanya tentang dirinya. Sebagai seorang dewasa yang aktif secara seksual, saya sangat menghargai hal yang kemudian ia lakukan. Yaitu, menelusuri orang-orang yang telah berhubungan seks dengannya belakangan itu. Ia bisa mengingat mereka dan menghubungi mereka satu per satu untuk mengungkap statusnya dan mendorong mereka untuk segera tes. Dalam proses itu, siapa menulari siapa bukanlah hal yang relevan untuk diperdebatkan. Setiap orang punya tanggung jawab bukan hanya pada dirinya, melainkan pula orang lain sebab itu menyangkut aktivitas seks yang konsensual.

Dari situlah, ia menemukan bahwa seorang teman kencannya lebih dulu positif tanpa tahu statusnya. Itu bisa diketahui dari seberapa rendah tingkat kekebalan tubuh atau CD4-nya. Kawan saya mengutarakan betapa ia terkejut dengan suatu perenungan. Perenungan yang menyeret saya untuk ikut berandai-andai. Bagaimana jika kawan saya itu tidak HIV positif? Maka, teman kencannya itu tidak akan tahu bahwa ada virus yang tengah menggerogoti imunitasnya. Itu bukan hanya membahayakan dirinya, tetapi juga memberikan risiko seandainya ia melakukan hubungan seks tak aman (tanpa kondom) dengan orang lain — mungkin seorang, mungkin lebih dari seorang. Dan dari sanalah penyebaran HIV mengikuti rantai yang berangkat dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian bersama stigma yang menguat.

Stigma terhadap HIV positif

Tetapi, diam-diam, saya menyimpan sedikit kesal, mungkin juga marah pada sahabat saya itu. Sebab, ia bukan hanya sahabat di mana saya seringkali berbagi banyak hal, tapi ia adalah orang yang selama ini saya anggap paling paham tentang HIV. Ia punya latar belakang pendidikan kesehatan dan bekerja di organisasi yang fokus pada sektor HIV. Bagaimana mungkin seseorang dengan profil itu bisa tertular HIV?

Seolah-olah, saya ingin jadi seorang ibu yang menjewer telinga anaknya sambil mengungkapkan betapa nakal bocah yang satu ini. Sebagai sahabat, saya tak punya beban untuk bilang segala hal yang terlintas di pikiran. Namun, saya sadar, kali ini situasinya lain. Namun, akhirnya saya lontarkan juga isi kepala saya. Ia berbagi kisah tentang bagaimana ia mendapatkan virus itu.

Bukankah banyak dari kita punya rasa penasaran pada hal itu? Dan, bukankah lebih baik untuk membicarakannya ketimbang sekadar menebak dengan bumbu-bumbu prasangka? Sebab, virus itu bukan hinggap di sembarang orang. Tetapi, orang terdekat saya — sahabat saya sendiri. Itu terasa berbeda. Karena dalam diri saya pun muncul suatu kekhawatiran yang kompleks. Yaitu, antara keprihatinan saya sendiri terhadap ia yang sahabat saya dan suatu kenyataan bahwa saya pun dihadapkan pada risiko yang sama.

Sebab, virus itu bukan hinggap di sembarang orang. Tetapi, orang terdekat saya — sahabat saya sendiri. Itu terasa berbeda.

Memecah penyangkalan

Sejak mengetahui status kawan saya, terkadang saya melontarkan ekspresi dukungan yang tak tepat atau keliru. Saya tentu ingin memberikan yang terbaik. Dan respon spontan yang seringkali terlontar, adalah arahan bagaimana ia harus begini dan begitu. Sesungguhnya, mungkin justru saya sendiri yang sedang gusar karena virus itu ada di dekat saya, di depan mata saya.

Saya seolah bisa jadi orang yang sok tahu. Saya sontak ingin membantu. Namun, simpati itu kadang berubah jadi manifestasi ego dari diri. Sebab, saya pun abai untuk bertanya lebih dulu bagaimana saya bisa menolongnya. Saya berkali-kali harus mengingatkan diri sendiri agar tak lupa kalau sahabat saya ini adalah orang yang bekerja di sektor HIV. Ia orang yang jauh lebih paham ketimbang saya.

Kami memperbincangkan topik tersebut. Dan itu membawa kami pada satu kesadaran yang sama pada sudut pandang yang berbeda.

Saya dan Beau ketika berfoto bersama saat melakukan perjalanan ke Samosir tahun 2017 lalu.

Bagi saya, itu tetap menjadi hal yang sulit diterima dan terdengar janggal ada seorang yang paling paham HIV bisa tertular HIV. Saya pikir ia kala itu hanya sedang “nakal.” Sementara itu, baginya, itu pun tak kalah janggal saat tahu ia mendapatkan virus dari seseorang yang bagi kebanyakan orang justru dianggap tidak nakal. Seseorang yang ia gambarkan sebagai pria dengan latar belakang kelas menengah (middle class) yang stabil secara ekonomi, berpendidikan, dan berperangai penuh sopan-santun. Baik itu sahabat saya atau pria yang dikencaninya itu, bukanlah pria pekerja seks atau pelanggan pekerja seks (ketika saya terjebak pada pandangan HIV dan prostitusi), juga bukan orang-orang yang tak punya akses terhadap pengetahuan soal seks, termasuk kemampuan mendapatkan kondom. Mereka adalah potret dari masyarakat urban yang hidup dengan keistimewaan (privilege). Dan saya menyadari bahwa stigma itu ternyata melekat juga pada diri saya. Stigma itu — tanpa saya sadari — telah tertanam dan tumbuh. Bahwa orang dengan HIV positif kerap dilekatkan pada nilai-nilai moral ketimbang perkara medikal.

Dan kini, kami tak bisa lagi menyangkal. Bahwa menyalahkan narasi yang ada itu mungkin menjadi salah satu penyebab upaya penghapusan stigma yang gagal.

Virus itu tidak pandang bulu

Pada akhirnya, setiap pengalaman memberikan kita pembelajaran. Saya bangga dan menaruh hormat ketika sahabat saya itu tak hanya berbagi cerita pada saya dan beberapa teman dekat, melainkan kepada publik melalui artikel yang ditulisnya dengan emosional sekaligus personal.

Tentu, saya kemudian tak perlu memberi nasihat soal apa yang harus dilakukannya setelah menerima hasil tes. Kami masih mengobrol dan seperti tak ada yang berbeda darinya. Tak perlu ada yang dibeda-bedakan pula! Meski saya akui, saya masih terjerumus pada stigma yang masih menjadi realita hari ini kala membayangkan orang-orang yang saya kenal telat mengetahui status dirinya, bahkan ada yang menolak penanganan medis karena alasan moral, lalu meninggal akibat AIDS. (Saya masih berproses membersihkan stigma di otak saya.)

Setengah bercanda, sahabat saya itu justru mengingatkan bahwa menjadi HIV positif itu bukan akhir dari segalanya. Orang dengan HIV positif bisa hidup selayaknya mereka yang tak positif dan punya kesempatan yang sama untuk berumur panjang.

Hanya sekitar satu bulan setelah dinyatakan positif dan menjalani treatment serta mengonsumsi obat rutin, ia mengabarkan bahwa virus dalam tubuhnya tak lagi terdeteksi. Artinya, virus dalam tubuhnya sampai pada level di mana itu tidak akan menulari orang lain!

“Virus itu bisa terdeteksi lagi kalau orang dengan HIV berhenti minum obat,” katanya.

Meski begitu, proses yang ia lalui tak juga dikatakan mudah. Setiap obat yang diminum, memiliki penyesuaian yang berbeda pada tahap awal. Efek jangka pendek itu tidak hanya dirasakan secara fisik, tapi juga non-fisik: mual, pusing, nyeri otot, diare, dan ruam. Sahabat saya mengalami susah tidur. Ia bercerita bagaimana ia pernah tiba-tiba menangis hebat di tengah malam.

Dan kejujuran sahabat saya membawa saya untuk berkaca dan menjadi jujur tentang berbagai rasa yang terlampau sulit untuk dilepas dari nilai-nilai moral. Tetapi, bukan hendak mengatakan itu mustahil. Stigma telah kita ciptakan dan momok tersebut tidak dibangun dalam satu malam. Jika kita meyakini bahwa itu harus binasa, maka adalah kita juga yang harus menghancurkannya. Tidak mudah, tapi kita telah memulainya.

Kebisuan terbukti tidak membuat situasi jadi lebih baik. Maka, mendorong siapa pun yang berisiko untuk tes secara rutin, tak hanya akan menyelamatkan nyawa satu orang, melainkan lebih dari itu. Setiap dari kita juga perlu mendorong, bahkan dapat memberi kontribusi terhadap terciptanya lingkungan yang suportif maupun penguatan bagi orang-orang yang hidup dengan HIV positif. Mereka bisa jadi adalah anggota keluarga, kerabat, sahabat, atau rekan kerja kita dengan berbagai latar belakang dan profesi. Kelak, bukan tak mungkin kita pun dapat hidup dengan virus yang dapat hinggap pada tubuh siapa saja kala ada kesempatan.

Persoalan HIV adalah relita kita. Dan prasangka maupun stigma itu pun nyata. Tapi, begitu pula persahabatan saya dengan kawan yang HIV positif. Virus itu tak pernah peduli siapa kita dengan segala keistimewaan yang kita miliki.

*Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis lintas isu yang pula gemar melakukan petualangan dalam menggali makna dan sejarah rempah-rempah terhadap perkara kolonialisme di Indonesia. Buku terakhirnya berjudul Porn(O) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan merupakan salah satu kampanye-nya terkait etika pariwisata. Ia dapat dihubungi melalui Instagram pada akun @penjelajah_rempah.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah