Queer di Masa Lansia (Bagian I): Aktivis Gay — Dede Oetomo

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
16 min readNov 25, 2021
Dede Oetomo bersama kucingnya. Ilustrasi oleh Sirusaa.

Saya queer di penghujung tahun usia muda. Menurut penelitian terkait dengan kategori umur, saya akan digolongkan orang paruh baya (middle age) pada rentang di atas 35 tahun. Namun, meski sudah come out sejak usia 20-an, sampai sekarang pun saya masih tak bisa menjawab pertanyaan ibu saya tentang bagaimana kelak saya menua sebagai queer tanpa “keluarga.” Maksudnya, terkait dengan keputusan untuk tidak berkeluarga selayaknya kaum straight yang menikah dan ber-anak pinak — mungkin juga, membujang di masa lansia (di atas 60 tahun).

Jujur saja, itu kerap membuat saya gusar sekaligus merefleksikan tentang pandangan atau pengalaman saya yang, bukan hanya bias, tapi — tanpa saya sadari — pula mencerminkan nilai atau sikap diskriminasi terhadap orang-orang tua (ageism). Saya ingat pada suatu malam-malam yang penuh ingar-bingar di Moonlight, — dengan keramaian yang didominasi oleh anak-anak muda, pastinya — saya melihat beberapa orang lansia. Terlintas di benak saya, ada kekaguman bercampur kecemburuan dalam melihat orang tua itu lebih energik dan punya stamina yang penuh gairah untuk berdansa. Atau, saya juga pernah melihat seorang lansia yang sekadar berkeliling dan melihat-lihat sendirian. Mungkin, saya pikir, ia sedang bernostalgia tentang masa muda di salah satu diskotik tertua di Jakarta itu.

Jika saya punya kesempatan untuk bisa menasihati diri saya di masa lalu tersebut, maka saya mau bilang: “Bisakah kamu tak usah punya pretensi apa-apa ketika melihat ada orang tua datang ke kelab, baik yang sendirian atau bersama teman maupun yang asyik berdansa atau sekadar jalan-jalan?” Orang dengan usia berapa pun (selama di atas usia 18 tahun) bebas datang ke tempat hiburan malam dengan tujuan apa pun: bersenang-senang, bernostalgia, mabuk, mencari teman kencan, bersosialisasi, bahkan berburu seks. Saya menyadari, masalah lansia ternyata tidak melulu menyoal orang-orang tua, melainkan juga (pikiran dan sikap) kalangan muda.

Lalu, bagaimana kita (sebagai queer) yang muda (sepantasnya) melihat mereka yang lansia dan membayangkan diri sendiri menua? Pada awalnya, saya hampir tak memiliki referensi dan miskin imajinasi untuk mendiskusikan hal tersebut dengan teman-teman queer sebaya. Kemudian, pengalaman saya mencari dan mengumpulkan arsip sejarah gerakan LGBTIQ+ bersama Queer Indonesia Archive (QIA), membuat saya menemukan banyak hal. Itu bukan hanya tentang pembelajaran dari pengalaman hidup individu atau komunitas queer di masa lalu, melainkan koneksi untuk saya punya peluang menyaksikan bagaimana kini mereka menjalani masa lansia. Mereka — di usia senja — ada yang sibuk dan tak menunjukkan tanda-tanda akan rehat dalam karier maupun aktivisme; ada yang memutuskan hidup bersama keluarga, baik itu yang lajang sebagai queer tinggal bersama keponakan atau teman maupun yang akhirnya discreet dengan menikah dan punya anak seperti keluarga hetero; ada yang hidup mandiri dan menikmati melakukan berbagai hal sendiri tanpa takut dilabeli sebagai orang tua yang kesepian; ada yang bertahan dengan gaya hidup selayaknya ia di masa muda yang aktif berkencan dan terbuka pada segala macam bentuk relasi; ada pula yang tinggal di rumah singgah; dan lain-lain yang membuat saya punya pandangan betapa beragamnya kehidupan mereka yang lansia. Tentu saja, ada tantangan-tantangan yang khas terkait dengan diskriminasi dan stigma berbasis usia.

Sementara itu, film karya Ray Yeung dengan judul Suk Suk (Twilight’s Kiss), — yang diakui sang sutradara, terinspirasi dari buku Oral Histories of Older Gay Men in Hong Kong: Unspoken but Unforgotten — tentang dua pria gay yang bertemu pada situasi keduanya telah memiliki keluarga dan tak lagi muda, membuka mata saya tentang potret dan kompleksitas kehidupan, terutama relasi romantis atau seks dari gay lansia yang berhadapan dengan hasrat (desire as a sexual/romantic gay) dan tekanan sosial yang heteronormatif. Visibilitas dan representasi queer yang lansia pun tidak hanya berkelindan dengan masalah queer secara umum (homofobia), melainkan pula ageism serta kesenjangan pada keterhubungan antara generasi muda dan tua.

Saya berbincang dengan Dede Oetomo, seorang aktivis generasi pertama dari gerakan LGBTIQ+ di Indonesia, tentang topik ini pada Sabtu malam (20/11/2021). Mas Dede — begitu saya menyapanya, meski sebagian kawan ada yang akrab menyapanya “oma” — pertama kali come out pada usia akhir 20-an tahun 1979. Pada awal 1980-an, ketika pulang ke Tanah Air, ia turut melahirkan Lambda Indonesia (1982) yang merupakan organisasi gay pertama di Nusantara. Lalu, tahun 1987, ia mendirikan GAYa NUSANTARA (GN) yang eksis hingga kini. Sampai sekarang, Mas Dede tetap berkecimpung dalam berbagai kegiatan pro-demokrasi yang menekankan interseksionalitas dengan isu keberagaman seksual. Pada 6 Desember 2021, Mas Dede akan berulang tahun yang ke-68.

“Gay yang lansia,” kata Mas Dede menyebut dirinya, sehingga agar saya jangan salah sebut dalam mengobrol. “Aku merasa nyaman dipanggil lansia karena aku memang lansia.”

Potret Dede Oetomo. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Dede Oetomo.

Pertama-tama, menurut Mas Dede, apa yang membedakan antara menjadi gay yang lansia dan straight yang lansia?

Waktu usia 30-an, enggak terpikir. Ya, pasti akan tua. Bahkan, saat bertemu dengan yang usia 60 dan 80-an, aku enggak ada empati. Pada usia 60-an, aku mulai terpikir karena lihat teman-teman yang seumur atau lebih tua. Tapi, aku melihat yang positif. Aku lihat mereka yang 70 dan 80 tahun masih aktif, baik sebagai gay biasa (bukan aktivis) atau gay yang aktivis.

Memang umumnya, lansia itu ada keluarga — yang straight punya istri atau suami dan anak. Kadang, istri atau suami masih hidup dan (tinggal) serumah atau anak-anak sudah keluar dari rumah. Ada juga yang janda atau duda seumur aku dan tinggal sendiri. Jadi, tak terlalu istimewa. Aku enggak terlalu termakan dengan ide kalau kita berkeluarga secara hetero, pasti aman. Ada yang janda dan tak menikah, waktu muda tinggal sendiri dan kerja di kantor. Lalu waktu tua, ikut adiknya dan, meski punya anak empat, tapi hampir tak pernah datang (menjenguknya). Itu tipikal cerita yang tak bagus, jadi aku tak percaya orang harus punya ‘keluarga.’ Kalau punya pasangan, ya. Aku selalu punya pasangan dan enggak pernah enggak ada pasangan meski kayaknya aku enggak bisa mempertahankan relasi lebih dari 10 tahun. Di dalam pikiran, aku pikir sudah tua dan mungkin yang ini (akan) terakhir. Aku usia 67, sudah ‘dekat,’ loh! Jujur, aku menghitung, usia 77 sudah banyak yang meninggal. Katakan 80 tahun, masih sehat ngga? Bandingkan yang dekat, adalah ibuku sudah tak bisa mandiri dan harus didampingi dan jalan di dalam rumah pun butuh walker (alat bantu jalan) dan keluar rumah sendiri tak mungkin. Dia tak mau punya asisten pribadi atau perawat yang dampingi. Maunya dengan anak cucunya, tapi mereka pada sibuk.

Jadi, (gay maupun straight yang lansia) sama saja. Ada yang beruntung usia 85, suami atau istri masih hidup, tapi aku kenal pasangan gay atau lesbian yang pada usia itu masih bersama. Masalah bersama atau sendiri, ada contoh tragis. Yang sendiri, kemudian kerja freelance dan kalau sakit, tak bisa kerja. Jadi, akhirnya pindah ke rumah anak hanya untuk meninggal.

Apa tantangan khas yang hanya dihadapi oleh Mas Dede sebagai lansia dan gay terkait dengan diskriminasi, stigma, atau hal lain?

Jadi, gay yang berpasangan, tapi belum terdaftar atau tercatat dalam pernikahan atau partnership, itu tak bisa masuk sebagai tanggungan, misalnya. Kalau aku punya istri, itu bisa. Jadi, setiap tahun aku rugi untuk bayar pajak. Aku tidak terlalu menghitung. Itu saja!

Ketika aku putus dengan pasangan pertama, aku keluar dari rumah. Meski rumah itu namaku, tapi dia ikut menyumbang untuk beli, aku biarkan tinggal di situ. Dia kebetulan punya uang dan mau beli, jadi silahkan. Mengingat relasi yang baik sebelumnya, aku cuma minta diganti uang harga rumah sesuai PBB dan dia pun perlu bayar 50 persen. Itu harta gono gini dan itu kesepakatan sendiri dan keluargaku tak keberatan dan tak ikut campur. Soal diskriminasi lainnya, soal waris belum terjadi karena belum mati, ya! Hahaha…. Itu belum tahu milikku (kelak) mau ke mana. Pernah terpikir mungkin sebagian dihibahkan dan sebagian untuk keponakan meski aku melihat (kesejahteraan keponakan) pada cukup. Belum terpikir (untuk mengurus waris). Aku diingatkan teman gay yang notaris untuk buat surat waris (sebab) kalau nanti tidak, berantakan. Di bawah sadar, masih malas mengurusi karena ada kaitannya dengan kematian yang belum mau aku hadapi, tapi banyak yang mengingatkan untuk harus punya surat waris.

Apa pendapat Mas Dede dengan fenomena sugar daddy — yang diidentikkan sebagai lelaki tua yang mapan, mungkin kaya — menjalin relasi dengan pasangan yang jauh lebih muda di dalam komunitas atau kultur lelaki gay?

Aku mengerti kalau pasanganku perlu uang kuliah dan dibantu, ya aku bantu. Ya, enggak apa-apa. Aku ngga anti. Itu relasi yang tak seimbang sebetulnya sebab yang satu lebih punya uang dan kuasa. Tapi, dari segi relasi kuasa non-finansial, itu sama saja. Orang muda bisa saja punya kekuasaan. Yang penting, tidak memanfaatkan ketidak-berimbangan. Itu (fenomena sugar daddy) berkembang sudah lama dan aku alami sejak ‘90-an. Hubunganku yang kedua dan ketiga, itu dengan yang beda usia jauh. Sekarang sudah beda 40 tahun. ‘Kan sugar baby-nya cocok dan dia suka yang tua. Kalau enggak, ya enggak akan dilihat dan enggak akan menyapa.

Mengenai stereotipe sugar daddy sendiri?

Di Asia, masih, tapi di Barat, sudah agak berkurang. Itu dulu pola di Barat juga. Sugar baby ketika dewasa juga (ada kemungkinan) jadi sugar daddy. Sampai-sampai ada yang mengajari brondong untuk memulai, jadi brondongnya juga harus dengan tipe suka yang tua dan sabar.

Sampul majalah GAYa NUSANTARA — diterbitkan oleh Yayasan GAYa NUSANTARA — edisi September-Oktober 1998 menampilkan Dede Oetomo (tengah) ketika menerima Felipa de Souza Award. Sumber foto: Diakses dari koleksi arsip QIA.

Mungkin kita kekurangan representasi atau melekat prasangka yang menggambarkan sosok gay itu yang muda, stylish, seksual…. Lalu, kita kerap abai untuk melihat yang lansia pun bisa jadi adalah queer atau — tentu saja — yang queer (muda) akan menjadi tua juga. Apa komentar Mas Dede mengenai hal itu?

Aku kenal banyak orang yang lebih tua dariku, jadi aku enggak heran. Masalahnya, teman-teman yang lebih tua itu biasanya enggak ‘beredar.’ Aku enggak ke kelab ketika kadang aku ke Bali. Malas saja! Enggak merasa perlu. Mungkin karena aku enggak minum (minuman beralkohol) dan enggak merokok, jadi daripada dugem, mengantuk. Sekitar 2015, — ada seminar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta — masih sempat temani pendeta-pendeta (ke kelab) dan goda mereka: ‘Itu bagaimana hukum agama pergi dugem dan ada kemungkinan bertemu partner seks dan bersama pendeta?’ Mereka tertawa. Sebetulnya, beberapa pendeta itu justru yang banyak minum. Aku enggak minum karena (alasan) kesehatan.

Ada seorang gay umur 30-an menulis di blog-nya, bahwa sebagai pemimpin gay aku sangat tidak tipikal, bukan body fitness, terlalu serius. Enggak stylish. Ya, karena enggak harus. Aku dari muda begitu. Aku (berasal) dari gerakan dan perkembangan intelektual, jadi aku tak mau masuk ke stereotipe meski aku enggak anti kalau ada yang mau dendong (berdandan dengan makeup atau tampil stylish) atau apa sajalah, itu terserah, tapi bukan aku. Mungkin karena coming out aku melalui baca, aku ‘kan nerd, lalu bergabung sama organisasi di kampus di Amerika, jadi banyak menekankan pemikiran. Ya, jujur ingin selalu berusaha untuk punya pasangan seks dan akhirnya pasangan romantis juga. Aku ngga anti dengan seksnya dan itu bisa saja.

Apakah Mas Dede pernah mengalami diskriminasi atau cibiran sebagai seorang lajang di masa tua? Atau, mungkin pula dapat sindiran dari komunitas atau individu queer terhadap queer yang lansia berkencan atau mencari pasangan atau sekadar menjadi lajang?

Kayaknya kalau cowok enggak terlalu jadi soal. Aku tipe introvert dan tak punya banyak teman. Waktu aku masih aktif di Grindr, Hornet, dan Blued, ada yang ketus (dengan bilang), ‘Ini ngga tahu diri, sudah tua kok masih cari.’ Aku diam dan biarkan saja. Aku berani bilang, sesudah usia 50-an, karena aku orang yang tipe menunggu disapa, kalau cocok, ya (lanjut). Tapi, (aku) bukan tipe yang cari. Kalau dia sapa, aku layani. Kalau dia cukup sabar, ya bertemu. Aku enggak merasa (tidak pantas main aplikasi perkencanan karena) sudah tua. Secara fisik, aku merasakan ada perubahan — mungkin karena tua atau diabetes. Untuk konsultasi ke dokter (terapis seks), belum merasa perlu karena masih bisa berfungsi. Kebetulan aku ‘vanila,’ jadi enggak terlalu macam-macam. Aku tahu bahwa seks itu enggak ada urusan umur. Aku juga mengamati teman-teman yang disabilitas dan mereka punya sex life meski hanya ciuman, rangsangan di dada, di tetek… Kalau lumpuh ‘kan ada yang tak bisa (misalnya penetrasi atau ejakulasi), tapi masih bisa (untuk melakukan aktivitas seks yang lain).

Persoalan apa yang dihadapi oleh kita terkait dengan rendahnya visibilitas queer yang lansia? Apa betul ada anggapan queer yang lansia cenderung lebih tertutup (discreet) ketimbang yang muda?

Ada berbagai macam perkembangan, jadi tak bisa digeneralisir. Yang aku kenal, teman di Bangkok berusia 83 tahun, dia masih pergi ke ‘rumah kucing’ dan beli (jasa pekerja seks). Tapi, yang jadi discreet, masih ada. Zaman aku masih aktif di aplikasi (perkencanan), biasanya yang mengeluh itu yang muda: ‘Om, kok, susah cari yang seumuran Om?’ Aku bilang, ‘Mungkin mereka gaptek dan yang muda enggak terbuka.’ Di Surabaya, pergi saja ke Warung Pak Ran di Pataya, ada banyak untuk yang cari usia 50 tahun ke atas. Sebagian lagi, ketika mengeluh tak ada yang tua, ya karena yang tua sudah dalam relasi dan mapan dan sudah tidak ‘keluar’ lagi. Rata-rata sudah punya pasangan, walaupun sebagian bisa threesome dan mengajak, sebagian lagi dengan pasangan (saja) dan enggak bersedia mengajak orang lain. Jadi, problemnya di orang brondong — yang suka dengan yang tua. Aku dulu come out enggak langsung dapat dan enggak gampang dapat dan perlu sabar. Ada aplikasi perkencanan, itu lebih gampang cari pasangan.

Kita punya stigma kalau orang-orang muda itu kerap dianggap lebih kuat dari orang-orang tua, khususnya dalam hal seks. Atau, mungkin banyak orang berpikir bahwa lansia itu tidak aktif secara seksual atau tidak pantas menjadi seksual. Apa pendapat Mas Dede tentang itu?

(Orang tua) responsnya lebih lambat. Dulu, aku umur 20–30-an, sama satu orang harus dua kali (orgasme). Ketika usia 50-an, mulai berdampak. Respons melambat, tapi bukan berarti enggak ada sex life. Jangan digeneralisasi, selama mampu dan ada kesempatan. Di situ, kita menang. Orang hetero enggak bisa ‘kan begitu kalau ada brondong atau yang muda, susah. Ada yang muda muncul, tahu-tahu kapan pun mau.

Setiap individu queer masing-masing punya perjalanan hidup yang unik, termasuk proses penerimaan atau pengakuan diri (come out). Apakah ada cerita atau komentar mengenai individu queer yang come out di usia lansia? Pada situasi itu, bisa jadi kian kompleks ketika ia telah memiliki keluarga layaknya lansia straight: hidup dengan keluarga maupun anak cucu. Ada banyak dari kita, mungkin membayangkan bagaimana sebagai anak come out ke orangtua, tapi bagaimana jika itu dibalik: orangtua atau kakek-nenek yang come out pada anak atau cucunya?

Kalau aku, ya karena terbuka dengan orangtua dan saudara atau om atau tante jauh tahu dari media. Aku come out tahun ‘79-an akhir dan tahun ‘80-an awal sudah muncul di media. Tahun ’85, aku sudah out di media. Tapi, enggak ada yang mempersoalkan. Pernah waktu ada anggota keluargaku lamaran, ada om dari calon istrinya yang gay dan langsung dekati aku dan partner-ku dan minta dicarikan lekong (lelaki). Biasalah! Seluruh keluarga tahu (kalau aku gay) dan keponakan tahu dari orangtuanya atau baca di media. Yang secara eksplisit ngomong, ada satu keponakanku yang seniman dan tinggal di Sydney, — ketika diwawancara media di sana — dia bilang, ‘Proud of my uncle.’ Tapi, ada (keponakan) yang tanya waktu kecil. Dia hitung ada suami atau istri si ini dan itu. Dia tanya, ‘Kamu istrinya siapa?’ Aku tunjukkan pasangan cowok. (Dia bilang,) ‘Boleh sama Oma?’ (Dijawab oleh ibuku,) ‘Tak apa-apa.’ (Lalu, ia merespon,) ‘That’s cool.’ Ada kekhawatiran ketika keponakan menikah: bagaimana dengan (penerimaan) keluarganya. Tapi, so far, enggak ada masalah.

Aku agak kritik (mereka) yang takut bicara sama anaknya karena itu enggak jujur. Nanti kalau ketahuan, bukan karena bapaknya yang mengaku, mungkin dia bisa terganggu juga kejiwaannya. Dia bisa merasa dibohongi. Jangan dikira kalau enggak coming out, itu aman, ya. Aku (pernah) menyaksikan ada yang marah merasa ditipu dan tak dihargai. Menurutku, sebaiknya dibuka saja. Tapi, tak semua orang bisa. Kita ada yang sudah ada dalam pernikahan, jadi tak bisa mengaku ke suami atau istri, tak bisa dipaksa. Tapi, idealnya, orang itu terbuka saja.

Bagaimana dengan individu atau pasangan queer (yang lansia) yang mengadopsi anak?

Itu tak mudah. Ada satu (kawanku) jadi bapak asuh keponakannya — dia dan partner-nya. Kakaknya (lelaki) meninggal dan istrinya juga meninggal, akhirnya anak ikut sama dia dan dia terbuka sama keponakannya dan tetap panggil ‘om.’ Jangan dikira! Anak-anak ini bisa lebih sengit dari om-nya sendiri (dalam membela LGBTIQ+). Sudah banyak contoh orang yang queer dan pengalaman teman-teman transpuan itu punya ‘anakan’ dan mereka terbuka. Aku punya teman satu, usia 50 sekian, dia diasuh oleh waria. Dia pernah ngomong di radio, ketika ada transgender dilecehkan, marahnya (bisa) lebih dari marahku saat dikata-katai di media.

Aku selalu bilang, gay, lesbian, dan trans ada di mana-mana. Bisa suami kita, istri kita, jadi siap-siap saja. Aku pernah bilang di kelas (kampus ketika mengajar), ‘Kalian ini, jangan dikira pasanganmu ngga ada yang gay.’

Secara kontekstual, dalam komunitas kita, ada ‘ani-ani’ (‘anak’), ‘mami,’ ‘papi,’ atau lainnya.

Ya, itu enggak apa-apa. Dia cenderung mereproduksi keluarga heteroseksual. Kita ngga bisa ekstrim atau melarang. Selama itu dilakukan dengan sukarela dan ada yang mau dan tak keberatan, jadi bebas. Tapi, selama ngga ada abuse, ngga apa-apa. Ada mereka yang begitu taat sama aturan di masyarakat. Aku dari muda cenderung melanggar. Aturan yang tak adil, harus dilanggar, — dengan risiko ada sanksi hukum. Aku cenderung sangat curiga dan tak percaya kekuasaan atau aturan itu. Itu terjadi di keluargaku. Tak semua keponakanku menikah. Ada yang tinggal dengan partner hetero. Ada yang memilih child free. Keluargaku berkembang dan ibuku enggak keberatan cucunya tinggal dengan seseorang dan ada yang tak punya anak. Aku tak mau bilang, keluargaku segala-gala, tapi di keluargaku, melanggar pakem itu sudah biasa dan mungkin aku yang pertama mendobrak.

Jadi, kehadiran Mas Dede yang come out ke keluarga maupun publik di usia relatif muda, bisa membuat anggota keluarga lain lebih kritis?

Itu yang biasa aku lakukan dengan ibuku: mendekonstrusi keluarga. (Kami di dalam keluarga bisa membicarakan) siapa yang pacaran dengan tukang becak seberang rumah. Sebagian biasa saja. Ada yang pacaran dengan kulinya…. Alangkah indahnya ketika umur 70-an masih bisa pacaran ‘kan!

Apa pandangan Mas Dede mengenai kesepian (loneliness) dan merasa sepi (lonely) — di mana sebagai seorang queer, mungkin sejak kecil kita terbiasa diasingkan atau merasa asing (alienated) di dunia yang straight?

Aku menikmati being alone. Malah kalau lagi ingin sendiri, ada orang muncul, kadang malas. Ini ciri orang tua (mungkin). Hahaha…. Pada usia ini, aku (menjadi lebih) jujur, jadi, aku akan bilang, mengantuk (saat mengantuk), apalagi kalau ada orang itu bicaranya membosankan. Aku bilang, ‘Maaf, sudah mengantuk.’ Kebetulan aku bukan tipe orang yang suka bergaul dengan banyak orang, jadi enggak jadi masalah.

Kebetulan aku selalu punya pasangan. Jadi, kalau mau dihitung, mulai come out pada ‘79-an akhir, dua tahun kemudian punya pasangan sampai sekarang. Aku enggak pernah alone meski tak selalu tinggal bersama. Enggak pernah merasa kesepian. Paling bilang (ke pasangan), ‘Kok, enggak mampir lebih sering?’ Jadi, dari segi perasaan, enggak masalah.

Ada kekhawatiran melihat orang-orang yang lebih tua, terutama yang tergantung. Tapi, dijalani saja, kelak itu terjadi. Dugaanku, saudara atau teman-teman di komunitas dan organisasi, tak akan membiarkan. Mungkin (aku) akan dicarikan perawat yang temani aku di rumah. Apalagi, kalau dapat perawat seksi, lumayan ‘kan. Hahaha…. Ada kawan usia sekitar 68 tahun yang stroke berat, jadi sangat tergantung. Terakhir dia ke Surabaya, — ditemani perawatnya yang gay, tapi bukan pasangannya — dia itu bisik-bisik dengan cara bicara yang susah: ‘Aku carikan cowok!’ Buatku, secara moral, aku tak bisa menolak. Jadi, aku dan mantanku carikan yang cocok. Tapi, (dia mungkin) cuma peluk, pegang, dan cium. Aku merasa senang ketika seminggu kemudian dia meninggal, karena pada akhir hidupnya bisa menyenangkan (dia). Ada film Prancis, The Diving Bell & The Butterfly, bercerita tentang orang stroke yang dibantu perawat. Dia hanya mengedipkan satu matanya, dan diaturkan cara menerjemahkan kedipan mata sebagai huruf apa, dan dia menulis buku. (Menjadi tua,) ada kekhawatiran soal biaya, tapi iparku bilang, nanti keponakan-keponakan bisa bantu.

Lalu, bagaimana dengan pelabelan terkait dengan post-power syndrome terhadap lansia?

Pada sebagian orang, itu betul. Dia terbiasa dengan punya kekuasaan dan harus dilayani dan dibantu. Ketika itu hilang, dia kaget. Aku enggak. Sekarang, kalau aku ditanya apa ambisiku, enggak ada. Sepuluh tahun lalu masih terpikir (salah satunya ketika mencoba menjadi calon komisioner di Komnas HAM, tapi tak terpilih). Aku enggak menyesal, percobaan itu bagus. Itu mendidik masyarakat dan ada gunanya.

Aku enggak religius, tapi terpengaruh ajaran Buddha. Aku percaya kalau orang itu harus melepaskan keterikatan. Meski, itu belum berhasil (sebab) kalau melihat brondong cakep, masih. Hahaha…. Lainnya, enggak tahu ya, enggak ada. Misalnya, katakanlah sudah tak ada yang mengajak ngomong, ya enggak apa-apa. Malah senang kalau ada yang muda, muncul dan bisa ngomong. Kalau dalam perspektifku, ada yang kurang benar, ya biar mereka (yang muda) belajar dari kesalahan. Ada keinginan buat memoar, tapi itu lebih ke wishful thinking. Tapi, banyak orang yang sudah menulis (tentang aku). Aku enggak ada post-power syndrome. Malah senang waktu di Heaven Club, pernah dengar (ada anak muda berkata,) ‘Itu Dede Oetomo gay, ya?’ Aku senang ada orang enggak percaya aku gay. Brondong! Ya, enggak apa apa.

Apa nasihat Mas Dede untuk kawan-kawan queer muda — yang kelak tentu akan jadi tua? Mungkin, ada sesuatu yang perlu diingat, dipikirkan, direncanakan, atau lainnya dalam menghadapi masa lansia?

Aku bukan tipe orang yang kalkulatif. Ketika memutuskan berhenti sebagai pegawai negeri dan keluar dari Unair (Universitas Airlangga), enggak pernah perhitungan. Bulan ini, sebulan dapat (pendapatan) berapa, ya belakangan aku hitung, ini cukup dan tak berlebihan. Ya, sudah. Jadi, itu tergantung orangnya saja. Kalau orang yang melakukan wealth management, silahkan diperhitungkan. Jadi, dipikirkan tunjangan lansia jika khawatir. Kalau enggak, ya support system ‘kan dari dulu keluarga. Di keluargaku, (itu) masih jalan. Kalau ditawari keponakan, ada kamar (dirumahnya untuk ditinggali), aku tolak dan mending tinggal di rumah sendiri. Kalau tak memungkinkan lagi, — aku enggak suka istilah panti jompo, tapi — ya tinggal di assisted living. Kita enggak tahu.

Ada orang yang mati langsung (artinya, tanpa sakit yang berkepanjangan). Di keluargaku bilang, itu untung. Yang enggak untung, yang ditinggal sebab mengatur orang mati itu tak mudah. (Pemikiran mengenai hal tersebut) muncul pada usia sekarang. Dulu tak pernah. Jadi, ngga apa-apa sejauh ini. Yang paling dekat, tahun lalu aku sakit dua bulan karena ada persoalan ginjal, tapi sekarang sudah terkelola dengan baik. Waktu itu, ada support system, jadi tinggal di rumah sendiri dan masih bisa mandiri, bisa menyetir (mobil). Ke rumah sakit juga sendiri untuk periksa. Tahun lalu, dua bulan aku konsultasi sama enam dokter spesialis dan pakai BPJS dan enggak keluar biaya.

Itu nilainya orang gay, jadi dijalani dan dihadapi saja!

Dede bersama kucing kesayangannya. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

Di usia yang tak lagi muda, Dede Oetomo tampaknya tidak mengenal kata “pensiun.”

Pria yang pernah menerima Felipa de Souza Award dari International Gay and Lesbian Human Rights Commission (sekarang Outright Action International) pada 1998 dan Utopia Award for Pioneering Gay Work in Asia pada 2001, masih punya kesibukan segudang. Ketika hendak mengatur janji mengobrol untuk tulisan ini, Mas Dede pun mengabari pada saya tentang hari-harinya yang dipenuhi rapat-rapat daring dan berbagai urusan. Tapi, ia begitu ramah menyambut selayaknya ia selalu begitu terbuka dan berusaha menyediakan upaya untuk membantu kawan-kawan muda lainnya untuk mempelajari bermacam hal.

Saat ini, Mas Dede memiliki kawan istimewa yang berusia 28 tahun. Dia tidak tinggal serumah dengannya. Tapi, ia bisa begitu menikmati kesendirian tanpa takut merasa sepi dan sendiri. Ada seekor kucing yang menemaninya sehari-hari.

Queer di Masa Lansia merupakan sebuah seri esai kolaborasi yang menghadirkan beragam sosok dan perbincangan dengan para individu queer lansia, termasuk aktivis senior, yang mewakili beragam identitas maupun komunitas LGBTIQ+ di Indonesia. Seri ini hendak merekam pandangan dan pengalaman hidup yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi generasi queer muda untuk membayangkan kelak menua sebagai queer. Melalui kisah-kisah tersebut, kita (yang muda) juga berupaya membangun koneksi lintas generasi sekaligus menaruh hormat dan rasa terima kasih atas buah dari perjuangan para senior untuk kemudian dapat kita teruskan dan kontekstualisasikan.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah