Merintis Lingkungan Akademis Berperspektif Gender

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
12 min readJun 20, 2024
Sampul “Jurnal Perempuan” No. 61.

Artikel ini pertama kali diterbitkan pada Jurnal Perempuan No. 61 dengan tema “Pendidikan, Media dan Gender” pada Desember 2008 (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan) sebagai Topik Empu pada halaman 35–45 dan diedit oleh Olin Monteiro.

Ketika masih menjadi seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) di sebuah universitas swasta di Jakarta, saya pernah mengajukan untuk menggunakan metodologi feminis guna penelitian tentang konstruksi perempuan pada “koran kuning.” Dosen pembimbing penelitian skripsi saya, lantas menanggapi bahwa dengan menjadikan perempuan sebagai sumber pengetahuan pada penelitian tentang perempuan, akan membuat penelitian saya menjadi subjektif, tidak universal, dan terlalu memihak (pada perempuan). Tiga alasan tersebut, tentu terkesan langsung mematahkan kesahihan penelitian berperspektif feminis. Meskipun sudah saya jelaskan bahwa tindakan saya menjadikan pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan dan membuat perempuan sebagai subjek pada penelitian, adalah sebagai wujud tindakan afirmatif terhadap peran dan posisi perempuan pada media massa yang saya teliti, tetap saja pembimbing saya tidak terima pemaparan saya yang membeberkan fakta bahwa ilmu pengetahuan tidaklah netral, tak objektif, tak universal, dan berkelamin. Padahal jika mau ditelusuri lebih jauh terhadap pengagungan terminologi ilmu pengetahuan yang mencakup metode, epistemologi, dan metodologi, jelas penelitian bercorak feminis, lebih mampu menjawab kebenarannya. Perdebatan panjang dengan lebih dari satu dosen yang banyak memakan energi pun, akhirnya saya kompromikan dengan memilih metode deskriptif-kualitatif dengan teknik analisis framing, namun tetap berparadigma konstruksionis-feminis. Dan kelelahan dengan pihak kampus (dosen/pembimbing skripsi), malah semakin berlanjut ketika saya memasuki pembahasan bab selanjutnya sampai bab kesimpulan.[1]

Pengalaman berada pada lingkup kental patriarki di kalangan akademis seperti itu, kerap membuat bertanya-tanya: seberapa besarkah pemahaman para tenaga pengajar terhadap lingkup sosial-budaya kita yang penuh dengan dominasi laki-laki dan pengsubordinatan perempuan? Mengapa pendidikan tinggi di Indonesia malah tidak menjamin seseorang untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di hadapan kita? Sungguh, saya tidak bermaksud skeptis terhadap pendidikan, melainkan sekadar memberikan fakta kalau tidak semua ruang lingkup akademis (universitas), bisa mengakomodasi kehausan terhadap pengetahuan di luar pengetahuan yang maskulin. Lingkungan kampus, teknik pengajaran, serta buku acuan pun terkadang masih merepresentasikan perempuan dan laki-laki stereotipe khas patriarki. Dengan kata lain, perempuan betul-betul dipandang sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki. Tidak mengherankan juga, atmosfer seperti itu menjadikan orang-orang di dalamnya menjadi kaku dan kebal terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Imbasnya, tetap perempuan dipandang tidak lebih intelek daripada laki-laki, baik sebagai peserta didik maupun pengajar. Pun banyak penelitian (skripsi) tentang perempuan yang dilakukan mahasiswa, terkesan menjadikan perempuan sekadar bahan penelitian. Dan jangan heran pula, setelah lulus dari Fikom, banyak peserta didik bergelut di bidang media dengan ideologi yang tidak berperspektif gender. Yang tampak pada teks, foto, dan tayangan media yang gemar bermain-main dengan seksualitas perempuan sebagai objek dan komoditi.[2]

Pentingnya Mengintegrasikan Gender dan Metodologi Feminis dalam Kampus

Feminisme sebagai suatu ide atau gerakan sosial yang mengarah pada pembebasan perempuan, mungkin bukan sesuatu yang sulit diterima masyarakat saat ini, tetapi memandang feminisme sebagai suatu metodologi dalam penelitian guna meningkatkan kualitas perempuan yang umumnya subordinat, masihlah banyak diragukan kalangan yang kurang sadar terhadap pentingnya mengangkat pengalaman dan mendengarkan suara perempuan sebagai titik tolak dalam proses mencapai kebenaran. Tentu kebenaran yang dimaksud adalah yang responsif gender dan tidak male-biased. Dan bukan tanpa alasan kalau banyak orang bependapat ilmu pengetahuan bersifat seksis dan androsentris. Nyatanya, ilmu pengetahuan pada awalnya memang memiliki jenis kelamin, yaitu laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari data statistik berbagai penelitian dan fakta di lapangan[3] bahwa jumlah perempuan masih jauh di bawah jumlah laki-laki dalam persoalan memperoleh pendidikan. Ketimpangan pada kuantitas ini, terjadi bukan atas pengesahan pada anggapan umum yang mengatakan perempuan tidak lebih pintar secara rasio dibandingkan dengan lelaki, melainkan dikarenakan konteks sosial dan budaya patriarki yang lebih mengutamakan lelaki untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Tentu semua ini ada kaitannya dengan pemisahan ranah domestik dan publik yang memposisikan perempuan berada pada ruang yang dianggap tidak membutuhkan pendidikan tinggi untuk melakukannya.

Setelah mengetahui kuantitas perempuan yang minim pada akses pendidikan, kelanjutannya adalah ilmu pengetahuan akan dikuasai oleh lelaki sebagai dampak pemposisian lelaki di ruang publik tersebut. Tak diragukan pula, dosen lelaki bisa dipastikan berjumlah lebih banyak ketimbang dosen perempuan. Pengambil kebijakan pada berbagai institusi pendidikan, akhirnya tetap didominasi lelaki. Patriarki pun, bisa jadi makin menguasai dunia akademis. Sehingga, lagi-lagi, bukan jaminan pula untuk perempuan yang memperoleh pendidikan tinggi, akan memiliki perspektif yang responsif gender. Kejadian ini nyata terjadi pada beberapa dosen perempuan dan mahasiswi yang sulit untuk menerima pemahaman feminisme. Bayangkan kalau yang perempuan saja terkadang sulit, apalagi yang lelaki di lingkup patriarki. Padahal, pengenalan terhadap feminisme, baik bagi tenaga dosen dan peserta didik, diperlukan untuk menunjang pemahaman terhadap bidang studi yang dipilih peserta didik dan diajarkan oleh tenaga dosen. Tidak bisa ditampik bahwa feminisme selama tiga dekade ini telah banyak menyumbangkan isu pembebasan, keadilan, dan kesetaraan tidak hanya pada isu perempuan, namun juga melampaui isu orientasi seksual, ras, kelas, dan kaum tertindas lainnya.[4] Ini membuktikan bahwa pencapaian feminisme sebagai alat meraih pemahaman dan pembebasan, telah dipenuhinya dengan tidak mengindahkan etika proses memperoleh kebenaran dalam ilmu pengetahuan.

Dengan memiliki perspektif feminis, epistemologi ilmu pengetahuan akan mendapat kritik. Bahwa bagaimana sesuatu hal bisa memperoleh ilmu pengetahuan, dapat terbukti dengan melihat sejauh mana keterlibatan perempuan dalam proses produksi ilmu pengetahuan. Melalui kritik tersebut, selanjutnya akan menimbulkan kesadaran publik pada realitas yang menunjukkan adanya dominasi laki-laki yang menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan (dan kaum tertindas lainnya). Sehingga, pendekatan yang bisa disampaikan akan lebih kepada penjajaran terhadap pembongkaran stereotipe di masyarakat patriarki.[5]

Maka, menjadi sangat penting bagi pihak kampus untuk mengintegrasikan gender dan metodologi feminis ke dalam mata kuliah yang akan diajarkan kepada peserta didiknya. Dengan adanya pengintegrasian gender, peserta didik akan memiliki pemahaman menyangkut konteks sosial, budaya, hukum, dan politik yang melibatkan perempuan dan laki-laki di dalamnya. Pengintegrasian gender ini, bisa disisipkan pada mata kuliah dasar dan pengantar dan beberapa mata kuliah pokok di Fikom, yang mencakup konteks yang disebutkan, seperti Agama, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Pengantar Antropologi Sosial Budaya, Pengantar Psikologi, Pengantar Sosiologi, Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Filsafat dan Logika, Pengantar Ilmu Politik, Komunikasi Antar Pribadi dan Kelompok, Komunikasi Lintas Budaya, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik, Komunikasi Sosial Pembangunan, Psikologi Komunikasi, dan Sistem Sosial Budaya Indonesia.

Sedangkan untuk pengintegrasian metodologi feminis, bisa dimasukkan ke dalam mata kuliah Metode Penelitian Sosial dan Metode Penelitian Komunikasi. Dengan menggunakan metodologi feminis[6], tak hanya membuat analisa bersifat teoritis, melainkan praktis yang sesuai dengan kenyataan yang dialami perempuan pada lingkungannya. Standpoint yang berpihak pada kaum yang dirugikan (perempuan), dipilih untuk lebih meningkatkan sifat yang objektif dengan memilih subjektivitas terhadap kaum yang diperlakukan tidak adil. Menjadikan yang diteliti sebagai pengetahuan penelitian, merupakan pengetahuan yang sah karena berdasarkan fakta yang riil. Untuk itu pendekatan kualitatif guna pengidentifikasian, diambil sebagai metode. Empati dan partisipasi peneliti amat menentukan dalam pengidentifikasian bermacam-macam masalah yang dihadapi perempuan pada lingkungan yang tidak mementingkan kepentingan mereka. Dengan pengintegrasian gender dan metodologi feminis, diharapkan para peserta didik akan mampu melakukan penelitian yang tidak bias gender dan menguntungkun perempuan.

Lalu, untuk mahasiswa jurusan Ilmu Jurnalistik di Fikom, dapat pula ditambahkan dengan pengenalan terhadap jurnalisme berperspektif gender. Mata kuliah yang dapat disisipkan, di antaranya Dasar-dasar Jurnalistik, Bahasa Indonesia Jurnalistik, Teknik Mencari dan Menulis Berita, Hukum dan Etika Pers, Indepth Reporting, Penulisan karya Jurnalistik, Interview, Jurnalistik Foto, Jurnalistik Siaran, Manajemen Industri Media Massa, dan Ekonomi Politik Media.[7] Contohnya, pada mata kuliah Teknik Mencari dan Menulis Berita, Penulisan Karya Jurnalistik, dan Interview, para mahasiswa dapat diberikan pemahaman tentang porsi perempuan yang lebih penting sebagai korban (misalnya kasus perkosaan). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan jangan bersifat menekan dan mengutamakan empati terhadap diri si perempuan. Jangan malah menjadikan kekerasan yang dialaminya sebagai bahan guyonan untuk tubuhnya yang diperkosa, yang tampak pada tulisan hasil wawancara yang membuat pembaca geli bercampur sedih dan tidak berempati. Dengan mengenalkan corak jurnalisme yang sensitif gender, diharapkan para lulusan Fikom yang akan bekerja di industri media massa, mampu menciptakan iklim yang berkesetaraan dan berkeadilan bagi pemberdayaan perempuan. Tentu bagi keseluruhan mata kuliah yang saya sebutkan, tidak perlu diintegrasikan setiap mata kuliahnya, peserta didik hanya perlu diberikan pemahaman yang sesuai dengan bidang yang mereka geluti yang bersinggungan langsung dan tak langsung pada isu-isu perempuan. Hingga setelah lulus, peserta didik dapat menjadi profesional yang mampu menjadi agen perubahan terhadap lingkungan atau kondisi yang patriarkis, bukan malah makin menguatkan akar patriarki di kalangan para intelek dan pekerja profesional.

Hambatan

Tentu dalam proses mengintegrasikan gender dan metodologi feminis ke dalam kampus, sangatlah tidak mudah. Tetapi ini bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Berdasarkan pengamatan saya terhadap sebuah kampus swasta tempat saya menempuh pendidikan, kendala bertubi-tubi merupakan lapisan-lapisan yang harus dikupas untuk melakukan pengarusutamaan gender di sebuah universitas.

Kendala yang akan dihadapi, mencakup pertama, lingkungan akademis yang patriarkis; kedua, kesulitan birokrasi dengan dominasi laki-laki sebagai pengambil kebijakan; ketiga sikap antipati pada pihak luar yang ingin memberikan pemahaman tentang gender dan feminisme; dan keempat, keterbatasan sumber daya yang memiliki pemahaman kuat tentang gender dan feminisme. Dengan melihat kendala-kendala tersebut, jelas untuk mengintegrasikan gender dan metodologi feminis ke dalam kampus, membutuhkan energi yang tidak sedikit dan waktu yang tak singkat.

Pada lingkungan akademis yang patriarkis ini ditunjukkan dengan staf pengajar dan peserta didik yang terbawa pada arus patriarki. Ketidakadaan organisasi kampus (unit kegiatan mahasiswa) yang kritis dan berbicara tentang perempuan, bisa turut menguatkannya. Kadang pula kentalnya nuansa religi menjadi hambatan terhadap anggapan yang mengatakan feminisme selalu bersebrangan dengan agama (ketuhanan). Sikap tidak peduli pada pentingnya pembahasan mencakup gender dan feminisme terkait penyudutan jenis kelamin perempuan, telah membuat sebuah kampus tidak memiliki sensitivitas gender yang kuat. Selanjutnya, lingkungan akademis dengan dominasi laki-laki sebagai pengambil kebijakan, juga menciptakan kekakuan pada sistem pendidikan yang tak tergoyahkan. Lalu, ada pula kampus yang tidak mau menerima masukan akan pentingnya mengintegrasikan gender dan metodologi feminis ke dalam pembelajaran mata kuliah dasar dan pengantar, serta pada mata kuliah metode penelitian dan mata kuliah wajib. Dua kendala di atas merupakan lanjutan dari sikap antipati kampus yang tidak mau terbuka pada serangkaian kunjungan organisasi pemerintah dan organisasi non-pemerintah yang berniat untuk mengadakan seminar atau workshop tentang pemahaman gender dan metodologi feminis. Sikap antipati kampus seperti ini, menunjukkan ketakutan pihak kampus terhadap pembongkaran peran dan posisi perempuan di masyarakat kita. Sikap tersebut merupakan representasi dari ketakutan lelaki terhadap peran dan posisinya yang mereka pikir sudah aman dengan memposisikan perempuan pada stereotipe yang ada. Pada kasus tertentu, pihak kampus memang menerima kedatangan pihak pemerintah atau non-pemerintah untuk memberikan workshop tentang penerapan metodologi feminis. Tetapi karena penyelenggara sebelumnya tidak melakukan pendekatan pada pihak kampus, alhasil acara tersebut sepi pengunjung dan tentu saja tujuan acara tersebut tidak bisa direalisasikan dengan baik. Oleh karena itulah, kendala selanjutnya adalah ketaktersediaan sumber daya. Beberapa kampus yang bersikap terbuka terhadap seminar dan workshop tentang isu perempuan kadang kala tidak berlanjut. Ini disebabkan oleh pihak kampus yang tidak mau menyediakan sumber dayanya untuk keberlanjutan tujuan sebuah acara yang membahas isu-isu perempuan. Maka, bagi setiap organisasi yang hendak mengadakan seminar/workshop, harus terlebih dulu melakukan pendekatan dengan pihak kampus dan menyepakati untuk melakukan komitmen bersama. Kontinuitas dan pengawasan, sangat diperlukan demi terciptanya sumber daya yang memiliki perspektif dan suasana kampus yang mempunyai sensitivitas gender yang kuat.

Menuju Kesetaraan dalam Pendidikan

Meski bukan satu-satunya cara untuk menciptakan kehidupan yang berkesetaraan dan berkeadilan, pendidikan merupakan senjata penting untuk menghancurkan patriarki. Dan tidak ada cara lain untuk merombak dunia akademis yang bias gender selain dengan meningkatkan partisipasi perempuan, baik sebagai staf pengajar maupun peserta didik. Pandangan yang mengekslusifkan pendidikan untuk laki-laki, sudah harus dihapus. Pendiskriminasian perempuan dalam lingkup pendidikan pun perlu disadari sehingga dibutuhkan tindakan afirmatif bagi perempuan.

Seandainya kampus masih dipandang sebagai institusi yang mendesakkan rasionalitas dan pengetahuan, jelas perempuan akan terus dipandang tidak sebanding dengan lelaki secara intelektual pada konteks kultur yang patriarki. Sebab gender feminin, sampai saat ini masih memposisikan perempuan sebagai makhluk yang tidak ambisius dan kompetitif dalam pengetahuan. Hal ini dikarenakan pada prioritas perempuan masih diperuntukkan bagi keluarga. Maka, tidak jarang perempuan enggan untuk menempuh pendidikan tinggi dan meningkatkan kualitas pengetahuannya karena harus memikirkan pengaturan urusan domestik, termasuk anak, suami, dan rumah tangga.

Mau tidak mau, tindakan afirmatif dalam rangka mengarusutamakan gender dalam pendidikan, mutlak diperlukan. Tindakan afirmatif tersebut bisa berupa kemudahan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan (sebagai peserta didik) dan masuk ke dalam birokrasi kampus (sebagai staf pengajar). Beasiswa pada jenjang S1, S2, bahkan S3, diperlukan bagi perempuan agar mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan membuka kesempatan bagi perempuan untuk menjadi staf pengajar dengan modal pendidikan tinggi tersebut. Pihak kampus pun semestinya tidak lagi memandang sebelah mata bagi perempuan yang hendak melamar menjadi dosen. Sehingga, terjadi peningkatan pada kuantitas yang berimbas pada kualitas perempuan dalam ilmu pengetahuan. Dengan begitu, perempuan dapat memiliki suara dalam birokrasi pengambilan keputusan pada sistem pendidikan.

Selain itu, pihak kampus harus bisa bersikap terbuka untuk seminar dan pelatihan yang diselenggarakan pihak pemerintah dan non-pemerintah tentang isu-isu perempuan, baik bagi dosen dan peserta didiknya. Tidak lagi bersikap otoriter dan paternalistik, melainkan mengarah pada sikap dialogis yang terbuka pada kritik. Tetapi sebelumnya, pihak penyelenggara harus melakukan pendekatan dan bernegosiasi pada komitmen bersama. Jika pendekatan gagal dilakukan dengan pengambil keputusan, pendekatan lain bisa dilakukan dengan mahasiswa dan mahasiswi setempat. Sehingga pihak penyelenggara memiliki kekuatan lebih untuk mendesak birokrasi kampus bersama mahasiswa dan mahasiswi.

Seleksi ketat pada kurikulum, teknik pengajaran, dan buku-buku acuan, pun diperlukan agar tidak lagi ada benih-benih yang menyuburkan bias gender di lingkungan akademis. Setelah kampus telah membuka diri, barulah kampus menyediakan atau mempersiapkan sumber daya, bisa berupa pengajar dari luar atau dari dalam kampus, yang memiliki pengetahuan luas terhadap feminisme dan isu gender. Lantas, secara perlahan pengintegrasian gender, metodologi feminis, serta pengenalan jurnalisme berperspektif gender, dapat benar-benar masuk ke dalam kurikulum kampus.

Namun, jangan dulu merasa puas dan tuntas. Kampus yang awalnya bernuansa patriarki, bisa saja kembali. Untuk itu perlu diadakan pengawasan secara berkala. Pengawasan semacam ini tidak melulu harus terus-menerus diakomodasi pihak luar, melainkan bisa dari kalangan peserta didik. Caranya adalah dengan mendorong peserta didik untuk berinisiatif mendirikan kelompok berupa komunitas atau organisasi di antara mereka, untuk secara rutin melakukan diskusi dan kajian terkait feminisme dan isu gender. Sehingga, para peserta didik memiliki pengaruh yang signifikan dalam menyebarkan dan mempengaruhi birokrasi kampus terhadap kebijakan yang tak sensitif gender. Dorongan bagi peserta didik, awalnya bisa dilakukan oleh pihak pemerintah dan non-pemerintah dengan melakukan pendekatan selain kepada pihak pemegang kebijakan kampus. Atau untuk menyemangati peserta didik kalau mereka bisa melakukan ini, pihak pemerintah/non-pemerintah tersebut dapat turut mendatangkan sebuah komunitas atau organisasi mahasiswa dari kampus lain, yang telah mapan dalam menerapkan diskusi dan kajian terkait feminisme dan isu gender. Hal ini penting dilakukan untuk semakin menguatkan komunitas dan organisasi di kampus setempat, agar mampu membina jaringan antar-kampus maupun pihak non-kampus, yang dapat saling mendorong, menguatkan, dan meng-up-date informasi terbaru.

Ke depannya, diharapkan gambaran otoriter yang tampak pada sikap kampus yang tidak terbuka pada kritik, dapat terhapus sedikit demi sedikit. Ini menunjukkan bahwa keaktifan dari partisipasi peserta didik, masuk dalam pertimbangan untuk pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Sampai sekarang, sudah banyak organisasi pemerintah dan non-pemerintah yang mengadakan seminar dan workshop sejenis, namun karena kurangnya pendekatan dan tak adanya komitmen untuk keberlanjutannya, acara mereka bisa dibilang gagal. Tetapi, untungnya sejumlah mahasiswa/mahasiswi dan dosen kampus negeri dan swasta yang ada, telah mulai menggeliatkan komunitas atau organisasi yang mencakup isu feminisme dan gender. Seperti berdirinya “komunitas ungu”, kelompok diskusi, pers kampus, dan lainnya; dosen-dosen yang sadar akan pentingnya masalah ini pun mulai menyisipkannya pada mata kuliah yang diajarkannya tanpa menunggu aba-aba perubahan kurikulum pendidikan di kampusnya. Membuktikan peluang menuju pengarusutamaan gender dalam pendidikan, terbuka luas, sehingga pihak pemerintah/non-pemerintah jangan merasa kapok dengan pengalaman lalunya mengadakan acara serupa di kampus. Justru harus dilanjutkan dengan perubahan pada strategi yang lebih matang dan pendekatan khusus terhadap kondisi kampus yang akan didatangkan.

Tantangan seperti di atas, saya kira bukanlah anggapan yang mengatakan kesetaraan dan keadilan bagi semua adalah mustahil, melainkan serangkaian proses menuju perubahan. Saya yakin, kita semua menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci bagi semua untuk melakukan perubahan. Dan pendidikan yang menjadi kunci pada patriarki, adalah pendidikan yang berlaku bagi semua, bukan berarti disamaratakan terhadap kebutuhan semua yang berbeda. Dengan merealisasikan pengarusutamaan gender di kalangan akademis, produksi ilmu pengetahuan akan terus berlanjut kepada bentuk pengetahuan yang tak melulu maskulin.

Catatan Belakang

[1] Hal ini merupakan pengalaman pribadi saya ketika menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Jurnalistik di sebuah universitas swasta di Jakarta. Kejadian tersebut benar-benar saya alami saat hendak mengajukan proposal skripsi dan berlanjut hingga proses akhir skripsi saya tentang konstruksi perempuan di koran kuning, yang saya lakukan sekitar akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008.

[2] Mempermainkan seksualitas perempuan sebagai objek dan komoditi, adalah salah satu kesimpulan yang saya temukan dari penelitian saya yang berupa skripsi dengan judul Konstruksi Perempuan pada Koran Kuning: Analisis Framing tentang Representasi Pemberitaan Kekerasan Terhadap Perempuan di Harian Lampu Merah Edisi 15 Oktober-15 November 2007.

[3] Salah satunya bisa kita lihat pada penjelasan data statistik perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki yang terdapat pada tulisan Iva Sasmita; Pendidikan Alternatif perempuan: Perlawanan Terhadap Mainstream Pendidikan dalam Jurnal Perempuan, Edisi 44: Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Jakarta: YJP, 2005) h. 7–16.

[4] Penjelasan ini telah dipaparkan pada bagian pendahuluan (rangkuman dari kumpulan berbagai artikel panjang) dalam Gender and Education, Volume 7, №1, 1995, Carfax, International Periodical Publisher.

[5] Ibid.

[6] Penjelasan lebih jauh tentang metodologi feminis, lihat Jurnal Perempuan, Edisi 48: Pengetahuan Perempuan (Jakarta: YJP, 2006).

[7] Pengintegrasian gender, metodologi feminis, dan jurnalisme berperspektif gender ke dalam distribusi mata kuliah, saya lakukan berdasarkan distribusi dan pengelompokkan mata kuliah berdasarkan buku pedoman sebuah universitas swasta di Jakarta, pada Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Jusrnalistik untuk tahun ajaran 2004–2005. Setiap kampus tentu memiliki perbedaan untuk distribusi dan pengelompokan mata kuliah, bahkan setiap fakultas dan jurusan pada kampus yang sama, sudah pasti memiliki perbedaan mata kuliah yang disesuaikan dengan bidang yang harus diajarkan pada peserta didiknya.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah