Kearifan Lokal Toraja dalam Bersawah
“Coba bayangkan mana yang lebih baik: panen padi satu tahun sekali atau dua kali?” Ibu Den Upa melontarkan suatu pertanyaan pembuka ketika saya berkunjung dan menginap di rumahnya di Lembang Madandan, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Kami tengah makan malam dengan nasi merah dan lauk ikan mas ukuran besar berbumbu rempah hitam pammarasan.
Ibu Den Upa adalah istri dari Almarhum Bapak Laso’ Sombolinggi, tokoh gerakan Masyarakat Adat dan salah seorang tetua kampung di Masyarakat Adat Toraja yang turut mempelopori kelahiran Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pertanyaan yang dilontarkannya saat itu, memberikan deskripsi terhadap bagaimana situasi pengelolaan sumber daya alam di Toraja, khususnya pertanian, telah mengalami degradasi yang kian mengancam keberlangsungan alam dan budaya. Persoalannya adalah pada kecenderungan perubahan cara orang Toraja bersawah.
Nasi adalah makanan pokok dan menanam padi di sawah adalah keseharian Masyarakat Adat Toraja. Dulu, bersawah tak bisa dikatakan sebagai pekerjaan karena tujuan menanam padi bukanlah komoditi. Konon, padi dipercaya sebagai salah satu tanaman yang dibawa turun dari langit oleh nenek moyang mereka. Ada hal yang unik dari pola bersawah mereka, yaitu sistem bercocok tanam yang terintegrasi (padi, ikan, kebun, dan ternak) berdasarkan pengetahuan lokal. Saat ini, kita mengenalnya secara lebih trendy dengan sebutan integrated farming. Jauh sebelum konsep itu populer, banyak Masyarakat Adat kita telah lebih dulu mengenalnya. Begitu pun dengan Toraja, proses bercocok tanam tak lepas dari aspek budaya. Setiap tahapan harus dimulai dengan upacara adat yang punya makna holistik terkait Tuhan, leluhur, “penghuni/penguasa” tempat, roh atau peri, alam, dan manusia. Pada lahan atau area yang sama, petani Toraja dapat mengoptimalkan hasil dari panen padi, seperti ikan air tawar, kebun sayur, dan ternak lain. Kekhasan tersebut dikenal dengan nama kuang dan alang.
Kearifan Lokal Kuang & Alang
Ada yang berbeda dari area persawahan di Tanah Toraja ketika saya berkeliling kampung yang rindang dan teduh. Soal keindahan panoramanya itu sudah pasti! Tapi, keunikan yang menarik perhatian adalah keberadaan semacam kubangan air di tengah sawah.
Kuang adalah sumur kecil sedalam sekitar dua meter dengan bentuk melingkar atau persegi dan merupakan bentuk kearifan Masyarakat Adat Toraja dalam mengoptimalisasi lahan sawah sekaligus keberlangsungan ekosistem. Di kawasan lain di Toraja, kuang juga dikenal dengan sebutan lokal gusean atau kurungan. Kuang mempunyai fungsi yang beragam. Selain pengontrol kuantitas air sawah dan cadangan air bagi sawah tadah hujan, kuang juga dimanfaatkan sebagai sarang ikan.
Sebagai suatu sistem, kuang tak bisa dipisahkan dari pola pengelolaan fisik sawah dan proses bertani di sawah. Masyarakat Adat Toraja umumnya menekankan prinsip kebersamaan atau gotong royong dalam menggarap sawah. Dalam satu area persawahan terasering di dataran tinggi, terdapat puluhan, bahkan ratusan petak sawah. Awalnya, tahapan menyiapkan lahan untuk bibit hingga panen dilakukan secara serentak. Aktivitas kolektif tersebut dilakukan dengan serangkaian ritual. Kebersamaan dalam melakukan ritual itu juga terkait distribusi air secara komunal. Kuang akan terlebih dulu disiapkan, lalu bibit-bibit ikan ditebar sebelum bibit-bibit padi ditanam. Dalam satu petak sawah, dapat dibuat satu hingga tiga kuang — tergantung pada luasan sawah yang dimiliki. Untuk menandakan keberadaan kuang dan menahan agar struktur kuang tidak rusak atau longsor, tepian dan dinding kuang ditopang dengan bambu atau tanaman berakar kuat sejenis rerumputan.
Dipeliharanya ikan-ikan pada kuang, bermakna layaknya tabungan lauk bagi pemilik sawah. Misalnya, kuang pertama berisi ikan untuk konsumsi sehari-hari, kuang kedua berisi ikan untuk upacara, dan kuang ketiga berisi ikan untuk hidangan menyambut tamu.
Selain kuang, setiap petak sawah memiliki saluran pintu air (panta’dara). Area yang berada dekat dengan pintu air dibuat lebih dalam dibanding area lain. Area yang lebih dalam itulah yang menjadi area ikan-ikan berkumpul. Ikan mas menjadi favorit hidangan Orang Toraja. Ada pula lele, belut, dan ikan lumpur lainnya. Jika panen tiba, pemilik sawah akan memberikan pengumuman kapan masyarakat bisa ikut menikmati lauk ikan segar dengan mengambil ikan yang hanya ada di area pintu air. Hal itu merupakan tradisi kebersamaan. Karena air yang mengalir adalah milik bersama, maka panen ikan pun bisa dinikmati secara bersama. Kira-kira begitulah filosofi sederhananya.
Cerita tentang kuang ini saya dapatkan dari Rukka Sombolinggi, anak Ibu Den Upa. “Menjelang pengumuman untuk ambil ikan bersama itu, dinanti-nanti betul oleh orang-orang. Mereka bisa menunggu sejak malam, loh!” ungkapnya mengenang peristiwa masa kecilnya.
Selain optimalisasi untuk perikanan, area tepian sawah juga ditanami sayur dan palawija, seperti kangkung, ubi, dan sayur-mayur yang dimakan sehari-hari. Menurut Rukka, dulu kalau orang pergi bersawah pasti akan menemukan sayur untuk dimakan. Jika tidak sedang masa tanam, area sawah sekaligus jadi kubangan kerbau dan tempat bermain bebek-bebek. Pola inilah yang membuat petani di Toraja memiliki cadangan pangan (termasuk sayur dan lauk-pauk) yang lebih dari cukup untuk konsumsi harian yang dimasak dengan berbagai cara: dibakar, dimasak dalam bambu (piong), atau dimasak kuah.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Toraja memiliki banyak jenis bibit padi lokal yang menghasilkan variasi beras putih, merah, dan hitam. Bibit lokal telah memberikan hasil panen yang memuaskan dan memiliki karakter bulir padi yang besar serta daya tahan yang relatif tinggi terhadap hama ketika ditanam maupun disimpan di lumbung dalam waktu relatif lama. Orang Toraja mengenal lumbung padi sebagai alang. Seperti halnya kuang, alang adalah sistem kearifan lokal yang terkait ketahanan pangan. Jika gorang memiliki makna sekadar gudang padi, lain hal dengan alang yang punya makna budaya dan status sosial.
Kuang memiliki fungsi yang dominan pada aspek ekologis sebagai stabilisator ekosistem dan salah satu penyedia lauk, sementara alang memiliki arti/peran yang holistik pada tradisi. Alang biasanya diletakkan berbaris di depan rumah besar tradisional (tongkonan). Bentuk lumbung inilah yang mirip dengan rumah besar dengan atap serupa bahtera dan keseluruhan permukaan bangunannya dipenuhi ukiran simetris berwarna hitam, merah, putih, dan kuning. Alang menjadi simbol yang mewakili “anak” dari tongkonan, sehingga corak pahatan pada dinding kayu alang pun tak sembarangan dibuat, melainkan mengacu pada motif induknya. Maka, kompleks tongkonan (dengan alang-alang-nya) bisa dikatakan sebagai mikrokosmos Orang Toraja. Di sinilah letak filosofi kehidupan dan identitas Toraja melekat.
Ketika panen raya tiba, gabah-gabah disimpan di lumbung dan akan digunakan sebagai cadangan pangan dan dikonsumsi sehari-hari untuk makan dan upacara adat. Selain menjadi gudang pangan, bagian bawah lumbung juga digunakan sebagai tempat menerima tamu serta tempat duduk bagi keluarga ketika menghadiri upacara. Mereka yang duduk di lumbung memiliki aturan untuk urutan duduk secara hierarkis.
Perubahan yang Datang Kemudian
Tetapi, kini situasi telah berubah! Perubahan pada kuang dan lumbung itulah yang meningkatkan kerentanan Masyarakat Adat Toraja, baik dari aspek ketahanan pangan maupun pelestarian budaya dan tradisi, terutama kaitannya dengan kebencanaan (perspektif pengurangan risiko bencana).
Bibit padi hasil rekayasa genetik — atau “bibit unggul” yang diperkenalkan (mungkin dipaksakan) pemerintah — datang bersamaan dengan pupuk non-organik dan pestisida. Momentum tersebut membawa perubahan besar bagi keberlangsungan corak bertani di Toraja. Ikan-ikan tak sebanyak dulu karena tidak mampu bertahan dengan sebaran pupuk dan pestisida kimia. Maka sebagian petani ada yang beranggapan kalau kuang tak perlu lagi diterapkan.
Sementara itu, kini lumbung banyak yang mengalami pergeseran fungsi sebagai simbol. Tak heran jika lumbung-lumbung padi kini banyak yang rusak. Lumbung yang kosong tak berisi membuat lumbung semakin rentan dengan angin kencang, sehingga mudah rubuh. Menurut informasi Kabupaten Toraja Utara, tercatat sebanyak 50 lumbung tumbang karena angin kencang tahun lalu. Jumlah tersebut semakin bertambah menjadi 101 lumbung serta ditambah duarumah tradisional dan beberapa rumah warga.
Jauh sebelum isu mengenai dampak perubahan iklim mengemuka, adalah Revolusi Hijau yang dijalankan rezim Orde Baru yang mengubah wajah pertanian dan petani melalui introduksi bibit hasil rekayasa genetik, sistem irigasi modern, pestisida, serta pupuk kimia yang bertujuan pada peningkatan produktivitas. Saat itulah pemaknaan terhadap aktivitas bertani digeser menuju ambisi Indonesia menjadi negara swasembada pangan. Beras sekadar dianggap komoditi dan praktik tradisional berangsur tersingkirkan. Panen yang awalnya sekali dalam setahun menjadi dua kali setahun hingga lima kali dalam dua tahun. Sekilas, produktivitas sepertinya berhasil, namun dampak negatif lain muncul kemudian. Selain degradasi lingkungan, tradisi dan makna sakral dari keseharian agraris Orang Toraja, mulai tergerus.
Padi yang ditanam dalam satu siklus setiap tahunnya, memiliki proses yang panjang dan tentu saja indah untuk menyimak nilai dan praktik-praktok lokal yang dilakukan. Usai area sawah diberkati oleh to burake (sosok transgender yang dulu memainkan peran penting dalam pemberkatan sawah) dengan asap dan alunan gendang, bibit-bibit akan ditanam serentak. Tak berselang lama, masuklah periode ma’ patimbu’ (pemupukan) yang artinya disuap. Setiap tanaman padi diberikan nutrisi berupa pupuk kandang buatan sendiri. Dengan model itu, padi tak hanya melimpah, tapi juga memiliki daya tahan yang tinggi ketika disimpan. Kuang pun jadi kolam yang subur untuk ikan-ikan. Padi tahunan dalam penyebutan lokal disebut pare pentaunan (padi tahunan). Ada juga istilah pareala untuk padi di sela-sela tahun yang sama. Siapa pun boleh memakai pareala atau mengistirahatkan sawah sebagai kubangan dan kolam ikan.
Baik itu kuang maupun alang, mulai hilang, terutama di kawasan perkotaan. Sementara ketika berkeliling kampung di sekitar Lembang Langda, Buntu Sopai, Dende, Piongan, Rantetayo, hingga Madandan, tradisi kuang masih lekat pada karakter petani lokal yang sehari-hari gemar menghidangkan dan menyantap ikan mas. Ketika saya berkunjung menjelang akhir Maret beberapa tahun silam, sawah-sawah sudah menghijau dan baru ditanam. Kuang-kuang sudah dipersiapkan bersamaan dengan bibit-bibit ikan. Melalui tulisan ini, saya tak hendak membandingkan mana yang lebih baik, antara cara-cara tradisional atau modern dalam bertani. Tetapi, inovasi teknologi dan pengetahuan pertanian yang tidak dilandaskan atau diadaptasi bersama dengan kearifan lokal, memiliki efek yang tak selalu menguntungkan, khususnya bagi petani dan Masyarakat Adat atau masyarakat lokal yang berkehidupan harmonis dengan budaya dan alam sekitar.
Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis lintas isu. Sesekali ia juga bekerja sebagai konsultan di bidang pariwisata. Bukunya yang berjudul Porn(O) Tour yang terbit beberapa waktu lalu telah mengajak banyak orang, terutama anak muda untuk memiliki wawasan dan kepekaan terhadap aspek etika dalam berwisata. Silakan ikuti keseharian kicauannya melalui Twitter (@nurdiyansah) dan Instagram (@penjelajah_rempah).