Queer di Masa Lansia (Bagian VI): Wadam — Mami Tina Lopez

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
17 min readDec 16, 2023
Tina Lopez ketika masih muda (kiri) dan kini di usia lansia (kanan). Ilustrasi oleh Sirusaa.

Bagi banyak dari kita, sebuah kata punya makna yang melekatkan kita pada identitas diri. Sebuah kata dapat pula mencerminkan pengalaman hidup seseorang maupun kelompok. Tetapi, dalam dinamika ruang dan waktu, tentu saja kata punya konteks arti yang bisa jadi berbeda. Dan fleksibilitas atas pergeseran makna (dan mungkin saja pergulatan relasi kuasa) dari suatu kata yang terhubung pada identitas kolektif, merekam kekuatan terhadap daya adaptasi dan resistensi perjuangan komunitas. Saya merasakan hal tersebut dari apa yang telah dan masih terus diperjuangkan oleh kita sebagai queer, khususnya kawan-kawan transgender dalam gerakan untuk perubahan sosial.

Di Indonesia, perjuangan hak-hak LGBTIQ+ memiliki akar sejarah yang hampir tak mungkin untuk dipisahkan dari perjuangan kelompok transgender yang tampaknya telah menancapkan pondasi atas peluang pada perubahan yang revolusioner terhadap serangkaian nilai dan praktik, bahkan kebijakan, yang heteronormatif. Bahwa heteroseksualitas ternyata tak mutlak dan dapat digugat. Itu tidak selalu menjadi hal yang seringkali dianggap atau diposisikan normal, koheren (masuk akal), alami, istimewa, bermoral, dan lebih baik secara moral. Lebih dari itu, — pada hal-hal tertentu — heteronormativitas bisa juga rapuh dan membosankan. Setidaknya kesan itu yang saya peroleh ketika mencoba melusuri linimasa perjuangan transgender, terutama transpuan, sebagai “kakak” dari perjuangan kelompok homoseksual yang disusul dengan identitas lainnya: biseksual, queer, nonbiner, aseksual, interseks, dan lain-lain.

Jauh sebelum organisasi gay dan lesbian pertama di Indonesia ada, yaitu dengan lahirnya Lambda Indonesia yang dipelopori oleh Dede Oetomo pada 1 Maret 1982 (kemudian kita peringati sebagai Hari Solidaritas LGBTIQ Nasional), berbagai organisasi transpuan telah lebih dulu eksis dan berkembang secara massif. Majalah Moderna edisi Nomor 3 Tahun 1 pada 25 Maret 1969 telah menyebutkan adanya organisasi transpuan dengan nama Jajasan Wadam DCI-Djaya atau Jajasan Wadam Djakarta (Yayasan Wadam DKI Jakarta) yang disingkat JWD. Artikel itu juga mengutarakan JWD yang dipimpin oleh transpuan bernama Conny Pattirajawane dan pembentukannya “pada Desember 1968 atas prakarsa Annie Mambo,” direktur perusahaan film PT Aries Film, di mana Conny pernah menjadi penata rias dan perancang produksi di film-film mereka sekitar akhir tahun 1960-an hingga 1970-an. Selain JWD, ada Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang diprediksi didirikan sekaligus dipimpin oleh Maya Puspa (Mami Maya) pada 1973. Lalu, ketika Mirna Martinely (Mami Mirna) dinobatkan sebagai ketua, namanya berganti menjadi Himpunan Waria (HIWARIA) pada 1979. Di luar Jakarta, terdapat Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS) yang didirikan Pangky Kenthut pada 13 November 1978 di Surabaya, Jawa Timur serta Warung Wadam yang didirikan oleh Yosie Hanna pada 1980 dan Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) yang didirikan oleh Mami Ricky dan Ibu Shinta (dengan ketua pertamanya adalah Heny Sutopo atau Mami Topo) pada 1982 di Yogyakarta. Dari organisasi-organisasi pelopor itulah lahir secara organik ratusan organisasi/komunitas/kolektif berbasis transpuan di segala penjuru Indonesia, termasuk Papua, yang terpengaruh secara langsung ataupun tidak untuk menamakan diri mereka dengan penggunaan kata “yayasan,” “himpunan waria,” “persatuan waria,” dan “ikatan waria” yang diikuti dengan penamaan daerah, seperi Himpunan Waria Lampung, Himpunan Waria Irian Jaya, Himpunan Waria Ambon, Persatuan Waria Semarang, Persatuan Waria Samarinda, Ikatan Waria Malang, Ikatan Waria Kota Bitung, dan lain-lain.

Tetapi, memang ada yang unik dari pembangunan gerakan sosial ini — atau kita mungkin bisa menyebutnya sebagai ruang persalinan sekaligus medan tempur — dari berbagai organisasi transpuan yang lahir pasca-Pembantaian 1965 dan 1966 atau ketika Indonesia memasuki babak kepemimpinan diktator militer Soeharto di era Orde Baru. JWD, HIWARIA, dan PERWAKOS tercetus setelah kehadiran grup transpuan Wadam All Stars yang keberadaannya bermula dari berkumpulnya para transpuan di Paradise Hall, sebuah klab yang dibangun Gubernur Ali Sadikin dalam Djakarta Fair (Pekan Raya Jakarta/PRJ) 1968 dan menjadi wadah para transpuan berekspresi dan unjuk kreativitas. Usai Paradise Hall tutup, Wadam All Stars lahir dan melakukan serangkaian show di berbagai kota di Jawa tahun 1969. Lalu, sebelum Warung Wadam dan IWAYO tercetus, Yogyakarta juga pernah memiliki pertunjukan transpuan (dulu dikenal dengan “show wadam/waria”) bertajuk malam puisi “Poetry Dancing Manusiawi.” PERWAKOS pun lekat dengan acara “Malam Sejuta Bintang” dan pentas transpuan setiap Kamis malam di Taman Remaja, Surabaya. Saat Wadam All Stars tak lagi aktif, Mami Mirna — Ketua HIWARIA dan mantan anggota Wadam All Stars — mendirikan grup transpuan Fantastic Dolls pada 1977. Grup tersebut turut menginspirasi kehadiran banyak grup tranpuan (yang dipimpin dan beranggotakan transpuan) pada dekade 1970-an hingga awal 2000-an.

Baik itu dari beragam bentuk perjuangan komunitas maupun organisasi transpuan yang pernah ada (dan sebagian masih eksis) di Indonesia, kita menemukan sejumlah kata yang tidak hanya dinamis (berubah seiring perkembangan zaman), melainkan pula punya makna atas gerakan perjuangan dan identitas queer, khususnya transpuan. Dari bermacam kata dalam banyak bahasa daerah pada awalnya, secara nasional identitas trans maupun gender nonbiner (gender nonconforming people) pernah dikenal dengan sebutan “bantji” atau — setelah 1966 mengalami Ejaan yang Disempurnakan (EYD) menjadi — “banci.” Ketika kata itu menjadi olok-olokan, komunitas transpuan terus mempelopori kata (dan makna atas identitas): “wadam” pada akhir 1960-an. Saat kata wadam ditentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama, muncul “waria.” Lalu, bersamaan dengan terdengarnya gema perjuangan transgender secara global, kata “transgender” diterima untuk mewakili komunitas dan perjuangan hak-hak transgender di Indonesia. Kini, kita mengenal istilah yang pula dipelopori komunitas, yaitu “transpuan.”

Tampaknya, saya harus berhenti sampai di sini. Karena selain sejarah perjuangan transpuan begitu kompleks dan panjang, — dengan keterbatasan kapasitas — saya pun tidak memaksudkan menelusuri itu lebih lanjut dalam esai ini. Namun, pada kesempatan ini, saya justru hendak memperkenalkan seorang sosok yang merepresentasikan komunitas transpuan yang pernah dikenal dengan wadam pada akhir tahun 1960-an sampai pertengahan 1970-an. Ialah Tina Lopez atau kini akrab disapa Mami Tina, yang merupakan seorang saksi sejarah dari kehadiran Paradise Hall. Ia pernah menjadi anggota Wadam All Stars dan menyandang predikat Ratu Wadam. Kisah hidupnya merupakan informasi yang amat berharga untuk banyak dari kita belajar memahami pengalaman individu queer atas identitas dan hal-hal lain yang mendobrak tatanan nilai dan praktik heteronormatif secara revolusioner pada awal mula gerakan transpuan mengemuka di Indonesia.

Dokter Edy Group, sebuah grup transpuan yang dipimpin oleh Dokter Edi dan sempat tampil di Sasana Anggrawina. Mami Tina (kiri) pernah menjadi bagian grup tersebut. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Tina Lopez.
Pentas Wadam All Stars di sebuah panggung. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Tina Lopez.

Bolehkah Mami Tina memperkenalkan tentang diri Mami Tina?

Nama saya Tina. Saya lahir di Cilacap, kota kecil di Jawa Tengah tanggal 8 Desember 1946. Waktu SMP kelas tiga, orangtua pindah ke Tegal. Saya sempat sekolah SMP di sana setahun, terus pindah ke Bandung. Di Bandung, saya sekolah di SMA (Santa) Aloysius dua tahun dan balik lagi ke SMA Negeri di Tegal. Saya masuk (sekolah) kedokteran, tapi tidak sampai selesai, sampai semester lima. Jadi, edan di Jakarta. Tahun ’68, saya pergi ke Jakarta. Itu saya sudah semester lima. Ya, kalau tidak terganggu jadi begini, saya bisa jadi dokter. Saya kuliah di UNDIP (Universitas Diponegoro) di Semarang. Terus, ya sudah, namanya juga masih remaja, hidup di jalanan. Rasanya menemukan jati diri.

Di sela-sela obrolan, saya sempat bertanya mengenai kata yang baginya nyaman untuk diucapkan mewakili identitasnya. Ia bilang dengan nada luwes dan cuek, “Apa saja tak masalah buat saya.” Maka, untuk menghormatinya saat ini, saya menuliskannya sebagai “transpuan,” namun saya tidak mengedit atau nekat mengoreksi ucapannya ketika ia menyebut kata-kata lain yang merujuk pada identitas diri dan komunitasnya untuk menghormati pengalaman hidup Mami Tina.

Tina Lopez.

Bagi Mami Tina, apa yang bikin Mami Tina merasa awalnya ‘berbeda’? Apakah ada contoh atau referensi yang dulu waktu kecil diacu untuk menghubungkannya pada identitas maupun ekspresi gender Mami Tina?

Jiwaku memang begini dari kecil. Aku enggak pernah main sama laki, mainnya sama perempuan, mainnya masak-masakan. Di Cilacap, suka ada ludruk. (Aku) suka nonton (ketika) masih kecil dan belum mengerti. Ada satu banci tahun 1950-an (yang) terkenal di seluruh Cilacap. Namanya Saring. Itu genitnya setengah mati. Idolanya (adalah) Marilyn Monroe. Jadi, kalau dia jalan, megak-megok kayak Marlin Monroe, terus suka mampir ke toko emas orangtuaku. (Ia juga) sukanya nonton film India. Kalau di bioskop, itu Saring nonton film India sampai teriak-teriak. Nama aslinya saya enggak tahu. Oh, itu dulu ‘wandu’ (istilah yang lekat pada transgender perempuan di Jawa Tengah). Aku di sekolah suka dikata-katai wandu. Orang se-sekolahan sudah mengerti. Guru olahraga sudah mengerti, (waktu aku SD) sekelas bancinya ada empat. Kalau olahraga, laki-laki dan perempuan dipisah: laki-laki sepak bola, perempuan bola keranjang. Itu guru olaharga Pak Radi itu — aku masih ingat dan benci sama dia itu — dia bilang, ‘Wandu yang empat orang itu sini! Jangan main sepak bola! Nanti laki mengejar bola, lu dikejar bola. Jadi, ikut grup perempuan saja.’

Masih ingat nama ludruk di Cilacap tahun 1950-an tersebut?

Toeti Bintang Timur. Nama orangnya, tapi ludruknya itu tulisannya ‘Toeti Bintang Timur.’ (Umumnya, kala itu penamaan grup ludruk diambil dari nama bintang utamanya yang adalah transpuan.) Dulu, cantik sekali aku lihat Toeti.

Ludruk itu apakah semacam ludruk keliling atau menetap di Cilacap?

Di Cilacap mainnya lama sampai satu bulan. (Selain ludruk Toeti Bintang Timur,) ada Pak King Kong. Itu kayak grup sirkus begitu loh, ada mainannya, ada orkesnya, dan biasanya ada banci yang suka menyanyi dan menari. Itu nama yang punya usaha itu Bapak King Kong. Itu tahun ’50-an.

Jadi, ketika Mami Tina kecil ada sosok Saring, Toeti dalam ludruk Toeti Bintang Timur, dan transpuan dalam grup Pak King Kong tahun 1950-an di Cilacap, Jawa Tengah.

Saya juga belum menyadari (bahwa) saya begini, punya ‘kelainan.’ Saya menyadari setelah SMP kelas dua waktu akil baliq. Saya kok lihat aku laki, tapi lebih tertarik sama laki. Apa di dunia ini cuma aku yang begini? Aku enggak mengerti. Aku diamkan saja dan orangtua juga tak pernah tanya ini-itu. Akhirnya, setelah lulus SMA, aku kuliah di Semarang. Kebetulan yang aku kos-kosin itu, anaknya banci (namanya) si Beti. (Dia) main ludruk. Di Semarang, ada ludruk, di mana-mana ada ludruk.

Dulu, Beti punya ludruk apa?

Saya enggak ingat. Saya fokus kuliah.

Bagaimana dengan awal mulai dandan sebagai perempuan?

Saya dikenalkan sama Lisa Anggraeni (sosok transpuan yang kemudian menjadi sahabat Mami Tina). Aku ditunjukkan sama Lisa, kok cantik ya. Kok, lelaki bisa cantik begini. Lalu, aku diajari dandan. Tapi, pertama, aku enggak mau. Aku ‘kan laki. Tapi, lama-lama, karena hatinya banci, akhirnya mau. Dia yang dandanin. Aku masih kuliah. Aku kalau dekati lelaki takutnya setengah mati. Dulu, belum manggung dan jarang dandan, aku masih kuliah. Waktu semester lima, dengar-dengar di Jakarta ada Djakarta Fair. Lalu, aku berangkat dengan Lisa, Beti, dan Neti. Itu (mereka) sudah pada mati. Aku inap di Kramat Sentiong, ada tempat banci yang tampung. Akhirnya enggak mau pulang. Gila ‘kan? Ditinggal kuliah begitu saja, maka papi-ku mengamuk.

Apa yang bikin enggak mau pulang saat ada di Jakarta itu?

Rasanya di Jakarta menemukan jati diri. Rasanya (ketika sebelum pindah ke Jakarta) terkungkung.

Tahun 1968, Djakarta Fair (PRJ) diselenggarakan untuk pertama kalinya di Lapangan Merdeka (kini Lapangan Monumen Nasional/Monas). Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang menggagasnya, mengaku terinspirasi oleh kenangan masa kecil terhadap kemeriahan Pasar Gambir di masa kolonial Hindia Belanda. Saat itu, kehadiran PRJ memang dimaksudkan untuk menjadi sarana hiburan dan rekreasi bagi masyarakat usai peristiwa mencekam tahun 1965–1966. Pembukaan dan hari-hari awal perhelatan Djakarta Fair menjadi perbincangan tidak hanya di banyak media nasional dan daerah, tetapi juga obrolan dari mulut ke mulut. Pada malam hari, keramaian pengunjung pekan raya tersebut tidak menyurut, melainkan mengundang banyak orang tertentu untuk datang, termasuk komunitas transpuan dari dalam dan luar kota. Mami Tina bersama kawan-kawan transpuannya adalah yang termasuk pergi ke Jakarta karena kabar mengenai sebuah klab di dalam Djakarta Fair.

“Namanya Sasana Anggrawina,” ucap Mami Tina tegas. Ia masih ingat betul pelafalan nama tempat yang kemudian mengubah hidupnya dan komunitas transpuan di ibu kota saat itu. Ia dan kawan-kawannya bertemu dengan banyak transpuan di sana. Mereka bernyanyi, menari, dan bersenang-senang dengan sesama dan umumnya para pria. Tentu saja, Mami Tina datang ke klab itu dengan dandanan dan tampilan sebagai perempuan. “Jadi, pertama Sasana Anggrawina, pada nongkrong di situ, aku juga seringnya ke situ. Lalu, malamnya (kami) nongkrong ke Jl. Gresik.” Jl. Gresik — dulu bernama Grisseweg — kini adalah Jl. Sutan Syahrir yang berada dekat dengan Kali Gresik di kawasan Menteng. Sasana Anggrawina menjadi sorotan media dan publik karena — seperti yang diulas Moderna — di sanalah para pengunjung dapat berdansa dengan “insan istimewa” (transpuan) dan itu mengundang rasa perhatian Ali Sadikin untuk berkunjung menemui (dan kemungkinan besar berinteraksi dan berdiskusi dengan) komunitas transpuan.

Ada aktivitas apa saja di dalam Sasana Anggrawina sampai membuat heboh media dan Ali Sadikin pensaran untuk datang?

Ada fashion show. Aku dari daerah. Dandanku masih kampungan. Tapi, aku masih muda dan polos, dandan masih sederhana dan belum ada wig. (Saat berkenalan,) aku mengaku dari Semarang, enggak mau mengaku dari Cilacap. Aku dikenalkan dengan Nancy (juga transpuan). Dia buang muka. Katanya, aku kampungan banget. Ceritanya, aku ditarik sama Dokter Edy Pratolo, nama perempuannya Vivi Asmaradewi, dia itu Kepala Karantina (Bandara) Kemayoran. Saya ikut saja, masih muda, pendatang baru, menari-nari Jepang. Mukaku ‘kan Chinese, jadi kayak orang Jepang beneran. Setelahnya, bikin Paradise Hall. Jadi, di PRJ ada dua night club banci…. Tapi, Paradise Hall dibikin setelah ada Sasana Anggrawina. Di Paradise Hall, banci-bancinya itu tertentu, dipilih. Waktu itu, Mirna (Mami Mirna yang kelak memimpin HIWARIA dan Fantastic Dolls) paling jahat sama aku. Tahu enggak? (Ia bilang,) ‘Rambutnya cakep amat.’ Tahunya dikasih garam. Aku diam saja.

Mami Tina ingat dulu siapa saja yang mengobrol dengan Ali Sadikin ketika ia berkunjung ke Sasana Anggrawina?

Waktu Ali Sadikin ke sana, saya tidak datang, mungkin juga ia mengobrol dengan wadam. Waktu Ali Sadikin datang ke Paradise Hall, aku jadi penerima tamu. Aku di depan pintu pakai kebaya tunggu Ali Sadikin datang. Dulu, belum ada istilah ‘transgender,’ adanya wadam. Tahun ’68, Ali Sadikin bikin klab waria namanya Paradise Hall di dalam Djakarta Fair. Waktu itu, yang meresmikan Pak Ali Sadikin.

Menurut Mami Tina, apa yang mendorong Pak Ali Sadikin kala itu untuk mau membangun Paradise Hall?

Enggak tahu. Mungkin ia punya prinsip meski wadam atau waria, ‘kan manusia juga. Jangan sampai dihina! Mungkin dia pejabat, sudah pernah pergi ke Thailand dan tahu bagaimana waria diperlakukan.

Apakah Paradise Hall dikelola oleh teman-teman transpuan yang dulu dikenal dengan wadam?

Ada yang mengelola, tapi saya tidak tahu namanya. Lupa. Tapi, semua di situ wadam, jadi kayak night club. Wadam jadi hostes di Paradise Hall. Zaman dulu belum ada karaoke atau diskotek. Zaman dulu night club pakai band. Salah satunya saya ada di situ, sebelum terbentuknya Wadam All Stars. Djakarta Fair itu tahun 1968. Kalau Djakarta Fair tutup, jadi berhenti, night club juga berhenti. Jadi, Djakarta Fair selesai, itu (Paradise Hall) tutup. (Kemudian,) kita suka nongkrong di pinggir jalan, di ujung Jl. Gresik di Menteng. Di situ, itu dilarang, tidak boleh nongkrong. Jadi, diusir, disuruh pergi. Biar anak-anak sekarang tahu, yang bikin Taman Lawang itu tiga orang banci: saya, Eli Madura, sama Yeni Makassar karena dikejar-kejar sama Pak Muji, polisi, untung aku enggak keluar. Dibawain anjing helder, dikejar banci-banci di situ. Ya, bukan kumpul-kumpul saja, tapi mangkal (transaksi seks). Aku pertama kali bertiga nongkrong di perapatan Menteng. Dulu kalau bis kota bilang, ‘Menteng-Menteng!’ Di situ enggak boleh, turun ke bawah. Lalu, ada Dubes Australia, enggak boleh. Jadi, turunlah ke Taman Lawang. Pertama itu ya bencongnya cuma sedikit, terus aku ajak-ajak itu tahun 1968, lalu jadi terkenal.

Setelah Paradise Hall tutup, bagaimana dengan teman-teman transpuan?

Setelah itu, bubar semua, kita hidup di jalan. Itu kenapa terjadi Wadam All Stars…. Waktu itu, saya tak mengerti, di jalanan dan segala macam, itu Ibu Annie Mambo punya ide. Namaku dulu hanya Tina saja. Terus, mereka punya ide bikin grup banci. Tapi, bancinya dipilih. Yang memilih banci itu namanya Carmen, Conny (Conny Pattirajawane), sama Nancy. Conny yang kenal sama Annie Mambo, mereka itu semua ngomongnya Belanda. Jadi, mereka hollan spreken semua. Waktu itu, Annie Mambo, Gaby Mambo, Rima Melati, dan lainnya itu mengintip ke Taman Lawang sampai berapa minggu, cari banci yang ikut grup itu, diseleksi. Baru kita dipanggil, salah satunya aku. Anggota Wadam All Stars adalah Sony Sudarma, Carmen, Greta De Lariva, Suzy Fadilla, Nancy Daromez, Conny Pattirajawane, Mevy Di Canto, Lisa Anggraeni, Mirna Martinely, Tina Lopez, dan Pinky Pink.

Jadi, mereka itulah anggota pertama Wadam All Stars, berjumlah 11 orang?

Tadinya 10, lalu tambah Pinky. Jadi, Pinky itu belakangan. Di situ, Nancy baru mulai baik sama aku. Waktu mau nyebong itu tidurnya di rumah aku, dulu sombong setengah mati. Aku dipanggil, ‘Mau enggak ikut ini-ini, ditanya PT Aries Film?’ (Aku tanya,) ‘Memang main film?’ (Nancy bilang,) ‘Lu datang aja kalau mau?’ Waktu itu perfilman memang sepi. Lalu, bikin Wadam All Stars. Jadi, yang atur koreografer ada dari Sanggar Karya HI, fashion show apa, tari apa. Aku ikut fashion show dan tari. Jadi, pertunjukan. Mirna menyanyi dan memang berani.

Mami Tina mengutarakan bahwa Wadam All Stars melakukan show pertamanya pada Desember 1968. Mereka berkeliling ke kota-kota di Jawa. Di ibu kota Jawa Timur, mereka pentas di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Kata Mami Tina, tembok THR kala itu sampai jebol karena begitu ramai orang ingin melihat Wadam All Stars. Selain itu, infrastruktur tempat mereka menginap di Hotel Tanjung, juga rusak karena para penggemar masih terus berdatangan setelah pertunjukan. “Orang Jawa Timur suka ludruk itu biasa. Ini banci cantik-cantik dari Jakarta, jadi mereka heran,” ungkap Mami Tina memaparkan alasan antusiasme masyarakat menyambut Wadam All Stars. Lewat pentas itulah Mami Tina berkenalan dan kelak dekat dengan Pangky Kenthut, pendiri dan pemimpin PERWAKOS.

Itu bayar kalau mau nonton Wadam All Stars?

Bayar, jadi enggak gratisan…. Ada agen yang mengatur.

Sempat manggung di mana saja?

Pos di Malang, lalu ke Surabaya, Kediri, Jember, Madiun, Jawa Tengah itu ke Semarang, Pekalongan, Tegal, Jogja, Solo…. Jadi, dua bulan keliling Jawa. Terus balik ke Jakarta hanya sekali-sekali manggung. Lalu, bubar begitu saja. Lalu, Mirna bikin grup sendiri.

Fantastic Dolls?

Belum.

Bambang Brothers atau Bambros?

Ya, betul sekali. Setelah itu, pengikutnya ya Wadam All Stars yang sering show di Jakarta, Bandung, dan lainnya. Yang mengurusi Mirna. Kembarannya Mirna itu pemain band, jadi pemain band-nya itu.

Jadi, Wadam All Stars bubar awal ‘70-an?

Ya, sekitar itu. Aku lupa.

Mami Tina memegang tongkat juara sebagai Ratu Wadam. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Tina Lopez.

Sukses dengan grup yang didirikan bersama saudara kembarnya Bambang Priyo, Mirna kemudian melahirkan Fantastic Dolls. Tina Lopez sempat bergabung ke dalam grup transpuan tersebut. Tetapi, ia mengalami ketidakcocokan dengan Mirna dan memutuskan keluar. Di dalam grup itulah sejumlah nama besar transpuan pernah memulai kariernya, termasuk Ketua Hiwaria Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Hiwaria MKGR) Angel Sahupala, pengusaha dan perancang baju pengantin Chenny Han, dan megabintang Dorce Gamalama.

Mami Tina meraih puncak karier dalam dunia transpuan kala itu dengan menyandang gelar sebagai Ratu Wadam pada kontes kecantikan tahun 1972. Tetapi, setelahnya, ia memilih fokus untuk terus mengasah keterampilan di bidang tata rias dan rambut. Sekitar tahun 1978, ia mengaku sudah tak pernah show lagi. Tetapi, ia bilang kalau ia masih tetap nongkrong ke Taman Lawang. “Bukan cari cowok, tapi rindu mengobrol sama teman-teman,” ucapnya. Tahun 1975, ia pulang ke Cilacap dan membuka salonnya sendiri di kampung halamannya selama 12 tahun.

Di sela-sela obrolan, saya teringat sosok Vivian Rubiyanti, seorang transpuan pertama yang melakukan operasi penyesuaian kelamin dan berhasil memperjuangkan penggantian identitas jenis kelamin pada KTP maupun dokumen legal lainnya sebagai perempuan lewat jalur hukum tahun 1973. Kisahnya dalam membuat perubahan yang radikal secara hukum dalam membuat negara mengakui identitas transpuan itu, kemudian diangkat ke layar perak dalam film Akulah Vivian (Laki-laki Jadi Perempuan) (1977). Ketika saya menyinggung nama Vivian, ternyata Mami Tina pernah berkawan baik dengannya.

Vivian kayak apa orangnya, Mami Tina?

Vivian baik orangnya. Dia orang kaya, tinggal di Blok M. Dulu, terkenal salonnya Robby Remaja. Waktu itu, aku operasi di Singapura dan tinggal dua bulan di sana. Aku operasi kelamin tahun 1981 di Rumah Sakit Kandang Kerbau.

Rumah sakit yang sama dengan Vivian?

Sama karena sebelum berangkat, aku konsultasi dulu dengan dia. Dia yang kasih tahu dokternya. Nama Dokternya Prof. Ratnam, orang India…. Aku kenal sama Vivian sebelumnya. Dulu, (waktu) aku dandan perempuan, kalau dia mau pergi ke night club, aku diambil untuk jadi partner-nya dansa.

Di mana?

Tropicana di Senayan.

Mungkin ini terlalu personal, tetapi jika enggak berkenan, boleh enggak dijawab Mami Tina. Apa yang bikin Mami Tina ke Singapura, bukannya saat itu di Indonesia sudah bisa operasi?

Waktu itu, aku mau operasi di Surabaya. Tapi, gagal sama Dokter Djohansjah karena itu aku ada bisul di dekat lubang anus. Itu sama dia tidak diperiksa. Jadi, bukan operasi kelamin, tapi operasi bisul. Di situ, aku kecewa. Jadi ke Singapura saja.

Apa ada alasan atau dorongan khusus untuk memutuskan operasi?

Aku ingin jadi perempuan, status. Aku ke pengadilan, akhirnya surat lahir dan semua, diganti. Aku kalau mau menikah, bisa dan diakui negara.

Bagaimana dengan proses persidangannya?

(Tahun) ’83, awalnya aku malas mengurusi, tapi papiku bilang, ‘Urus supaya punya status!’

Sulit enggak waktu itu?

Gampang. Aku di Cilacap mengurusnya. Minta saksi, ginekolog, teman saya kecil, dan tante aku. Dua saksi dari tante, dua teman sekolah, dan ginekolog. Aku bawa surat rekomendasi dari Singapura…. Enggak ada halangan. Makanya, orang itu, kayak agama itu (beranggapan), ‘Lu laki kenapa operasi jadi perempuan? Lu berdosa.’ Tapi, waktu aku mau operasi, aku bilang sama suster, ‘Sebentar, saya mau sembahyang.’ (Saya berdoa,) ‘Ya, Yuhan, saya mau jadi perempuan dengan jalan operasi ini. Tolong operasi ini berjalan dengan lancar! Tapi, kalau Tuhan tak hendaki (saya) jadi perempuan dengan jalan operasi ini, semua kekuasaan di tangan-Mu.’ Aman. Buktinya sampai sekarang tak ada masalah, aku making love juga tak ada masalah.

Setelah operasi dan keluar status sebagai perempuan, bagaimana perasaan Mami Tina? Apa yang berbeda?

Senang jadi perempuan. Terus bulu kaki, bulu ketek hilang. Keluarga mendukung, semua baik. Saya ada adik, ipar, keponakan, cucu, semua baik dan sayang. Prinsipnya, kita hidup mandiri jangan menyusahkan saudara. Harus mandiri! Punya pesangon di hari tua kalau masih mau dihormati. Itu pesan saya. Selagi muda, boleh hura-hura, tapi disisakan untuk simpanan. Kita muda mau hura-hura itu wajar, tapi tolong pikir simpanan harus ada.

Mami Tina pernah menikah?

Enggak menikah, pernah hidup bareng sama orang. Enggak mau aku menikah. Buat apa? Kita orang Timur masih mengharapkan keturunan. Kita ‘kan enggak bisa punya anak. Kita bentuknya perempuan, tapi dalamnya engga bisa. Aku juga sadar sampai di situ.

Tampilan Mami Tina (kanan) bersama dua sahabatnya, yaitu Lisa Anggraeni (kiri) dan Sisi Fadilla (tengah), ketika ia tampil di Paradise Hall dan menjadi anggota Wadam All Stars. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Tina Lopez.
Tina Lopez ketika muda. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Tina Lopez.

Tina Lopez kembali ke Jakarta tahun 1987. Ia masih berkawan baik dengan sejumlah aktivis transpuan. Tetapi, ia tidak melibatkan atau mengasosiasikan diri dengan organisasi transpuan mana pun dan fokus pada usaha salonnya. “Jalan hidup saya dengan yang dulu, lain. Saya menyadari di masa tua akan hidup sendiri. Kalau saya tak cari uang, bagaimana?” ucapnya. Belum lama ini, salonnya kemudian tutup ketika rekan kerja yang telah bersamanya selama lebih dari 20 tahun, meninggal. Sekarang, Mami Tina sukses jadi pengusaha sebagai breeder anjing yang ia rintis sejak 1998. Kecintaan dan hobinya mengurus anjing justru menjadi penopang hidup di masa lansia.

Setelah lebih dari 50 tahun berlalu, bagaimana sekarang mengenang perasaan dulu ikut Wadam All Stars?

Waktu jaya-jayanya, senang sekali. Rasanya kita bisa menemukan diri kita. Kedua, bisa menyalurkan hobi. Rasanya disanjung orang, jiwa kita masih muda. Rasanya senang. Waktu itu, usia 20 tahun.

Sekarang Mami Tina melajang di usia 77 tahun?

Melajang.

Bersama 80 anjing?

Dan lima orang pegawai.

Bagaimana Mami Tina melihat situasi teman-teman trans sekarang?

Anak-anak sekarang lebih berani karena juga sudah lebih terbuka. Ada organisasi tertentu saja yang fanatik (konservatif dan transfobik, sehingga cenderung tidak menerima, bahkan membenci kelompok trans). Zamanku, dulu banyak orang bisa lebih menerima. Sekarang, banyak orang fanatik ‘kan.

Melajang di usia lansia ternyata enggak bikin kesepian ya.

Apalagi ada anjing-anjing, terus pelihara lebah. Menyibukkan diri supaya enggak pikun.

Saya berfoto ketika berkunjung dan mengobrol bersama Mami Tina (kanan) ditemani oleh Florens Lee atau akrab disapa Kak Flo (tengah) di kediaman Mami Tina.

Queer di Masa Lansia merupakan seri esai kolaborasi yang menghadirkan beragam sosok dan perbincangan dengan para individu queer lansia, termasuk aktivis senior, yang mewakili beragam identitas maupun komunitas LGBTIQ+ di Indonesia. Seri ini hendak merekam pandangan dan pengalaman hidup yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi generasi queer muda untuk membayangkan kelak menua sebagai queer. Melalui kisah-kisah tersebut, kita (yang muda) juga berupaya membangun koneksi lintas generasi sekaligus menaruh hormat dan rasa terima kasih atas buah dari perjuangan para senior untuk kemudian dapat kita teruskan dan kontekstualisasikan.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah