Queer di Masa Lansia (Bagian V): Ratu Waria — Merlyn Sopjan

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
22 min readJun 8, 2023
Merlyn Sopjan. Ilustrasi oleh Sirusaa.

Gerakan transgender, khususnya transpuan, punya cerita yang panjang di Indonesia. Dan itu bukan hal yang bisa dianggap remeh untuk melihatnya pada konteks ruang dan waktu ketika aktivisme itu tumbuh di masa Orde Baru. Tentu saja, dampak dari perjuangan para transpuan senior telah memberikan makna dan warisan yang relevan, tidak hanya bagi gerakan queer kemudian, melainkan juga membuka peluang bagi gerakan sosial lain untuk berproses dalam melakukan perubahan yang mendasar dan revolusioner. Tetapi, jika ada dari kita masih meragukan, apalagi menyangkal itu pada hari ini, maka seharusnya kita tersadar betapa kita sungguh-sungguh gagal melihat aktivisme yang sudah dimulai puluhan tahun silam tersebut. Saya ingin menyindirnya begitu karena seringkali aktivisme kawan-kawan transpuan kerap diremehkan, bahkan tidak dipandang sebagai gerakan sosial karena tidak memiliki bentuk selayaknya advokasi politik kebijakan (heavy political activism) dalam wujud kampanye politik, aksi protes turun ke jalan, atau lobi-lobi di gedung parlemen dan pemerintah. Saya tidak bermaksud menakar derajat pada pembandingan tersebut, tetapi justru menegaskan bahwa keduanya punya peran dan dampak yang sama-sama patut diperhitungkan.

Lalu, kembali ke singgungan di awal, petunjuk apa yang membuat kita menegaskan perihal aktivisme komunitas transpuan di masa lalu? Saya menduga itu dapat saja dimulai dari sebuah kontes kecantikan.

Seorang transpuan unjuk kebolehan pada kontes kecantikan Ratu Wadam Indonesia 1969. Sumber foto: Arsip Perpustakaan Nasional.

Ketika Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menginisiasi penyelenggaraan Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta (PRJ) pertama tahun 1968, komunitas transpuan yang kala itu mengidentifikasi diri dengan sebutan “wadam” (kemudian pada 1970-an berganti menjadi “waria”), telah bergerak untuk memperjuangkan ruang aman serta pengakuan dan perlindungan hak transgender. Menurut penelusuran arsip yang dapat digali, kontes kecantikan yang dikhususkan bagi kelompok transpuan, sudah dilakukan sebagai bagian dari rangkaian PRJ dengan nama Pemilihan Ratu Wadam Indonesia. (Kita dapat memastikan waktu untuk itu dengan mengatakannya akhir tahun 1960-an sebab terdapat sumber berbeda yang menyebutkan penyelenggaraan pertama kontes tersebut pada 1968 dan 1969.) Untuk menghubungkannya pada konteks Indonesia, — mengacu pada berbagai dokumentasi media cetak saat itu — komunitas transpuan telah mengalami berbagai penindasan, mulai dari olok-olokan di jalan hingga razia oleh aparat terhadap transpuan pekerja seks yang berujung pada kasus tewasnya transpuan di sungai. Kehadiran ajang Ratu Wadam punya makna penting, baik itu menunjukkan bahwa orang-orang transgender itu ada melalui representasi publik maupun membuka mata pada riilnya penindasan terhadap kelompok transgender sebagai minoritas. Pemilihan Ratu Wadam diterima dengan baik bukan hanya oleh kalangan komunitas transpuan, melainkan publik secara umum dengan munculnya tren berbagai kontes kecantikan yang menjamur di berbagai kota pada dekade 1970-an hingga awal 2000-an, setidaknya sebelum gelombang konservatisme melanda Tanah Air. Sampai sekarang, sebagian kontes kecantikan serupa masih bertahan di sejumlah daerah. Hal itu pun menjadi bagian dari subkultur komunitas LGBTIQ+ di Indonesia, khususnya transpuan, yang bertahan selama lebih dari separuh abad.

Pemilihan Ratu Wadam Indonesia adalah milestone gerakan transgender sebab menjadi momen awal terhadap pengorganisasian komunitas transpuan pada era 1960-an. Setelahnya, mereka yang terhubung dengan penyelenggaraan kontes itu, melahirkan Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) pada awal 1970-an. HIWAD tercatat sebagai organisasi transpuan pertama di Indonesia yang kelak berganti nama menjadi Himpunan Waria (HIWARIA). Dari sanalah, muncul para pionir atau generasi aktivis transgender pertama di Jakarta. Kita dapat menyebut segelintir mereka, antara lain Maya Puspa (Ketua HIWAD); Myrna (Ketua HIWAD penerus Maya Puspa yang pada kepemimpinannya nama HIWAD berganti menjadi HIWARIA sekaligus pendiri kelompok seni dan hiburan transpuan Fantastic Dolls pada 1977); dan Nancy Iskandar (pernah menjadi Wakil Ketua HIWAD, pegawai pemerintah transpuan di Dinas Sosial DKI Jakarta, dan menjadi pendiri Forum Komunikasi Waria/FKW Jakarta bersama Myrna pada 1993, kini berganti nama menjadi Forum Komunikasi Waria Indonesia/FKWI). Dari berbagai organisasi dan kelompok yang disebut itulah jalinan aktivisme transgender di Indonesia, berkembang pesat di masa rezim militer dan otoriter Soeharto. Perjuangan mereka berhasil mempengaruhi kebijakan dan program pemerintah serta budaya pop lewat musik, film, dan medium lain dengan ragam representasi transpuan: sahabat Myrna, Vivian Rubiyanti, berhasil berjuang dalam permohonan ke pengadilan negeri untuk mengganti identitasnya dari laki-laki ke perempuan pada 1973 dan kisahnya diangkat ke layar lebar dengan judul Akulah Vivian (1977); superstar Dorce Gamalama memulai kariernya dari Fantastic Dolls dan semakin tenar setelah film Dorce Sok Akrab (1989) dan Dorce Ketemu Jodoh (1990) booming di pasaran; Jeanny Stavia (Avi) — model pada video klip Naif berjudul “Posesif” — adalah Ratu Waria Indonesia 1997; sahabat Nancy Iskandar, yakni Lenny Sugiharto adalah pendiri dan pimpinan Yayasan Srikandi Sejati yang berdiri pada 1998; anak asuh Nancy Iskandar, yakni Mami Yuli, seorang transpuan mantan preman jalanan yang kini berpredikat doktor S3 hukum, menjadi Ketua FKWI.

Saya juga terinspirasi film dokumenter Paris Is Burning (1990) yang merekam ball culture sebagai subkultur queer kulit hitam dan Latin di New York, Amerika Serikat pada era 1980-an. Maka, saya pun mencoba untuk mengenal lebih lanjut tentang kultur kontes kecantikan di Indonesia melalui sosok seorang Ratu Waria yang telah wara-wiri di berbagai kontes kecantikan berskala nasional dan internasional. Ialah Merlyn Sopjan yang bergelar sebagai Putri Waria Indonesia dan pernah mewakili negara kita di ajang Miss International Queen.

Merlyn Sopjan.

Pada suatu sore di akhir pekan, saya berjumpa dan berbincang secara khusus dengan perempuan kelahiran 16 Februari 1973 itu yang akrab saya sapa Mba Merlyn. Ya, usianya tak lagi muda dan ia tak sungkan untuk mengakuinya pada orang-orang selayaknya capaian hidup yang ia rayakan. Mba Merlyn tampil anggun dengan dandanan kasual berkaus hitam dan celana denim, lipstik merah dan maskara hitam yang belakangan jadi kekhasannya, serta riasan makeup yang segar. Rambut panjangnya, ia ikat ke belakang.

“Aku tak menolak tua. Semakin tua buat aku semakin bangga, bahagia. Ibarat wine, makin tua itu yang makin dicari dan mahal,” katanya separuh bercanda sambil menyeruput segelas lemonade dingin. “Aku pikir usiaku hari ini adalah anugerah. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk melewati usia 50.”

Di awal perbincangan, Mba Merlyn menegaskan pada saya bahwa ia lebih memilih kata “waria” sebagai identitasnya. Ia berpesan agar kata itu yang digunakan pada tulisan ini meski penggunaan “transpuan” diakuinya telah menjadi hal yang umum hari ini. Ia beralasan kalau penyebutan waria adalah bagian dari dirinya. Sehingga, pada esai ini saya menggunakan sekaligus kata “waria” untuk menghormati pilihan Mba Merlyn dan “transpuan” untuk pula menghormati kata yang merujuk pada padanan trans woman yang telah diperkenalkan dan dipopulerkan komunitas transpuan saat ini.

Saya memulai obrolan dengan mengajak Mba Merlyn bernostalgia tentang masa kecil di tempat kelahirannya di kota tertua di Jawa Timur serta bagaimana awalnya ia terjun ke dalam gerakan queer dan kontes kecantikan di era 1990-an.

Aku itu selalu bercerita ke orang kalau masa kecilku indah karena aku dapat perhatian dari orang-orang terdekat, terutama Papi, Mami, dan kakak-kakak. Aku bungsu dari empat bersaudara: kakak sulung lelaki dan dua di atasku perempuan. Sebagai orang Jawa, aku diharapkan lahir dengan weton yang bagus dan itu dijawab Tuhan, jadi aku lahir Sabtu Pahing. Kata orang, banyak kemauan akan tercapai dan bawa rezeki. Itu cerita Eyang Putri. Papi dan Mami bukan orangtua yang membeda-bedakan anak-anaknya, jadi kami semua tercukupi kebutuhannya secara sama. Aku tak merasa dimanja atau diperhatikan berlebihan. Masa kecilku bahagia. Aku juga jadi kesayangan para tetanggaku. Aku lahir di Kediri, rumah kami persis di belakang Stasiun Kediri.

Bagaimana awalnya Mba Merlyn menyadari diri sebagai perempuan?

Aku punya teman sebaya yang se-TK, laki-laki semua. Kami sering main di depan rumah. Ada yang jual kayu glugu dan itu persis di sebelah stasiun, jadi kami sering main sembunyi-sembunyian di antara kayu atau kereta yang parkir. Di momen itulah, teman-teman memposisikan diri sebagai superhero, misalnya Superman dan Batman. Lucunya, di usia 4 tahun, aku sudah memposisikan diri sebagai perempuan. Ada film serial The Bionic Woman di TVRI. Aku suka banget tokoh itu. Dalam permainan, aku — tanpa diminta atau disuruh — memposisikan diri sebagai Bionic Woman. Itu sebetulnya titik balik hidupku. Sejak itu, aku memposisikan diri sebagai perempuan. Aku memilih menjadi itu, artinya kalau aku tidak berbeda, aku mungkin akan pilih tokoh lelaki lain. Tapi, itu bukan hanya suka, tapi klik dan senang. Teman-teman tak ada yang protes. Di usia 4–6 tahun, itu memorable dan aku merasakan — sesuai panggilan alam — aku mengidentifikasi diri sebagai perempuan.

Jika tidak keberatan berbagi, seperti apa pengalaman dilecehkan ketika kecil dulu?

Waktu SD, tidak dikatain berbeda atau banci. Cuma dari situ, mulai tampak ada yang berbeda dari aku. Bukan kemayu, tapi jalanku megal-megol. Ketika aku sama Mami duduk di teras rumah, tiba-tiba ada kakaknya teman sekelasku naik sepeda lewat, lalu teriak: ‘Banci!’ Mami kaget karena itu pertama kali ia dengar ada orang teriak demikian. Mami tanya, ‘Siapa itu? Kok, kurang ajar bilang ke kamu seperti itu. Kalau dibilang seperti itu, kamu harus melawan.’ Aku bilang, ‘Ya!’ Aku sebetulnya tidak ngondek, tapi kalem. Sampai suatu hari di kelas 3 SMP, aku 14 tahun pernah diolok-olok di laboratorium Biologi. Aku ingat guruku, Pak Mulyono, bercanda ngomong banci atau waria itu ‘amfibi’ karena bisa di air dan darat, jadi kayak banci yang hari itu lekatnya ACDC (bisa suka sesama atau siapa saja). Aku melihat itu ditujukan ke aku karena ia lihat ke aku dan teman-teman tertawa. Aku keluar dari laboratorium, kembali ke kelas, duduk di belakang, dan menangis. Hari itu, aku tahu aku berbeda, tapi aku belum kenal diriku seutuhnya. Dari guyonan itu, aku merasa tidak dihargai. Aku bilang pada diriku, ‘Ini pertama dan terakhir aku menangis karena orang merendahkan aku.’ Aku tidak mau merasa kalah dan diintimidasi. Sampai hari ini, aku tidak pernah menangis lagi karena hal yang sama. Peristiwa itu memicu tangis sekaligus membuat aku jadi kuat karena aku merasa betapa tidak enaknya direndahkan orang dan kita harus menangis.

Bagaimana dengan proses ‘menjadi waria’? Sejak kapan Mba Merlyn mulai mengekspresikan diri sebagai perempuan?

Sampai umur 20, aku tidak pernah berusaha atau punya keinginan untuk makeup atau dressup perempuan. Ketika dulu aku ditinggal Mami-Papi pergi dan rumah sepi, aku tidak punya keinginan mencoba pakai pakaian perempuan. Yang aku maknai, aku perempuan, tapi bukan ingin transisi. Waktu SMP, teman-teman tiba-tiba dapat majalah Playboy dan itu dibawa ke sekolah. Kita pada antre lihat majalah itu di toilet. Yang aku lihat itu yang laki-laki. Dari situ, aku makin paham secara orientasi seksual, aku berbeda. Aku mengenali ketertarikan seksualku pada laki-laki. Ketika SMA, karena aku gila film, aku adopsi baju-baju mereka (para pemain film): Meriam Bellina, Paramitha Rusady…. Aku suka beli kain yang aku jahit sama persis dengan baju yang mereka pakai, misalnya kemeja dengan warna dan potongan yang sama, tapi aku selipkan sisi feminin dengan renda. Tahun 1987–1988, aku sudah pakai brokat di kemeja. Jadi, sudah berani berekspresi. Dulu, tidak terlihat (seperti) cewek, tapi (dianggap) fashionable. Sampai usia 20, — kuliah di Malang — itu pertama kali aku dressup dan makeup dengan kesadaran dan bukan coba-coba. Jadi, pulang kuliah, ke mal, atau ke rumah teman, aku dandan.

Apa yang waktu itu membuat Mba Merlyn punya keberanian dandan?

Aku kenal teman-teman gay duluan. Ada teman di salon biasa aku potong, jadi main ke tempat kosku, dia tidak dendong (dandan sebagai perempuan). Jadi, itu pertama kali aku punya teman yang adalah komunitasku. Itu belum (menjadi) waria. Kemudian diajaklah aku kumpul-kumpul ke tempat salon yang biasanya sebulan sekali itu kumpul kawan-kawan IGAMA (Ikatan Gay Malang). Sering juga kami datang kalau ada tanggap ludruk saat hajatan. Itu surganya teman-teman komunitas karena mereka bisa nonton dan dendong cantik tanpa orang merendahkan, tapi malah kayak bintang film dan bisa dapat lekong (lelaki) yang diinginkan. Di ludruk itu, pasti ada orang-orang yang antusias melihat teman-teman (gay dan waria). Dan mereka kebanyakan ingin seks. Waktu itu, pelaku-pelakunya (para pemain ludruk) juga adalah teman-teman komunitas.

IGAMA berdiri di Malang pada 1993. Sebelumnya, ada IWAMA (Ikatan Waria Malang) yang lahir pada 1991. Merlyn awalnya dekat dengan kawan-kawan yang tergabung dalam IGAMA. Ia sempat menjadi perwakilan IGAMA untuk hadir pada perhelatan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) pertama di Kaliurang, Yogyakarta pada 10–12 Desember 1993. Saat itu, Merlyn — meski telah dendong ketika menghadiri KLGI — tidak tercatat sebagai transgender, di mana pada arsip berjudul “Hasil-hasil KLGI I” yang dipublikasikan dalam buku Memberi Suara pada yang Bisu, tertulis bahwa kongres dihadiri oleh 2 lesbian dan 30 gay. Merlyn baru berusia 20 tahun. Dan sejak mengikuti KLGI, ia memiliki kesadaran dan terlibat secara intens dalam aktivisme. Ia mengaku, setelah sekitar 6 bulan diketahui dendong, ia tak bisa lagi mengklaim diri sebagai bagian dari IGAMA, lalu berjalan dengan IWAMA, organisasi waria yang kelak ia pimpin selama 15 tahun pada periode 1996–2011. IGAMA dan IWAMA memiliki kedekatan dan pernah menjadi dua organisasi terdepan yang aktif dan solid memperjuangkan hak dan kerja-kerja terkait komunitas queer di Malang Raya.

Apa yang bagi Mba Merlyn berkesan dengan menghadiri KLGI I?

Tahun 1993, aku sudah punya pacar, teman gay, itu kenal sebelum kongres. Kita berlanjut dan dia juga datang ke kongres. Aku feminin, seusia itu (dianggap) imut dan disukai banyak orang yang mau dekat atau bergaul. Aku ke mana-mana dilindungi kayak adik. Usiaku muda dibandingkan yang lain yang sekitar 5–7 tahun di atasku, jadi lebih dulu ada di komunitas dan lebih matang, sementara aku baru setahun kumpul dan kenal kawan-kawan komunitas, tapi senang dapat kesempatan ke sana. Ceritanya, tak lama dari kongres itu, pacarku minta putus. Ternyata di kongres, dia kecantol laki-laki lain karena hari itu dia tahu aku dendong. Menurutnya, dia tak bisa teruskan (hubungan). Tidak apa-apa juga, jadi itu cerita yang lucu.

Selain itu?

Yang dibicarakan di kongres sampai hari ini, tidak ada progres. Mungkin progresnya kita mengikuti gerakan dan update hukum hari ini, sehingga kita melawan dan mengadvokasi sesuatu yang sesuai zaman. Tapi, cara-cara advokasi itu rasanya tak berubah dan menurutku perlu inovasi dan strategi baru — personal approach yang lebih humanis dan menyentuh orang lain dengan lebih tepat. Kita demo, ya oke, sih, tapi kerja-kerja lapangan yang menyentuh para pengambil kebijakan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama secara keseharian, juga efektif karena mereka yang kita hadapi langsung. Ada produk (kebijakan) yang mendeskreditkan, kita merespons. Itu bagus. Tapi, perlu dipikirkan bagaimana pendekatan kita bisa lebih inklusif dengan tidak menempatkan kita adalah orang-orang yang berbeda, tapi kita melakukan upaya untuk mereka mengenal kita lebih baik. Artinya, tak menutup hal yang aku pikir masih tak mungkin diwujudkan di Indonesia, tapi setidaknya kita punya tempat yang lebih baik di masyarakat. Kita butuh ruang, berpendapat, pekerjaan, rasa aman seperti warga negara lain. Itu perlu diangkat dan menjadi sense of belonging semua orang karena merasa ada keterkaitan. Dengan kita menyampaikan hal-hal yang punya keterkaitan dengan hidup orang banyak, maka akan mudah diakomodir.

Mba Merlyn menyinggung hal yang ‘masih tak mungkin diwujudkan di Indonesia’ itu maksudnya seperti apa?

Tuntutan yang paling sensitif yang dikenali pemerintah, misalnya same-sex marriage. Itu selalu dicurigai pemerintah, anggota dewan, bahwa itu yang jadi tuntutan komunitas. Padahal, aku selalu yakinkan sejak 1993 sampai hari ini, belum pernah dengar ada rapat koordinasi atau rapat jaringan, di mana teman-teman membicarakan itu. Aku tak bilang kebutuhan itu tak ada. Pasti ada orang ingin, tapi tak lantas mewakili suara komunitas. Jangankan sampai ke same-sex marriage, untuk hidup sehari-hari saja kita susah. Teman-teman belum punya akses kependudukan, pekerjaan, kesehatan, bahkan — yang paling miris dan ini fakta — makan sehari-hari itu belum tentu. Artinya, menuntaskan persoalan hidup saja masih kesusahan, boro-boro pikir sejauh itu. Harus diakui bahwa hubungan itu (perkawinan) juga rentan. Buatku, yang lebih penting adalah komitmen. Jadi, itu bukan kebutuhan kita, yang jelas bukan teman-teman waria. Itu bisa jadi bumerang atau dikenali sebagai hal yang tidak relevan dengan kehidupan Indonesia hari ini.

Sampul majalah GAYa NUSANTARA edisi 41 yang menampilkan Merlyn di sisi kiri bawah. Sumber foto: Arsip Queer Indonesia Archive (QIA).

Mba Merlyn, cerita dong soal foto sampul majalah GAYa NUSANTARA, di mana Mba Merlyn pernah jadi model sampulnya? Menurutku, itu ikonik sekali.

Aku kenal Mas Dede dari umur 19–20 tahun. Tiap akhir pekan, dulu ke Surabaya, maka aku dekat dengan teman di GAYa NUSANTARA (GN). Aku diajak ke kongres, dekat dengan teman-teman IGAMA yang kebanyakan feminin, jadi kita suka dendong dan fashion show di acara komunitas. Karena itu, kita diminta untuk jadi model sampul. Senang, sih. Fotonya di tempat Mas Kisworo, fotografer paling hits di Malang. Itu 1994. Aku 21 tahun. Dari situ, aku pernah dapat pacar dan terima surat-surat. Itu sampul pertama yang dendong. Baju yang kita pakai terkonsep hitam dan baju itu milik pribadi dan sudah pernah kita pakai di show.

Bagaimana dengan keluarga?

Tidak tahu karena aku di Malang dan majalah itu (didistribusikan secara) terbatas, jadi tidak ada dampak.

Mba Merlyn, ngobrol soal kontes kecantikan, Mba sudah ikut kontes serupa di mana-mana. Tapi, ingat pengalaman pertama lomba?

Salah satu department store Mitra itu setiap tahun mengadakan ajang pencarian model. Biasanya hanya laki, perempuan, dan anak. Tapi, Juni 1995, untuk pertama kalinya, waria jadi kategori. Pemilihan The Best Model dan The Best Photomodel Mitra. Waktu itu, untuk ikut itu, harus masuk IWAMA. Aku masuk IWAMA karena sudah punya jiwa atau ikatan. Aku lolos. Aku dan sahabatku ikut. Kita berdua paling muda di kategori waria. Aku menang dua kategori: “Best Model” dan “Juara Favorit.”

Setelah itu?

Aku dikirim ke Ratu Waria Indonesia pada Oktober 1995 di Bandung. Excited karena aku dan timku, — teman-teman di salon — selalu persiapkan dengan matang untuk segala hal yang aku pakai saat lomba: aksesoris, sanggul, sepatu, baju, dan lain-lain, disiapkan seminggu sebelum acara, sehingga menjelang itu aku sudah tidak bingung.

Buat kawan-kawan yang mungkin sulit membayangkan situasinya, mungkin Mba Merlyn bisa beri gambaran seperti apa situasi kontes Ratu Waria Indonesia 1995?

Yang ikut banyak banget, kalau tidak salah, 65 orang. Saingan pasti cantik-cantik, bahkan sudah lama dendong jadi perempuan. Kalau cantik, tapi baru dendong ‘kan masih kaku dibanding mereka yang mungkin tidak cantik, tapi sudah lama jadi perempuan. Jadi, jiwa perempuan menyatu. Aku itu sudah 2 tahun dendong meski tak tiap hari. Tapi, itu bukan sekadar lomba fisik, ada tanya jawab. Tahun itu, Chenny Han (penata rias terkenal dan transpuan) baru pulang dari Amerika dan dia jadi juri bersama Christine Panjaitan (penyanyi). Chenny sudah tinggal di Amerika dan ikut ratu-ratuan di sana. Aku ingat nomor urutku dua dan pertanyaannya kalau saat ini mendapatkan uang ratusan juta, apa yang akan kamu lakukan dengan uang itu. Pertanyaan itu dibacakan dan didengar semua. Tapi, untuk mencegah kecurangan, kita diberikan papan dan kertas untuk menuliskan jawaban. Ada teman nomor 22, dia menangis. Ternyata buta huruf. Tapi, dia bisa menjawab. Aku jawab: ‘Uang itu aku akan pergunakan bagi anak-anak tidak mampu untuk sekolah dan sebagian aku hibahkan ke Dinas Sosial.’ Aku menang juara pertama Ratu Waria Indonesia dan kawan yang buta huruf itu menjadi runner up pertama.

Merlyn ketika menjuarai kontes Ratu Waria Indonesia 1995 (kiri) dan Putri Waria Indonesia 2006 (kanan). Sumber foto: Dokumentasi pribadi Merlyn Sopjan.
Merlyn (sisi kanan) ketika mengikuti ajang Miss International Queen 2006 di Thailand. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Merlyn Sopjan.

Saat menyandang predikat sebagai waria tercantik dengan gelar Ratu Waria, usia Merlyn baru 22 tahun. Para peserta kontes tersebut berasal dari berbagai daerah dan mereka kebanyakan telah memiliki ragam prestasi, termasuk memenangkan kontes serupa di tingkat daerahnya masing-masing. Sehingga, dapat dibayangkan kontes kecantikan transpuan kemungkinan besar eksis pada skala lokal. Lalu, dari Bandung, Merlyn pulang ke Malang menggunakan bus dengan menenteng piala setinggi 1,5 meter. Tentu saja, selain piala, ada juga mahkota, jubah, selempang, dan tongkat ratu yang ia bawa. Saat itu, tuturnya, orang-orang banyak bertanya itu piala apa. Di perjalanan, ia tidak dandan dan rambutnya pendek persis seperti Demi Moore di film Ghost.

Bagaimana perasaan saat menyandang gelar itu?

Rasanya senang di usia semuda itu memenangkan Ratu Waria Indonesia. Tapi, tidak bangga berlebihan, ya. Mensyukuri. Tidak jadi lupa diri. Itu sesuatu yang sudah pantas aku dapatkan karena aku juga berusaha dengan maksimal. Bukan merasa aku cantik. Apa yang menjadi penilaian, itu sudah aku lalui: fisik, gaun, cara bicara, atau apa pun terkait itu sudah aku persiapkan dengan baik. Aku juga kuliah, sehingga proses wawancara mendalam membantu aku lebih siap.

Saat itu, bagaimana respons keluarga dan lingkungan kampus karena berbagai media turut menyiarkan kemenangan?

Koran tak sampai Kediri, kebanyakan koran Jakarta dan Bandung. Aku membeli koran Bandung untuk kubawa ke Malang. Tak tahu bagaimana, rektorku dengar. Mereka di kampus kasih semangat dan bilang kenapa tidak dandan sekalian. Hari itu, aku tak berkebutuhan kuliah dengan ekspresi jadi diriku sendiri, jadi aku tidak menjalani. Aku bersyukur teman-teman mendukung dan dosen-dosen yang tahu juga tak ada yang mengecilkan. Aku selayaknya mahasiswa berprestasi. Setahun kemudian, ada Top Model Waria Indonesia di Semarang. Karena titelnya beda, aku ikut. Puji Tuhan, alhamdulillah, aku juara pertama.

Kepercayaan diri seringkali jadi persoalan komunitas queer untuk menghubungkannya dengan pengalaman penindasan yang kita alami sejak kecil, seperti direndahkan, dirundung, didiskriminasi, dan dijadikan target kekerasan. Aku sendiri bertahun-tahun mengalami itu, bahkan sampai sekarang masih sering dikatai bencong. Keberadaan kita pun dianggap aib, dosa, tidak normal, dan menjijikkan. Bagaimana Mba Merlyn melihat kontes kecantikan memberikan peluang kita punya konsep diri bahwa kita berharga dan cantik?

Yang aku lihat, mereka tidak memakai ajang ini sebagai platform. Kalau boleh jujur, aku tidak melihat ajang ini menjadi suatu yang positif untuk kehidupan mereka. Sebatas murni ikut karena secara fisik punya kapasitas dan masih muda. Titel-titel semacam itu menjadi sesuatu yang prestisius dan berdaya jual, termasuk bagi yang nyebong (bekerja sebagai pekerja seks). Tapi, sebagai pemenang, aku merasa punya kewajiban untuk membawa hal positif untuk perbaikan kehidupan teman-teman komunitas. Sejak (menyandang gelar) Ratu Waria, aku jadi public figure, apa yang akan aku sampaikan ke masyarakat menjadi lebih didengar. Aku pakai itu sebagai platform. Intinya, kalau aku punya something yang positif dan kebanggaan lebih ke komunitas, — aku bukan lelaki atau perempuan cis — itu kesempatan aku menyampaikan pesan. Pijakan untuk membangun koneksi baru dan mengenal orang lebih banyak, terutama pengambil keputusan atau orang-orang yang punya interest kemanusiaan. Aku jadi Ketua IWAMA tahun 1996 setelah kontes di Semarang. Banyak yang bisa aku lakukan karena titel yang aku miliki.

Aku ingat dulu ada omongan kalau sampai ada kawan waria tertangkap razia di Malang, lalu Mba Merlyn turun tangan ke kantor polisi, kawan itu langsung bebas.

Itu salah satu kemudahan jadi public figure. Komunikasi dengan banyak orang jadi lebih mudah dan menguntungkan.

Apakah kontes kecantikan mendekatkan komunitas transpuan pada realitas kecantikan? Bahwa itu menciptakan suatu dunia yang nyata bagi kawan-kawan untuk bisa tampil cantik dan terkenal?

Satu pakem yang selalu aku ingat dan berlaku sampai hari ini, — itu tak pernah hilang dari kriteria juri untuk jadi pemenang — luwes, artinya perilaku, gestur, dan cantik. Jadi, cantik tidak jadi satu-satunya ukuran. Apakah itu mendekatkan kepada keperempuanan dan membuat kami merasa jadi perempuan? Kalau merujuk kriteria itu, ya yang mendekati perempuan cis. Hal yang sangat bertolak belakang dengan yang aku jalani. Aku ini produk beauty pageant, tapi aku bukan orang yang mengandalkan fisik. Aku tidak suka dihargai karena hanya cantik. Jadi, aku kurang sepakat karena perempuan itu jiwa, bukan tubuh, karena banyak banget permepuan yang terlahir cis, — secara biologis dianggap perempuan — tapi tidak merasa perempuan. Kita lihat banyak yang jadi kebalikanku hari ini: female to male (trans maskulin/trans laki-laki). Itu indikator bahwa hari ini menjadi perempuan dan laki-laki bukan di fisik, tapi jiwa.

Apa kita bisa bilang bahwa kontes kecantikan merupakan bagian dari ruang aman (safe space) bagi komunitas transpuan?

Mungkin 10–15 tahun terakhir, hampir semua ruang publik teman-teman ini malah tidak aman, tak seperti tahunku di 1990-an. Hari ini, kita rentan diserang ormas, dibubarkan tanpa justifikasi apa pun, hanya karena kita waria dan dianggap tak punya hak berkumpul dan berserikat seperti yang lain. Itu melanggar hak. Kalau itu dilakukan aparat pemerintah, itu berarti pelanggaran negara ke masyarakat. Aku pikir karena sekarang sudah tidak aman, maka kumpul di ajang itu kemudian adalah suatu bentuk tempat yang aman dan teman-teman tidak dapat kekerasan.

Semua berubah pasca-Reformasi. Gerakan masyarakat sipil memang tumbuh subur setelah Soeharto lengser, tapi begitu juga arus konservatisme agama. Tahun 2005, ketika kontes Miss Waria Indonesia diselenggarakan di Gedung Sarinah, Jakarta, untuk pertama kalinya ratusan orang yang menamakan diri Front Pembela Islam (FPI), melakukan aksi protes. Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat FPI Soleh Mahmud mengatakan kalau acara itu menghina Islam dan menyebutnya “kontes waria jadi-jadian.” Sosok Merlyn yang telah dikenal publik, lalu banyak muncul di berbagai media dan infotainment. Baik itu kontes maupun aksi protes, menjadi berita utama selama sepekan. Merlyn mengutarakan bahwa FPI minta kontes dibubarkan saat itu juga, tetapi Ruhut Sitompul berhasil bernegosiasi dengan kesepakatan FPI akan membubarkan diri dan acara dituntaskan tak lebih dari dua jam. Pada kontes yang mendudukkan Ria Irawan sebagai ketua dewan juri tersebut, Merlyn Sopjan menyabet juara runner up pertama, sementara Olivia terpilih menjadi Miss Waria Indonesia.

“Sejak itu, banyak intimidasi, bahkan setelahnya pada penyelenggaraan Putri Waria Indonesia tahun 2006 di TMII, Jakarta,” ungkap Merlyn.

Meski telah diwarnai desas-desus akan diserbu ormas, kontes Putri Waria Indonesia itu tetap dilaksanakan dan berjalan lancar. Kemungkinan karena Gus Dur turut menghadiri kontes tersebut. Merlyn ingat kutipan mantan presiden yang menjabat pada 1999–2001 itu ketika ditanya rekan-rekan pers mengenai alasan kedatangannya. “Kalau bicara waria, jangan ngomong tentang agama, tapi bicara tentang kemanusiaan,” kata Gus Dur.

Merlyn lagi-lagi memenangi kontes kecantikan yang ia sebut sebagai yang tersukses sepanjang dekade pemilihan Ratu/Putri Waria di Indonesia sebab diliput oleh seluruh televisi dan menjadi headline di berbagai koran. Dan di tahun yang sama, ia mewakili Indonesia untuk ajang kecantikan Miss International Queen 2006 di Thailand. Usai perhelatan, wajahnya tampil di mana-mana. Ucapan selamat berdatangan, termasuk dari pihak kerabat dan keluarga yang disampaikan ke ayahnya.

Sosok ayah adalah hal yang personal dan emosional bagi Merlyn. Ia mengaku tak bisa menyelesaikan kuliahnya di semester akhir. “Dulu, Papi menuntut untuk aku bisa teruskan perusahaan keluarga di (bidang) kontraktor dan percetakan,” terang Merlyn yang menempuh pendidikan jurusan Teknik Sipil di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Tahun 1995, ketika ayahnya mengetahui passion-nya pada kemanusiaan, khususnya perjuangan hak transgender, ayahnya akhirnya mengizinkan Merlyn untuk tidak menyelesaikan studinya. Ia tetap meyakinkan sang ayah kalau apa yang dilakukannya baik dan penting dengan mengirimi orangtuanya sekumpulan kliping media tentang aktivitasnya. Tapi bagi Merlyn, tidak menuntaskan gelar sarjana tersebut pernah jadi penyesalan terbesar sebab menurutnya ilmu dan ijazah itu tetap penting, apalagi bagi waria. Namun, setelah mengetahui bahwa ayahnya bangga atas segala capaian Merlyn, ia lega.

Bagaimana respons ayah ketika tahu Mba Merlyn memenangkan Putri Waria Indonesia?

Itu jadi hari ayahku lagi opname, tapi ia tidak kasih tahu aku. Beliau menangis karena baca headline itu. Papi dikirimi banyak ucapan selamat sama adik-adik dan kolega. Supirku yang cerita setelah tujuh hari Papi (meninggal). Dia bilang, ‘Papi bangga sama Pam.’ (Pam adalah panggilan sang ayah untuk Merlyn.) Tanteku juga bilang kalau ia bangga, tapi Papi tidak pernah selama hidupnya puji anak-anak di depan anak-anak. Aku menangis banget karena ketika aku menang Putri Waria, Papi telepon untuk bilang jangan lupa makan dan kasih semangat. Dia kanker lidah sejak 1999. Padahal, waktu aku menang Ratu Waria 1995, dia tidak bangga. Hari itu, Papi bilang, ‘Titel itu bisa didapat semua orang yang punya kelebihan fisik.’ Aku sempat down karena yang aku pikir prestasi yang bisa aku persembahkan untuk Papi, ternyata tidak dianggap. Setelah lebih dewasa, aku sadar kalau Papi tidak ingin aku puas dengan apa yang aku capai. Kalau fokus pada fisik, aku tidak akan eksplor kemampuan lain atau cari ilmu lebih banyak. Aku menyadari itu caranya buat aku lebih berkembang.

Bagaimana Mba Merlyn memaknai kecantikan di usia jelang lansia?

Putri Indonesia punya konsep redefining beauty, tapi aku sudah definisikan itu sejak awal waktu aku terjun ke situ. Kecantikan bukan karena kamu cantik, langsing, tinggi, kulit putih, tapi cantik itu apa yang buat kamu jadi bahagia, bahwa kebaikan kamu yang buat kamu cantik. Dari dulu, aku punya konsep kecantikan yang aku bawa di usia 20. Jadi, aku produk beauty pageant, tapi aku tak sepakat perempuan eksploitasi tubuh dengan hanya mengandalkan kecantikan. Tubuh kita ibarat rumah, setiap rumah bisa saja sama dan tak istimewa. Itu mungkin tampak luar kayak rumah bisa dibaguskan, desain oke, tapi itu hanya dari luar. Bagaimana kalau dalamnya amburadul? Kalau punya rumah, yang ditempati di dalam, jadi yang dipercantik di dalam, tak diluar.

Apa kekhawatiran terbesar saat ini?

Aku tidak mau sakit yang merepotkan orang lain. Itu saja. Aku tak menolak tua. Aku merasa bahwa kecantikan perempuan itu setelah berumur 40 tahun meski orang bilang kamu waktu muda cantik banget. Kecantikanku hari ini matang, tidak hanya lahiriah, tapi melampaui banyak pengalaman dan hal yang buat aku matang. Aku bisa mengelola emosi dan tahu apa yang aku mau dan bisa bersikap, sehingga itu membuat aku tenang dan kecantikanku terpancar dari pikiran dan perasaan yang aku rasakan hari ini.

Apa setelah 40 itu punya lebih banyak pacar ketimbang sebelum 40?

Tidak juga, sih. Satu (lelaki) itu yang jadi nama belakangku, tapi sudah dekat sama orang, ya sudahlah. Saat pindah ke Jakarta, aku usia 38 dan sampai hari ini tidak pacaran lagi. Aku sempat merasa butuh seseorang. Tapi, aku pikir, — dalam perenunganku — ternyata aku tidak seperlu itu. Aku butuh, ya, tapi tidak urgen. Kalau Tuhan mau kasih, aku senang dan terima. Tapi, kalau tidak, ya sudah. Toh, aku bahagia karena aku dalam berteman atau hang out, bisa sendiri, ramai juga boleh. Ada pacar atau tidak, hidup tetap jalan. Kalau (ada pacar) datang, itu lebih sebagai penyemangat hidup. Kalau seks, aku tak terpikir. Selama ini biasa self service. Hahaha…. Jadi, seks bukan (alasan), tapi lebih ke teman dekat, teman cerita, teman main. Teman, tapi seseorang yang spesial.

Apa pesan Mba Merlyn untuk kawan-kawan transpuan muda?

Pertama, perempuan itu jiwa. Kalau kita masih definisikan perempuan itu fisik yang mirip perempuan, — tubuh, wajah, rambut — kita tidak akan jadi apa apa. Aku melihat mereka yang obsesi pada tubuh atau mengandalkan fisik, — ketika waria hanya berpikir keperempuanan itu fisik yang sama dengan perempuan cis — sepanjang hidup akan cari kesempurnaan dan tidak mengembangkan diri. Waktu hidup terbuang sia-sia dan bisa jadi penyesalan. Mulailah berpikir untuk mengkapasitasi diri! Kedua, jangan merendahkan diri dengan bilang hal-hal negatif karena kita terlahir sebagai lelaki. Orang kadang suka diingatkan, ‘Halah, kita juga lahirnya lekong, orang juga tahu!’ Bagaimana bisa punya konsep diri perempuan kalau kamu merasa terlahir sebagai lelaki atau perempuan non-biologis? Itu membuat konsep keperempuanan jadi kacau karena jiwa yang mana yang mau kita hidup. Memang kita butuh upaya lebih tinggi dibanding perempuan lain. Aku tidak berpikir tentang tubuh, tapi hidup sebagai perempuan yang berkembang dan percaya diri. Itu yang aku butuhkan sebagai perempuan. Kalau masalah bodi, ya kita ‘kan hidup ini tidak tiap hari kontes keindahan fisik, sementara hidup butuh keterampilan dan kemampuan untuk kita jalani hari.

Mendengar uraian bagaimana Merlyn memaknai diri sebagai perempuan melampaui jenis kelamin atau gender, membuat saya mendapat banyak pembelajaran penting. Dengan nada bercanda, ia bercerita kalau pernah ada orang yang tak ia kenal memberikan pertanyaan merendahkan perihal pilihannya dengan tidak melakukan operasi apa pun sebagai perempuan. Ia bilang pada saya, “Aku tidak jawab. Hari gini! Aku itu tidak pernah ngomongin wajah orang, kecuali memuji. Dia pikir, dia punya hak untuk definisikan kecantikan? Dia tidak pernah tanya aku butuh atau tidak. Kalau mau arogan, aku tiga kali pemenang kontes kecantikan nasional, loh!” Ia juga pernah mengutarakan bahwa esensi hidupnya bukan pada kelamin.

Merlyn Sopjan masih terus aktif memperjuangkan hak kelompok minoritas, khususnya transpuan, dan kini bekerja untuk PKBI. Ia telah melahirkan tiga buku yang merekam perjalanan dan pengalaman penting dirinya sebagai waria: Jangan Lihat Kelaminku: Suara Hati Seorang Waria (2005), Perempuan Tanpa V (2006), dan Wo(W)man: Tuhan Tidak membuat Rencana yang Tak Sempurna (2016). Sebuah film dokumenter yang mengisahkan tentang dirinya dan kelompok transpuan sebagai titik sentral, juga pernah diproduksi CameoProject dengan judul Perempuan Tanpa Vagina pada 2019. Kata-kata pembuka yang diucapkan Merlyn pada video tersebut, begitu menggugah untuk kita kenang: “Ini bukan masalah keinginan atau memilih…. Saya tidak pernah terpikir menjadi perempuan. Tapi, sejak usia 4 tahun, saya secara alamiah mengidentifikasi diri sebagai perempuan.”

Merlyn Sopjan sebagai pemenang. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Merlyn Sopjan.

“Aku kencing berdiri. Temanku kencing jongkok. Cuma rasa nyaman yang membedakannya. Aku punya penis…. Aku adalah perempuan. Perempuan dalam jiwa…. Dan aku tetap merasa perempuan. Tak ada yang salah. Yang salah cuma orang tidak melihatku lebih dalam.” (Perempuan Tanpa V, hal. 49)

Queer di Masa Lansia merupakan seri esai kolaborasi yang menghadirkan beragam sosok dan perbincangan dengan para individu queer lansia, termasuk aktivis senior, yang mewakili beragam identitas maupun komunitas LGBTIQ+ di Indonesia. Seri ini hendak merekam pandangan dan pengalaman hidup yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi generasi queer muda untuk membayangkan kelak menua sebagai queer. Melalui kisah-kisah tersebut, kita (yang muda) juga berupaya membangun koneksi lintas generasi sekaligus menaruh hormat dan rasa terima kasih atas buah dari perjuangan para senior untuk kemudian dapat kita teruskan dan kontekstualisasikan.

Untuk kolaborasi maupun informasi lebih lanjut mengenai seri ini, silakan menghubungi saya di nurdiyansah.dalidjo@gmail.com.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah