Kesehatan Reproduksi dan UU Pelayanan Publik bagi Perempuan dan Anak Perempuan Disabel

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
11 min readJun 21, 2024
Sampul buku “Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Perempuan dengan Disabilitas.”

Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam buku antologi berjudul Seksualitas & Kesehatan Reproduksi Perempuan dengan Disabilitas pada halaman 11–23. Buku tersebut diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada Juli 2011 di Jakarta. Tulisan ini maupun buku dibuat dan diterbitkan 5 tahun sebelum kelak Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Akses dan layanan kesehatan reproduksi merupakan salah satu hak setiap warga negara terkait pelayanan publik yang harus dipenuhi negara. Dan ketika kita menyoal hak dan layanan kesehatan reproduksi yang diskriminatif dan belum berpihak pada kepentingan perempuan, artinya adalah pula membicarakan banyak hal yang dapat menghantui perempuan dan memunculkan perdebatan pelik, mulai dari pengabaian hak kebahagiaan seksual, orientasi seksual yang berbeda, kekerasan, penyakit menular seksual, masalah kehamilan tidak diinginkan, aborsi, angka kematian ibu, akses informasi dan pelayanan, pendidikan seks yang sensitif gender, kontrasepsi, kesehatan ibu dan anak, kebijakan publik, hingga kemiskinan. Kesehatan reproduksi nyatanya tidaklah sekadar masalah medis, melainkan juga masalah sosial dan kultural. Bukan karena perempuan yang bersalah karena kurang memahami dan menjadi tidak peduli terhadap kondisi kesehatannya sendiri, tetapi ini terkait pada akses yang tidak sensitif pada situasi yang dihadapi perempuan. Sementara negara tidak cepat tanggap, kaum perempuan yang menjadi korban, terus bertambah.

Persoalan pelayanan publik, terutama kesehatan reproduksi, kemudian semakin kompleks lagi ketika kita mencoba membuka mata pada berbagai lapisan yang harus ditembus untuk mendapatkan pemenuhan hak dan layanan bagi perempuan minoritas dan marjinal. Jika bagi perempuan yang tidak memiliki keterbatasan saja, begitu banyak hambatan yang dihadapi terkait akses hak dan layanan kesehatan reproduksi yang baik, tentu menjadi sulit untuk membayangkan bagaimana kemudian hal itu menjadi tantangan ganda bagi perempuan berkebutuhan khusus atau difabel (different ability). Inilah yang kemudian membawa saya berkenalan dengan seseorang bernama Ngatiyem untuk bisa memahami persoalan melalui pengalaman hidup yang dialaminya sebagai perempuan difabel.

Cerita Ngatiyem dan Persoalan Akses Kesehatan Reproduksi

Pada siang yang terik, saya menelusuri sebuah kampung di kawasan Jatiasih. Di bawah rindang pepohonan, sebuah rumah kecil dengan papan kuning bertuliskan “Jasa Pijat” itu menjadi tujuan saya. Di sanalah sepasang suami-istri difabel tinggal bersama anak-anaknya. Seorang ibu menyambut saya dengan ramah dan mempersilakan saya duduk di ruang tamunya yang sederhana. Kami pun mengobrol.

Namanya Ngatiyem. Perempuan berusia 46 tahun tersebut bercerita pada saya bagaimana semuanya bermula. Ketika Ngatiyem berumur 5 tahun, ia mengalami sakit panas. Tidak ada dokter atau Puskesmas di kampungnya ketika itu. Hidup dalam keluarga miskin dengan 7 orang bersaudara, Ngatiyem kecil tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan hingga sakitnya kian parah dan akhirnya ia memulai hidup tanpa indera penglihatan. Tetapi, itu tidak lantas menjadikan kehidupannya dipenuhi kegelapan.

Ngatiyem tumbuh sebagai sosok yang tangguh, begitulah asumsi saya dengan menyimak apa yang sudah dialaminya ketika remaja. Ia terus berupaya melanjutkan pendidikan dan masuk asrama khusus binaan Dinas Sosial bersama kawan-kawan difabel lainnya. Di sanalah ia belajar membaca huruf braille dan keterampilan pijat. Pada usia 17 tahun, Ngatiyem telah mandiri dan memberanikan diri datang ke Jakarta untuk bekerja di sebuah yayasan yang menyediakan jasa pijat tuna netra. Di sana ia menemukan jodohnya, kemudian menikah di usia 22 tahun dengan lelaki difabel sepertinya. Kehidupan berjalan dengan baik, hingga pengalaman pahit dan menyedihkan, ia alami saat mengandung anak pertama.

Beberapa bulan setelah menikah, Ngatiyem hamil. Namun, ia baru mengetahui bahwa dirinya akan menimang bayi pada usia 4 bulan kehamilan. Itu pun ia tahu ketika menemui sang ibu yang mencurigai perutnya yang kian membesar. Kala itu, ia betul-betul tidak menyadari pentingnya memeriksakan diri ke dokter atau bidan. Selain itu, bos di tempatnya bekerja di kawasan Tebet, tidak mengizinkannya memeriksakan kandungan. Alasannya, tidak ada dokter atau bidan di sekitar situ. Puskesmas atau rumah sakit pun dikatakan berlokasi sangat jauh. Tidak ada yang peduli dan mau mengantarkannya. Semua kawannya yang difabel sibuk bekerja di panti pijat dan tidak diizinkan keluar. Kekhawatiran menyelimuti hari-harinya: “Perasaan sedih banget. Gimana, ya, caranya ke rumah sakit? Kalau melahirkan, siapa yang nanti menolong saya?” Selama 9 bulan mengandung, ia sama sekali tidak mengunjungi dokter atau bidan. Bahkan, ia masih diharuskan bekerja menjelang kelahiran anaknya. Ketika waktu kelahiran tiba, ia sekadar dibantu sang ibu yang seorang dukun beranak. Berbekal pengalaman membantu proses persalinan — dengan fasilitas seadanya dan tanpa pengobatan atau peralatan medis — Ngatiyem akhirnya melahirkan bayi yang telah meninggal dalam kandungan. Ia kemudian memutuskan berhenti dari tempatnya bekerja, lalu memeriksakan diri ke dokter. Barulah ia tahu kalau bayinya meninggal karena tekanan jantung, kelelahan, tanpa pemeriksaan dan pengobatan dokter atau bidan selama mengandung dan proses melahirkan. Kesedihan pun tidak tertahan lagi ketika itu. “Padahal, anak saya itu laki,” ujarnya kecewa.

Empat bulan setelahnya, ia mengandung lagi. Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, juga pada kehamilan ketiga. Seorang bidan menawarkan bantuan tanpa bayaran sepeser pun. Kedua anaknya adalah perempuan.

“Kalau anak sakit, siang/malam harus begadang, (bingung) mau minta tolong siapa,” ungkap Ngatiyem menjawab pertanyaan saya mengenai kesulitannya merawat anak. Beruntung Ngatiyem yang sungkan dan enggan merepotkan orang lain, memiliki tetangga yang memahami kebutuhan khususnya. Berbagai pengetahuan tentang kesehatan reproduksinya, sekadar dipahaminya dari obrolan santai dengan tetangga dan pelanggannya.

Suatu hari, Ngatiyem merasa ada yang aneh pada benjolan di sekitar ketiak dan payudaranya. Seorang pelanggan kemudian menyuruhnya ke dokter. Ngatiyem divonis memiliki kanker payudara. Tanpa tahu nyawanya dalam bahaya, Ngatiyem memulai pengobatan dengan tegar. Ia mendapat fasilitas operasi secara gratis. Semua berjalan lancar. Sayangnya, saat menjalani pengobatan dan perawatan, baik dokter maupun Ngatiyem, tidak menyadari bahwa dirinya tengah mengandung. Anak terakhir Ngatiyem pun lahir dengan kondisi daya ingat yang lemah akibat kerusakan otak selama proses rehabilitasi kanker.

Tentu saja Ngatiyem adalah sosok yang tegar dan penuh senyum-tawa. Sebagai perempuan, ia berkata kalau dirinya sangat mandiri dan bahagia dengan apa yang dimilikinya. Ia terbiasa pergi ke mana saja sendiri. Meski begitu, ia masih tidak senang mengunjungi Puskesmas atau acara penyuluhan kesehatan di Pos RW karena petugasnya tidak sensitif. Ia kerap kali harus ikut mengantre dan kesulitan mengurus administrasi pelayanan, serta tidak mendapatkan informasi yang kaya dan memuaskan. Namun, ia masih rajin mengunjungi bidan dan rumah sakit terdekat.

Obrolan bersama Ngatiyem, mendorong saya untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya kondisi panti sosial bagi anak dan kaum difabel. Saya pun datang berkunjung ke sebuah panti di Cipayung.

Suasana yang sejuk, teduh, dan nyaman, saya rasakan ketika sampai di kompleks panti sosial di Cipayung. Di sini, berjajar begitu banyak ragam panti milik pemerintah. Lingkungannya rapi, bersih, dan begitu bersahabat.

Saya memulai perbincangan dengan kawan yang bekerja sebagai staf administrasi dan guru di panti anak dengan bertanya tentang kondisi dan situasi anak-anak di panti. Ia lantas menjelaskan kalau anak-anak merasa betah dan senang berada di panti. Selain bersekolah, mereka juga banyak melakukan kegiatan bersama dengan teman sebayanya. Semua kebutuhan dasarnya dipenuhi secara gratis, bahkan keperluan pembalut bagi remaja perempuan. Penjelasan kawan baru saya itu memang betul karena saya melihat begitu banyak keceriaan di wajah anak-anak di sekitar panti anak.

Namun, saya sama sekali tidak melihat anak yang difabel. Ternyata, anak-anak difabel tidak diberikan ruang di sini. Mereka ditempatkan pada panti sosial binaan yang spesifik menangani keterbatasan khusus. Atas rekomendasi kawan di panti anak, saya pun berkenalan dengan seorang pegawai di sebuah panti sosial bagi tuna rungu-wicara.

Sebelum tahun 2010, mereka yang berada di panti sosial tuna rungu-wicara tersebut (di bawah naungan Kementerian Sosial ini) adalah yang berumur 15–35 tahun. Mulai 2011, diberlakukan kebijakan dengan hanya menampung mereka yang berusia 10–30 tahun. Artinya, anak (usia di bawah 18 tahun) dan orang dewasa dicampur menjadi satu. “Panti adalah untuk memberikan program rehabilitasi,” ungkap seorang staf Divisi Rehabilitasi Sosial ketika merespons pertanyaan saya mengenai fungsi panti. Para residen lebih banyak belajar perihal kemandirian dan keterampilan hidup. Muatan bimbingan, meliputi Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental (termasuk Agama), Bimbingan Fisik, dan Keterampilan Hidup (termasuk Kewirausahaan). Bagi anak difabel (usia sekolah) — ketika didaftarkan masuk panti — akan terlebih dulu direkomendasikan pada SLB (Sekolah Luar Biasa) dan mengupayakan anak difabel berada di bawah pengasuhan orang tua (keluarga) karena panti tidak menyediakan pendidikan formal bagi mereka. Pula ada alasan kuota yang membatasi jumlah residen yang menyebabkan panti membuat skala prioritas pada aspek kemandirian dan keterlantaran (pada anak).

Menurut Shoba Dewey Chugani, Pendiri Yayasan Sahabat Anak Saraswati, dalam spektrum yang luas, setiap anak harus ditangani dengan cara yang unik. Mengomentari anak-anak berkebutuhan khusus (terminologi yang digunakannya untuk juga menyebut anak-anak difabel), Shoba menegaskan bahwa pemerintah harus memiliki inclusion program di setiap sekolah, tetapi juga menyediakan pelatihan bagi para guru mengenai bagaimana cara menangani anak berkebutuhan khusus dengan tepat dan mendidik lingkungan anak (keluarga dan teman) dalam menangani anak berkebutuhan khusus dengan hormat dan bermartabat. “Mereka (anak-anak berkebutuhan khusus, seperti difabel mental) dianggap tidak terkendali, sehingga tidak diterima di sekolah umum. Dipandang aneh, berbeda, dan dipahami secara salah. Para guru menganggap anak seperti itu sebagai yang berperilaku buruk dan para teman mengejek. Adalah benar jika anak tersebut mengganggu yang lain dan anak lain menjadi kesal, tetapi kemudian mereka akan belajar mencintai dan memahami anak berkebutuhan khusus.” Shoba Chugani pun menekankan penanaman rasa kasih sayang bagi anak pada awal pertumbuhannya agar mereka dapat belajar bertanggung jawab pada sikap terhadap kawan-kawannya yang berkebutuhan khusus.

Lalu, bagaimana dengan isu kesehatan reproduksi? Pengetahuan kesehatan reproduksi belum menjadi prioritas pengetahuan dan pemahaman. Muatannya diselipkan pada Bimbingan Mental. Yang diajarkan adalah mengenai bahaya seks bebas, bimbingan rumah tangga (persiapan berkeluarga), kesehatan reproduksi anak perempuan, dan hambatan komunikasi. Para remaja difabel biasanya bertanya-tanya mengenai apakah melakukan hubungan intim itu boleh atau tidak, dosa atau tidak sebab ketertarikan seksual pun mereka miliki (sebagai juga adalah makhluk seksual). Sementara dengan keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang didapat, arus informasi terhadap mereka terus mengalir melalui berbagai media massa, telepon seluler, dan social networks/internet di mana para difabel (khususnya remaja) aktif di ruang-ruang tersebut.

Pelecehan di panti dijelaskan hampir tidak ada. Tetapi di luar panti, kemungkinan itu telah terjadi. Dengan marjinalisasi dan label yang dilekatkan pada perempuan difabel, mereka menjadi lebih rentan, mulai dari kekerasan non-fisik, seksual, hingga pemerkosaan. Persoalan aborsi bagi perempuan difabel (seperti difabel mental) yang hamil karena perkosaan, masih sangat kontroversi. Biasanya, bayi akan tetap dipertahankan dengan jalan mencari orang tua asuh, meski si ibu sebagai perempuan difabel adalah korban perkosaan yang tidak memahami kondisinya dan tidak memiliki kemampuan untuk mengurus si bayi.

Proses pembinaan dan rehabilitasi di panti umumnya memakan waktu 3 tahun. Setelahnya, mereka akan disalurkan bekerja (magang) dan memulai berwirausaha. Keterampilan yang diajarkan, antara lain menjahit, las (perbengkelan), pertukangan, kerajinan kayu, komputer dan desain grafik, bordir, kewirausahaan, tata boga, dan lainnya.

Bagi para pegawai/perawat panti yang cukup kritis (umumnya adalah generasi muda dan baru bekerja di panti) pada persoalan kesehatan reproduksi, telah pula mengusulkan adanya substansi tentang muatan kesehatan reproduksi yang sensitif dan memadai bagi anak dan kelompok difabel. Namun, upaya mereka biasanya menghadapi hambatan karena benturan birokrasi; fungsi-fungsi yang sudah ditentukan (sehingga menjadi kaku dan tidak fleksibel pada penyesuaian); perang urat saraf (dengan pihak terkait); kesenjangan generasi (dengan pegawai lama, sehingga sulit untuk membuka ruang diskusi kritis); dan mobilitas struktural (seperti pejabat yang seringkali dipindah-tugaskan, sehingga kebijakan pun ikut berubah).

Tanpa adanya sistem pendukung yang memadai bagi kelompok difabel (anak dan perempuan) dan kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi mereka, maltreatment terhadap anak dan perempuan bisa saja terjadi. Kelompok difabel akan semakin dimarjinalkan oleh masyarakat dan negara. Akses sebagai kebutuhan pendukung menjadi salah satu persoalan utama kelompok difabel terkait pelayanan publik terhadap pendidikan, kesehatan, sarana/fasilitas publik, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan lebih dari sekadar sebuah pengakuan, melainkan juga pelayanan publik yang tidak diskriminatif, dapat diakses, dan tidak mengabaikan kepentingan kelompok difabel dalam kondisi apa pun.

Kehadiran UU tentang Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah hak setiap warga negara, namun pemenuhan dan penikmatan pelayanan publik saat ini, tentu saja masih dinilai tidak memadai, termasuk bagi kelompok difabel yang masih kurang diakui dan dipenuhi hak-haknya sebagai warga negara. Lahirnya Undang-Undang №25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) menjadi harapan dan alat advokasi baru bagi kelompok difabel, sebab kebijakan tersebut memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak dasar menikmati pelayanan publik yang setara, adil, berkualitas, dan bermartabat.

Apa yang menjadi persoalan pelayanan publik di Indonesia, khususnya bagi kelompok difabel? Fransisca Fitri, Koordinator MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik) — sebuah jaringan advokasi OMS (organisasi masyarakat sipil) yang mengawal proses kemunculan UU Pelayanan Publik — menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga persoalan mendasar dalam pelayanan publik, antara lain (1) terkait rendahnya kualitas produk layanan serta masih diskriminatif, seperti ketiadaan akses bagi kelompok difabel; (2) rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan (service delivery) yang disebabkan oleh paradigma penyelenggaraan dan mentalitas aparat, ditandai dengan sangat sedikit instansi yang menyediakan pelayanan, tidak ada kejelasan prosedur komplain dan penyelesaian sengketa, tidak ada sistem monitoring evaluasi dan perencanaan yang baik oleh instansi penanggung jawab dan penyedia pelayanan publik, serta minimnya partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan dalam penyelenggaraan layanan; dan (3) penegakan yang belum kondusif oleh berbagai institusi (Ombudsman Republik Indonesia, DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta lembaga pengawas masyarakat). Selain tiga persoalan tersebut, Fransisca juga menambahkan masalah terkini terkait pasca-pengesahan UU Pelayanan Publik, yaitu lambatnya pelaksanaan undang-undang, belum dimulainya proses harmonisasi dengan kebijakan sektoral, dan penghambatan proses penyusunan kebijakan turunannya oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

“UU Pelayanan Publik sangat strategis bagi upaya perbaikan kualitas layanan. Substansi UU ini sangat progresif, menggunakan paradgma HAM yang (pula) mengatur peluang-peluang partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan publik, misalnya dalam penyusunan standar pelayanan, pengaduan, penyelesaian sengketa, pengawasan, serta evaluasi. UU ini mengatur hak dan kewajiban penyelenggara dan warga sebagai penerima layanan, termasuk kewajiban penyelenggara untuk memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus bagi kelompok khusus dan rentan,” jelas Fransisca. Meski pengaturannya masih sempit dan bersifat umum, UU Pelayanan Publik dapat memberikan payung hukum dan jaminan akses terhadap kepentingan difabel.

Dua tahun sudah sejak disahkannya UU Pelayanan Publik. Diakui bahwa implikasinya terhadap akses pelayanan publik, memang belum ada. Selain terus mendesak negara terhadap perbaikan dan pemenuhan pelayanan publik yang adil dan bermartabat, dibutuhkan partisipasi masyarakat (termasuk kelompok difabel) untuk mengawasinya dengan menggunakan ruang-ruang terbuka yang telah dijamin UU tersebut, seperti penyusunan dan pengawasan pelaksanaan standar pelayanan bagi kelompok berkebutuhan khusus sebab — diakui Fransisca Fitri — kehadiran UU tidak lantas mengubah layanan publik kesehatan menjadi berkualitas bagi kelompok difabel.

Keterlibatan dan keaktifan kelompok difabel dan kelompok yang bekerja bagi kelompok tersebut dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, adalah kunci bagi upaya meraih pelayanan yang adil dan berkualitas. Fransisca Fitri menjelaskan “Ketika terjadi keuhan atau pelanggaran atas standar pelayanan, mereka harus melakukan pengaduan, baik secara internal kepada unit layanan tersebut maupun secara eksternal kepada Ombudsman RI. Sementara pada sisi lain, negara harus menguatkan peran-peran Ombudsman RI dalam mekanisme penyelesaian sengketa, mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi.”

MP3 sendiri sejak bersepakat mengawal proses legislasi RUU Pelayanan Publik, telah menaruh isu difabel sebagai salah satu perhatian utama dan menjadi bahasan khusus dalam konsolidasi anggota MP3 di Ciloto pada 2010 mengenai ruang yang sedikit terbuka bagi kelompok difabel. Agenda utama yang dihasilkan, meliputi persoalan partisipasi, mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa, pelayanan khusus bagi yang berkebutuhan khusus, dan penguatan penyelenggara. Penyelenggara pelayanan publik sudah seharusnya didorong untuk mau menghadirkan kelompok (kepentingan) difabel sebagai kelompok rentan dan marjinal untuk mendiskusikan standar pelayanan. Begitu pula kelompok difabel sendiri yang perlu didorong dan diberikan ruang dalam pembuatan pelayanan publik yang partisipatif di seluruh unit pelayanan publik.

Cerita dan pengalaman yang dialami Ngatiyem menjadi pembelajaran berharga terhadap bagaimana pengabaian yang dilakukan oleh negara terhadap kebutuhan kelompok difabel (terutama pengetahuan dan pemahaman kesehatan reproduksi), dapat menimbulkan dampak yang tidak bisa dipandang remeh. Ngatiyem ialah sosok yang menunjukkan perjuangan kaum difabel untuk mandiri dan bertahan di tengah-tengah situasi yang tidak sensitif pada kebutuhan difabel. Kita semua tentu berharap tidak ada lagi anak, khususnya anak perempuan, yang harus kembali mendapatkan perlakuan diskriminatif dan berada pada kondisi yang mengancam kehidupan masa depannya, termasuk kehidupan keluarganya ketika ia memutuskan untuk berkeluarga dan memiliki anak. Di sisi lain, situasi yang berbeda di panti sosial dan panti rehabilitasi (bagi kelompok difabel) memberikan gambaran yang dapat saja mengulang kembali apa yang dialami Ngatiyem sebagai akibat kurangnya akses informasi dan layanan mengenai kesehatan reproduksi. Hadirnya UU Pelayanan Publik menjadi penegasan bahwa akses dan pelayanan publik, termasuk kesehatan reproduksi, bagi kelompok difabel adalah suatu keharusan yang mendesak untuk diakomodir.

Sumber Tulisan

Jurnal Perempuan Edisi 53: Kesehatan Reproduksi, Andai Perempuan Bisa Memilih. 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Jurnal Perempuan Edisi 65: Mencari Ruang untuk Difabel. 2011. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Payung Pelangi untuk Komunitas Difabel dalam http://difabelperempuan.blogspot.com/2010/01/payung-pelangi-untuk-komunitas-ifabel.html.

Wawancara dengan Ngatiyem dilakukan pada Minggu, 29 Mei 2011 di Jatiasih, Bekasi.

Wawancara dengan seorang pegawai di sebuah panti sosial dilakukan pada Senin, 30 Juni 2011 di Jakarta Timur.

Wawancara dengan Fransisca Fitri dilakukan pada Rabu, 1 Juni 2011 di Jakarta.

Wawancara dengan Shoba Dewey Chugani dilakukan pada Rabu, 1 Juni 2011 di Jakarta.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah