Abu-Abu

Bayu Rakhmatullah
Nyarita
Published in
2 min readJul 13, 2024

Hatiku berdesir menanti namaku dipanggil. Ini kali pertama aku berkunjung ke tempat ini.

"Saudara Bayu!" teriak resepsionis itu. Ia menyilakanku masuk ke ruangan.

Ruangannya berwarna abu-abu, berukuran empat kali empat meter, dan cukup sejuk. Lukisan abstrak menggantung di dinding. Aneh, tapi menenangkan. Tak jauh dari lukisan itu, ada kalender dengan lanskap bersalju. Kelihatannya negara Kanada. Namun, kalender itu masih menampakkan bulan Maret, padahal hari ini sudah 1 April 2030. Seseorang lupa membalikkan kalendernya. Ada akuarium berisi ikan-ikan koi di pojok ruangan. Tidak biasa.

Photo by Becca Tapert on Unsplash

Seorang laki-laki berkacamata menyambutku dengan senyuman, menjabat tanganku, lalu menyilakanku duduk di sofa abu-abu. Tanda nama "Tirta Firdaus" menempel di dada kanannya.

"Bagaimana kabarnya sekarang, Kak Bayu?" ucapnya.

Sial! Dia langsung menyerangku dengan pertanyaan itu. Sungguh aku benci pertanyaan basa-basi itu. Agaknya bercerita tentang masalahku kepada orang asing juga aneh menurutku. Tapi, aku sudah bertekad untuk meminta bantuan profesional.

"Tidak baik," jawabku pendek.

"Apa yang menyebabkan Anda merasa tidak baik? Apa yang bisa saya bantu?"

"Aku ingin mati. Aku sudah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri, namun aku tak kunjung mati."

"Kenapa Anda ingin mati?"

Kepalaku menunduk. Aku diam agak lama.

"Anda tidak harus menjawabnya sekarang jika memang merasa tidak nyaman."

Kuangkat kepalaku dan kutatap matanya tajam. Aku mulai menceritakan alasanku bunuh diri. Panjang lebar. Dari A sampai Z. Tidak terasa air mataku jatuh. Deras. Tirta menyerahkan tiga helai tisu kepadaku.

"Kalau menurut Pak Tirta pribadi, apakah orang-orang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri sepertiku ini adalah orang-orang yang pengecut?"

"Tidak! Tidak semua orang berani bunuh diri."

Tirta diam sejenak. Ia seperti menimang-nimang kalimat yang akan keluar dari mulutnya, perlu dikatakan atau tidak.

"Saya pernah membaca esai yang ditulis orang Korea, kalau tidak salah Hong Seung Hee namanya. Dia menulis perihal bunuh diri dan berpendapat bahwa "suicide" seharusnya diganti dengan "free death". Maksudnya adalah selain memiliki hak hidup, manusia juga memiliki hak untuk mati. Manusia bebas menentukan bagaimana ia mati, jika memang hidup terlalu menyiksa. Saya pribadi cenderung setuju dengan pendapat esai itu."

"Aku tidak menyangka kalau bakal ada seorang psikolog, psikiater, terapis, atau konselor yang berpikiran seperti itu."

"Secara pribadi, ya. Semata-mata kebebasan berpikir. Namun, sebagai psikolog saya tidak berpikir demikian."

Aku hanya mengangguk-angguk belaka.

"Setelah mendengar cerita Kak Bayu, saya bisa menyimpulkan bahwa Anda cukup mengenal diri sendiri dengan baik, termasuk perasaan yang paling dalam. Detik-detik menjelang bunuh diri, apa yang Anda rasakan? Apakah Anda benar-benar ingin mati?"

Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya.

"Sebenarnya, saya masih ingin hidup..."

***

Aku keluar dengan dada yang lapang. Ternyata tidak seperti yang kutakutkan. Aku sama sekali tidak dihakimi. Kiranya aku bakal balik ke sini dua pekan lagi.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Menerka Takdir”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--